Politisi Muda, Korupsi dan Pembiayaan Parpol
A
A
A
ANGKA 13 adalah angka yang sering diasosiasikan dengan kesialan dan pada 13 Januari 2016 PDIP mengalami kesialan. Salah satu anggota DPR RI 2014-2019 dari partai politik (parpol) berlambang banteng bermoncong putih ini dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seorang politisi perempuan muda harus rela dibawa ke Kuningan karena tertangkap tangan menerima sejumlah uang suap untuk proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP disangkakan sebagai aturan hukum yang telah dilanggar. Sebagai sanksi, PDIP telah memecatnya dan tentu segera menyiapkan pengganti antarwaktu untuk mengisi kekosongan kursi PDIP di DPR RI.
Ironis. Kasus serupa yang menimpa beberapa anggota DPR RI sebelumnya tidak menjadi pembelajaran bagi anggota Dewan yang lain untuk tidak korupsi. Lebih parah, politisi muda yang digadang-gadang bisa menjadi motor praktik berpolitik yang bersih ternyata tidak steril dari godaan korupsi, yang menurut Indriyanto Seno Adji dapat dimasukkan dalam kriteria pelanggaran HAM berat dan termasuk dalam gross violation of human rights sebagaimana terdapat di dalam doktrin International Covenant Economic and Social Right. Kenapa perilaku koruptif ini terus berulang di DPR RI, sementara menurut sebuah pepatah, hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali?
Pembiayaan Parpol oleh Negara
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 telah mengatur sumber keuangan partai politik, yaitu (1) iuran anggota partai politik bersangkutan, (2) sumbangan yang sah menurut hukum, (3) bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Faktanya, partai politik tetap mengalami kesulitan mencari sumber pendanaan. Bekerja sama dengan KOPEL Makassar, Kemitraan telah melakukan sebuah kajian pada 2013 tentang pembiayaan partai politik dengan mengambil kasus tiga partai besar yakni Golkar, PAN, dan PPP di Sulawesi Selatan. Temuan riset menunjukkan bahwa pemasukan partai jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran partai. Biaya operasional yang dikeluarkan partai dua kali lipat dari pemasukan misalnya pengeluaran PPP sebanyak Rp8 miliar, PAN Rp4 miliar, dan Golkar Rp15 miliar. Sementara pemasukannya untuk PPP hanya Rp1,5 miliar, PAN Rp1,4 miliar, dan Golkar Rp3,8 miliar.
Lebih lanjut, pemasukan partai sebagaimana ditemukan di dalam riset ini berasal dari sumbangan anggota DPRD dan bantuan APBD. Sementara mekanisme iuran anggota tidak berjalan di tiga partai tersebut. Ironisnya, di dalam riset ini juga ditemukan bahwa besarnya pengeluaran partai bukan untuk mendukung tugas dan fungsi partai politik, tetapi lebih untuk ihwal yang bersifat tidak relevan seperti perayaan ulang tahun partai atau kegiatan-kegiatan seremonial lainnya yang tidak relevan.
Wacana yang digulirkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang sekaligus kader PDIP tentang perlunya negara memberi bantuan dana sebesar Rp1 triliun kepada setiap partai politik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menarik untuk dicermati. Alasannya, partai politik memerlukan dana yang cukup besar untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu, pendidikan kaderisasi, serta melaksanakan program partai, termasuk menekan korupsi politik. Hal senada juga pernah dilontarkan salah satu direktur Bappenas meski tidak disebutkan besaran dana yang harus disediakan untuk masing- masing partai.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal 11 menyatakan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana untuk: (1) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; (3) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (4) partisipasi politik warga negara Indonesia; dan (5) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Sehingga, selama partai politik bisa dan mampu menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang tersebut, tidaklah salah ketika partai politik diberikan dukungan dana dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Dengan fakta bahwa nilai bantuan keuangan partai politik dari APBN hanya berkisar 1,3% dari total kebutuhan operasional partai politik per tahun (Perludem, 2014) dan bahwa sebagian besar pemasukan partai politik berasal dari sumbangan anggota DPRD dan bantuan APBD, maka pembiayaan partai politik oleh negara dengan jumlah yang memadai menjadi sebuah keniscayaan. Namun, ada beberapa prasyarat minimal yang harus dipenuhi. Pertama, partai politik harus mempunyai sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Tanpa ada sistem seperti ini, berapa pun besarnya uang yang diberikan tidak akan bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, partai politik harus mempunyai program kerja yang jelas, terukur, dan fokus kepada pelaksanaan fungsi-fungsi partai sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang. Ketiga, ada sistem pengawasan oleh publik terhadap penggunaan uang negara oleh partai politik. Sistem pengawasan ini harus memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada individu-individu atau organisasi-organisasi masyarakat sipil yang mengawasi dan melaporkan temuan atau indikasi penyelewengan uang negara oleh partai politik.
Kasus yang melibatkan Fadli Zon dan Ronny Maryanto, seorang aktivis antikorupsi di Jawa Tengah, harus menjadi pembelajaran penting bagi upaya untuk melibatkan publik dalam mengawasi kinerja partai politik, utamanya terkait uang dan politik.
Dengan tiga prasyarat minimal tersebut, wacana memperbesar alokasi dana publik untuk pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik melalui APBN bisa dipertimbangkan lebih jauh. Sehingga, bila suatu saat nanti dilakukan riset serupa seperti telah dilakukan Kemitraan, faktor sumbangan kepada partai oleh anggota Dewan tidak lagi menjadi kontributor terbesar bagi keuangan partai dan perilaku koruptif anggota Dewan tidak lagi berulang.
Ironis. Kasus serupa yang menimpa beberapa anggota DPR RI sebelumnya tidak menjadi pembelajaran bagi anggota Dewan yang lain untuk tidak korupsi. Lebih parah, politisi muda yang digadang-gadang bisa menjadi motor praktik berpolitik yang bersih ternyata tidak steril dari godaan korupsi, yang menurut Indriyanto Seno Adji dapat dimasukkan dalam kriteria pelanggaran HAM berat dan termasuk dalam gross violation of human rights sebagaimana terdapat di dalam doktrin International Covenant Economic and Social Right. Kenapa perilaku koruptif ini terus berulang di DPR RI, sementara menurut sebuah pepatah, hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali?
Pembiayaan Parpol oleh Negara
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 telah mengatur sumber keuangan partai politik, yaitu (1) iuran anggota partai politik bersangkutan, (2) sumbangan yang sah menurut hukum, (3) bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Faktanya, partai politik tetap mengalami kesulitan mencari sumber pendanaan. Bekerja sama dengan KOPEL Makassar, Kemitraan telah melakukan sebuah kajian pada 2013 tentang pembiayaan partai politik dengan mengambil kasus tiga partai besar yakni Golkar, PAN, dan PPP di Sulawesi Selatan. Temuan riset menunjukkan bahwa pemasukan partai jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran partai. Biaya operasional yang dikeluarkan partai dua kali lipat dari pemasukan misalnya pengeluaran PPP sebanyak Rp8 miliar, PAN Rp4 miliar, dan Golkar Rp15 miliar. Sementara pemasukannya untuk PPP hanya Rp1,5 miliar, PAN Rp1,4 miliar, dan Golkar Rp3,8 miliar.
Lebih lanjut, pemasukan partai sebagaimana ditemukan di dalam riset ini berasal dari sumbangan anggota DPRD dan bantuan APBD. Sementara mekanisme iuran anggota tidak berjalan di tiga partai tersebut. Ironisnya, di dalam riset ini juga ditemukan bahwa besarnya pengeluaran partai bukan untuk mendukung tugas dan fungsi partai politik, tetapi lebih untuk ihwal yang bersifat tidak relevan seperti perayaan ulang tahun partai atau kegiatan-kegiatan seremonial lainnya yang tidak relevan.
Wacana yang digulirkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang sekaligus kader PDIP tentang perlunya negara memberi bantuan dana sebesar Rp1 triliun kepada setiap partai politik melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menarik untuk dicermati. Alasannya, partai politik memerlukan dana yang cukup besar untuk persiapan dan pelaksanaan pemilu, pendidikan kaderisasi, serta melaksanakan program partai, termasuk menekan korupsi politik. Hal senada juga pernah dilontarkan salah satu direktur Bappenas meski tidak disebutkan besaran dana yang harus disediakan untuk masing- masing partai.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal 11 menyatakan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana untuk: (1) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; (3) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (4) partisipasi politik warga negara Indonesia; dan (5) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Sehingga, selama partai politik bisa dan mampu menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang tersebut, tidaklah salah ketika partai politik diberikan dukungan dana dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Dengan fakta bahwa nilai bantuan keuangan partai politik dari APBN hanya berkisar 1,3% dari total kebutuhan operasional partai politik per tahun (Perludem, 2014) dan bahwa sebagian besar pemasukan partai politik berasal dari sumbangan anggota DPRD dan bantuan APBD, maka pembiayaan partai politik oleh negara dengan jumlah yang memadai menjadi sebuah keniscayaan. Namun, ada beberapa prasyarat minimal yang harus dipenuhi. Pertama, partai politik harus mempunyai sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Tanpa ada sistem seperti ini, berapa pun besarnya uang yang diberikan tidak akan bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, partai politik harus mempunyai program kerja yang jelas, terukur, dan fokus kepada pelaksanaan fungsi-fungsi partai sebagaimana dimandatkan oleh undang-undang. Ketiga, ada sistem pengawasan oleh publik terhadap penggunaan uang negara oleh partai politik. Sistem pengawasan ini harus memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada individu-individu atau organisasi-organisasi masyarakat sipil yang mengawasi dan melaporkan temuan atau indikasi penyelewengan uang negara oleh partai politik.
Kasus yang melibatkan Fadli Zon dan Ronny Maryanto, seorang aktivis antikorupsi di Jawa Tengah, harus menjadi pembelajaran penting bagi upaya untuk melibatkan publik dalam mengawasi kinerja partai politik, utamanya terkait uang dan politik.
Dengan tiga prasyarat minimal tersebut, wacana memperbesar alokasi dana publik untuk pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik melalui APBN bisa dipertimbangkan lebih jauh. Sehingga, bila suatu saat nanti dilakukan riset serupa seperti telah dilakukan Kemitraan, faktor sumbangan kepada partai oleh anggota Dewan tidak lagi menjadi kontributor terbesar bagi keuangan partai dan perilaku koruptif anggota Dewan tidak lagi berulang.
(hyk)