Hakim Gayus Dukung Upaya KPK Bongkar Kasus Dugaan Suap Pejabat MA
A
A
A
JAKARTA - Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun menilai kasus dugaan suap pengurusan penundaan pengiriman putusan kasasi yang dilakukan Andri Tristianto Sutrisna dkk terjadi karena lebih pada tata kelola organisasi Mahkamah Agung (MA) yang lemah.
Menurut Gayus, walaupun Andri bukan wilayah pemutus perkara atau hakim, tetapi jabatannya sebagai Kepala Subdit Kasasi dan PK Kamar Perdata tetap saja bagian dari bidang-bidang yang ada di MA dan berpotensi untuk saling berkait-kaitan.
"Jadi yang pertama saya akan mengatakan bahwa ini terjadi di salah satu bagian di MA yang berpotensi juga untuk terjadi penyimpangan atau pelanggaran tipikor," kata Gayus saat dihubungi SINDO, Minggu (14/2/2016).
Pria kelahiran Manado 19 Januari 1948 ini sepakat dengan permintaan Komisi III agar MA melakukan evaluasi dan pembenahan internal. Gayus menuturkan, pengawasan terhadap MA yang terbagi internal dan eksternal harus juga ditingkatkan.
Pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY), yang hanya fokus kepada hakim atau hakim agung. Sedangkan Andri bukan hakim agung jadi lepas dari pengawasan eksternal.
"Pengawasan pastinya ada pada bidang pengawasan dan pembinaan di Mahkamah Agung, jadi ada dua bidang yang bertanggungjawab. Harus bisa efektif dalam menjalankan tugasnya yaitu bidang pengawasan dan pembinaan. Karena hanya pengawasan tidak cukup maka harus ada pembinaan. Sehingga orang itu dibina dalam karir dan dalam tugas-tugasnya," ujarnya.
Gayus mendukung upaya Komisi III untuk memanggil MA untuk membahas penangkapan terhadap Andri dan pengurusan perkara di MA. Ditambah lagi ada kasus suap pengurusan kasasi yang dilakukan terpidana Djodi Supratman selaku pegawai Balai Pendidikan dan Pelatihan MA dkk.
Pemanggilan itu sangat tepat, apalagi Komisi III merupakan mitra kerja MA. Bahkan dia menilai, Komisi III wajib untuk mengetahui dan kemudian memberi solusi atas permasalahan yang terjadi MA.
"Tentunya berbagi pelanggaran yang ada di dalam organisasi MA perlu dibuka kepada Komisi III dan kepada publik," tuturnya.
Dia menyarankan, untuk pembenahan internal maka pimpinan MA yang yang terdiri dari 10 orang yakni seorang ketua, dua orang wakil ketua (bidang yudisial dan bidang non yudisial), dan tujuh ketua kamar peradilan harus bisa mengelola sistem organisasinya.
Pimpinan MA tidak boleh hanya fokus pada hakim-hakimnya saja, tapi di luar hakim. Pasalnya pejabat/pegawai MA di luar hakim juga punya potensi besar melakukan penyimpangan.
"Karena mempunyai kebijakan-kebijakan, kebijaksanaan yg bisa mempengaruhi kinerja Mahkamah Agung secara keseluruhan," imbuhnya.
Gayus mendukung upaya KPK membongkar kasus dugaan suap kasasi yang dilakukan tersangka Andri dkk. Apalagi, bila merujuk pernyataan Komisi III bahwa penangkapan Andri menunjukan jual-beli perkara di MA masih marak.
Menurut Gayus, KPK harus berani mengusut siapa saja yang juga diduga menerima suap, termasuk hakim agung. "Bahwa MA tidak boleh kebal, hakim-hakim tidak boleh kebal, tidak boleh jadi orang yang dibuat kebal atas semua kesalahan, termasuk pimpinan. Pimpinan MA tidak boleh kebal," tegasnya.
Dia kemudian mengungkapkan berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan MA. Paling utama adalah penerjemahan pimpinan MA mengenai UU Nomor 3/2009 tentang MA dan cetak biru (blue print) MA 2010-2035 yang disahkan pada 2010.
Pelanggaran terhadap UU MA khusunya tata kelola organisasi di antaranya seperti penyebutan "ketua muda" bidang pidana, bidang perdata menjadi "ketua kamar". Padahal UU tersebut mengamanatkan bahwa pimpinan MA terdiri dari ketua, dua wakil ketua, dan ketua-ketua muda.
"Tapi ketua-ketua muda ini diganti menjadi ketua kamar. Ini penyimpangan. Istilah ketua kamar ini tidak pas ditelinga kita sebenarnya. Tapi ini (tetap) dilakukan di MA," tuturnya.
Blue print MA 2010-2035, Gayus melanjutkan, mengamanahkan dan mendesak beberapa hal. Pertama, mendesak agar hakim-hakim agung dan seluruh orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan MA, termasuk 10 pimpinan menataati bagaimana blue print ini memberi arahan-arahan pembaharuan. Artinya harus ada reformasi pengelolaan organisasi.
"Organisasi MA sendiri saat ini sulit untuk (dikatakan) tidak lemah. Jadi sulit untuk mengelola organisasi kalau bukan oleh orang yang betul-betul paham di bidang organisasi," katanya.
Arahan pembaharuan dalam blue print MA paling tidak terdiri dari empat poin penting. Pertama, pembaharuan atas organisasi lembaga. Di dalam organisasi ini ada bidang-bidang dan diutamakan pasti bidang yang menangani perkara atau teknis beracara atau teknis peradilan di MA. Kedua, pembaharuan manajemen perkara. Arahan blue print yakni ditujukan agar bagaimana mengenai perkara itu dikelola dengan baik.
"Dalam blue print disebutkan, siapapun pemimpin MA haruslah mentaati apa yg direncanakan, dibentuk blue print. Jadi banyak kesalahan-kesalahan tata kelola di MA ini," ungkapnya.
Sebagai hakim agung, Gayus menyarankan bagaimana mengelola pembaharuan pada fungsi teknis peradilan. Sebab hingga kini kamar-kamar perkara di MA yang ada lima kamar bidang (pidana, perdata, tata usaha negara, militer, dan agama) tidak dikelola dengan tepat.
"Yang saya buktikan adalah penempatan hakim agung ditempatkan dengan salah. Keahliannya tipikor, ditempatkan di kamar lain, kamar militer. Keahliannya pidana ditempatkan di kamar perdata," tandasnya.
Pelanggaran terhadap blue print yang juga dilakukan MA hingga kini yakni tidak menjalankan pembaharuan di bidang teknologi informasi untuk melakukan distribusi informasi perkara secara terbuka kepada publik. Harusnya MA bisa melakukan seperti Mahkamah Konstitusi.
Bagi Gayus, MK tepat dalam pengelolaan pendistibusian informasi. "MA ini kurang, sunyi," ungkapnya. Selain itu, Gayus melihat, MA dan pimpinan MA menanganggap hakim-hakim agung hanya sebagai orang yang menyelesaikan perkara.
Padahal, sebenarnya tugas hakim agung tidak sekedar menyelesaikan perkara dan tidak sekadar menjadi mesin perkara, tapi ada kewajiban lain yaitu membangun hukum di masyarakat.
Artinya bahwa hakim agung memutuskaan perkara dengan adil maka keadilan itu harus disampaikan ke publik. "Hakim agung (juga) tidak diberdayakan untuk membuat kebijakan-kebijakan di MA. Seperti membuat SEMA, membuat Perma, peraturan Mahkamah Agung. Tapi ini (SEMA dan Perma) dibuat tidak melibatkan hakim agung," jelasnya.
Kalau dilihat lembaga lain, seperti DPR dan kampus maka pengambilan keputusan di MA berbeda jauh. Di DPR pengambilan keputusan melibatkan para anggota DPR yang klimaksnya di rapat paripurna. Sedangkan di kampus keputusan diambil denggan rapat senat.
Keputusan di MA hanya diputuskan oleh pimpinan yang jumlah 10 orang dengan dipimpin ketua MA. Padahal kebijakan-kebijakan yang diambil berkaitan dengan hakim yang mencapai 8.000 orang.
"Ini kan sayang tidak menggunakan hakim-hakim agung. Padahal hakim-hakim agung sudah diuji dengan berat lewat fit and proper test di DPR, oleh KY diuji juga," ucapnya.
PILIHAN:
KPK Diminta Ungkap Tuntas Dugaan Suap Pejabat MA
Menurut Gayus, walaupun Andri bukan wilayah pemutus perkara atau hakim, tetapi jabatannya sebagai Kepala Subdit Kasasi dan PK Kamar Perdata tetap saja bagian dari bidang-bidang yang ada di MA dan berpotensi untuk saling berkait-kaitan.
"Jadi yang pertama saya akan mengatakan bahwa ini terjadi di salah satu bagian di MA yang berpotensi juga untuk terjadi penyimpangan atau pelanggaran tipikor," kata Gayus saat dihubungi SINDO, Minggu (14/2/2016).
Pria kelahiran Manado 19 Januari 1948 ini sepakat dengan permintaan Komisi III agar MA melakukan evaluasi dan pembenahan internal. Gayus menuturkan, pengawasan terhadap MA yang terbagi internal dan eksternal harus juga ditingkatkan.
Pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY), yang hanya fokus kepada hakim atau hakim agung. Sedangkan Andri bukan hakim agung jadi lepas dari pengawasan eksternal.
"Pengawasan pastinya ada pada bidang pengawasan dan pembinaan di Mahkamah Agung, jadi ada dua bidang yang bertanggungjawab. Harus bisa efektif dalam menjalankan tugasnya yaitu bidang pengawasan dan pembinaan. Karena hanya pengawasan tidak cukup maka harus ada pembinaan. Sehingga orang itu dibina dalam karir dan dalam tugas-tugasnya," ujarnya.
Gayus mendukung upaya Komisi III untuk memanggil MA untuk membahas penangkapan terhadap Andri dan pengurusan perkara di MA. Ditambah lagi ada kasus suap pengurusan kasasi yang dilakukan terpidana Djodi Supratman selaku pegawai Balai Pendidikan dan Pelatihan MA dkk.
Pemanggilan itu sangat tepat, apalagi Komisi III merupakan mitra kerja MA. Bahkan dia menilai, Komisi III wajib untuk mengetahui dan kemudian memberi solusi atas permasalahan yang terjadi MA.
"Tentunya berbagi pelanggaran yang ada di dalam organisasi MA perlu dibuka kepada Komisi III dan kepada publik," tuturnya.
Dia menyarankan, untuk pembenahan internal maka pimpinan MA yang yang terdiri dari 10 orang yakni seorang ketua, dua orang wakil ketua (bidang yudisial dan bidang non yudisial), dan tujuh ketua kamar peradilan harus bisa mengelola sistem organisasinya.
Pimpinan MA tidak boleh hanya fokus pada hakim-hakimnya saja, tapi di luar hakim. Pasalnya pejabat/pegawai MA di luar hakim juga punya potensi besar melakukan penyimpangan.
"Karena mempunyai kebijakan-kebijakan, kebijaksanaan yg bisa mempengaruhi kinerja Mahkamah Agung secara keseluruhan," imbuhnya.
Gayus mendukung upaya KPK membongkar kasus dugaan suap kasasi yang dilakukan tersangka Andri dkk. Apalagi, bila merujuk pernyataan Komisi III bahwa penangkapan Andri menunjukan jual-beli perkara di MA masih marak.
Menurut Gayus, KPK harus berani mengusut siapa saja yang juga diduga menerima suap, termasuk hakim agung. "Bahwa MA tidak boleh kebal, hakim-hakim tidak boleh kebal, tidak boleh jadi orang yang dibuat kebal atas semua kesalahan, termasuk pimpinan. Pimpinan MA tidak boleh kebal," tegasnya.
Dia kemudian mengungkapkan berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan MA. Paling utama adalah penerjemahan pimpinan MA mengenai UU Nomor 3/2009 tentang MA dan cetak biru (blue print) MA 2010-2035 yang disahkan pada 2010.
Pelanggaran terhadap UU MA khusunya tata kelola organisasi di antaranya seperti penyebutan "ketua muda" bidang pidana, bidang perdata menjadi "ketua kamar". Padahal UU tersebut mengamanatkan bahwa pimpinan MA terdiri dari ketua, dua wakil ketua, dan ketua-ketua muda.
"Tapi ketua-ketua muda ini diganti menjadi ketua kamar. Ini penyimpangan. Istilah ketua kamar ini tidak pas ditelinga kita sebenarnya. Tapi ini (tetap) dilakukan di MA," tuturnya.
Blue print MA 2010-2035, Gayus melanjutkan, mengamanahkan dan mendesak beberapa hal. Pertama, mendesak agar hakim-hakim agung dan seluruh orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan MA, termasuk 10 pimpinan menataati bagaimana blue print ini memberi arahan-arahan pembaharuan. Artinya harus ada reformasi pengelolaan organisasi.
"Organisasi MA sendiri saat ini sulit untuk (dikatakan) tidak lemah. Jadi sulit untuk mengelola organisasi kalau bukan oleh orang yang betul-betul paham di bidang organisasi," katanya.
Arahan pembaharuan dalam blue print MA paling tidak terdiri dari empat poin penting. Pertama, pembaharuan atas organisasi lembaga. Di dalam organisasi ini ada bidang-bidang dan diutamakan pasti bidang yang menangani perkara atau teknis beracara atau teknis peradilan di MA. Kedua, pembaharuan manajemen perkara. Arahan blue print yakni ditujukan agar bagaimana mengenai perkara itu dikelola dengan baik.
"Dalam blue print disebutkan, siapapun pemimpin MA haruslah mentaati apa yg direncanakan, dibentuk blue print. Jadi banyak kesalahan-kesalahan tata kelola di MA ini," ungkapnya.
Sebagai hakim agung, Gayus menyarankan bagaimana mengelola pembaharuan pada fungsi teknis peradilan. Sebab hingga kini kamar-kamar perkara di MA yang ada lima kamar bidang (pidana, perdata, tata usaha negara, militer, dan agama) tidak dikelola dengan tepat.
"Yang saya buktikan adalah penempatan hakim agung ditempatkan dengan salah. Keahliannya tipikor, ditempatkan di kamar lain, kamar militer. Keahliannya pidana ditempatkan di kamar perdata," tandasnya.
Pelanggaran terhadap blue print yang juga dilakukan MA hingga kini yakni tidak menjalankan pembaharuan di bidang teknologi informasi untuk melakukan distribusi informasi perkara secara terbuka kepada publik. Harusnya MA bisa melakukan seperti Mahkamah Konstitusi.
Bagi Gayus, MK tepat dalam pengelolaan pendistibusian informasi. "MA ini kurang, sunyi," ungkapnya. Selain itu, Gayus melihat, MA dan pimpinan MA menanganggap hakim-hakim agung hanya sebagai orang yang menyelesaikan perkara.
Padahal, sebenarnya tugas hakim agung tidak sekedar menyelesaikan perkara dan tidak sekadar menjadi mesin perkara, tapi ada kewajiban lain yaitu membangun hukum di masyarakat.
Artinya bahwa hakim agung memutuskaan perkara dengan adil maka keadilan itu harus disampaikan ke publik. "Hakim agung (juga) tidak diberdayakan untuk membuat kebijakan-kebijakan di MA. Seperti membuat SEMA, membuat Perma, peraturan Mahkamah Agung. Tapi ini (SEMA dan Perma) dibuat tidak melibatkan hakim agung," jelasnya.
Kalau dilihat lembaga lain, seperti DPR dan kampus maka pengambilan keputusan di MA berbeda jauh. Di DPR pengambilan keputusan melibatkan para anggota DPR yang klimaksnya di rapat paripurna. Sedangkan di kampus keputusan diambil denggan rapat senat.
Keputusan di MA hanya diputuskan oleh pimpinan yang jumlah 10 orang dengan dipimpin ketua MA. Padahal kebijakan-kebijakan yang diambil berkaitan dengan hakim yang mencapai 8.000 orang.
"Ini kan sayang tidak menggunakan hakim-hakim agung. Padahal hakim-hakim agung sudah diuji dengan berat lewat fit and proper test di DPR, oleh KY diuji juga," ucapnya.
PILIHAN:
KPK Diminta Ungkap Tuntas Dugaan Suap Pejabat MA
(kri)