Kejahatan Transnasional Harus Diatasi Bersama
A
A
A
VANCOUVER - Kejahatan transnasional menjadi salah satu bahasan utama sidang tahunan Asia Pacific Parliamentary Forum (APPF) ke-24 di Vancouver, Kanada, Senin (18/1) waktu setempat atau Selasa (19/1/2016) WIB.
Wakil Ketua BKSAP DPR RI Teguh Juwarno, yang mewakili Delegasi Indonesia, mendesak agar negara-negara se-Asia Pasifik membangun kerja sama untuk mengatasinya secara serius. Salah satu kejahatan transnasional yang paling jelas adalah narkoba.
Kejahatan ini melibatkan 264 juta orang di seluruh dunia. Artinya, satu dari 20 orang berusia 15-64 tahun telah menggunakan obat terlarang. Jumlah ini terus meningkat 3 juta orang setiap tahun.
Menurut Teguh, Pemerintah Indonesia sudah bekerja keras memberantas kejahatan narkoba ini. Pemerintah pun telah menetapkan status darurat nasional atas meningkatnya pemakai narkoba dan jejaring distribusinya. Bersama DPR, pemerintah juga memperkuat aturan hukum pelarangan narkoba, aturan ketat pencucian uang, hingga berbagai Keppres mengenai pencegahan kejahatan narkoba.
Kejahatan lainnya adalah terkait perdagangan orang, yang berdasarkan laporan PBB, sebanyak 155 negara selalu berusaha mengakui fakta itu. Sebanyak 78% kasus perdagangan orang terkait eksploitasi seks, sementara 18% menyangkut isu kerja paksa.
Selain itu adalah terkait illegal fishing yang merusak kekayaan maritim dan wilayah pesisir. Di Indonesia, kata Teguh, illegal fishing menyebabkan kerugian setidaknya USD20 miliar per tahun. Masalahnya, banyak negara yang tak bersedia mengakui adanya kejahatan illegal fishing itu.
"Bagi kami, agar pemberantasan kejahatan transnasional menjadi efektif, maka caranya adalah kerja sama internasional. Memang setiap negara punya sistem hukum masing-masing. Namun kerja sama itu bisa tetap dilakukan dengan tetap menghargai yurisdiksi hukum masing-masing negara," ungkap Teguh.
Salah satu perangkat yang bisa dijadikan acuan bersama memberantas kejahatan transnasional secara bersama-sama adalah Konvensi PBB tentang Pemberantasan Kejahatan Transnasional.
"Jika setiap negara bersedia mengikuti Konvensi PBB itu, dan bersedia bekerja sama dalam spirit kerja sama regional, Indonesia optimistis kita semua mampu memotong angka kejahatan transnasional di Asia Pasifik," tegasnya.
Usulan Indonesia itu akan dibahas lebih lanjut di komite khusus yang menyusun Deklarasi Bersama Sidang APPF ke-24.
Untuk diketahui, dalam APPF ke-24 yang berlangsung di Vancouver 17-21 Januari 2016 ini hadir 20 delegasi negara, di antaranya Jepang, Australia, Rusia, Korea Selatan, China, Australia, dan Selandia Baru. Pada pertemuan tahun ini, dibahas tiga sektor isu: Politik dan Keamanan, Ekonomi dan Perdagangan, serta Kerjasama Kawasan Asia Pasifik. APPF adalah forum parlemen negara-negara Asia Pasifik yang dibentuk pada 1991 oleh 9 negara, dimana Indonesia adalah salah satu negara pendiri.
Wakil Ketua BKSAP DPR RI Teguh Juwarno, yang mewakili Delegasi Indonesia, mendesak agar negara-negara se-Asia Pasifik membangun kerja sama untuk mengatasinya secara serius. Salah satu kejahatan transnasional yang paling jelas adalah narkoba.
Kejahatan ini melibatkan 264 juta orang di seluruh dunia. Artinya, satu dari 20 orang berusia 15-64 tahun telah menggunakan obat terlarang. Jumlah ini terus meningkat 3 juta orang setiap tahun.
Menurut Teguh, Pemerintah Indonesia sudah bekerja keras memberantas kejahatan narkoba ini. Pemerintah pun telah menetapkan status darurat nasional atas meningkatnya pemakai narkoba dan jejaring distribusinya. Bersama DPR, pemerintah juga memperkuat aturan hukum pelarangan narkoba, aturan ketat pencucian uang, hingga berbagai Keppres mengenai pencegahan kejahatan narkoba.
Kejahatan lainnya adalah terkait perdagangan orang, yang berdasarkan laporan PBB, sebanyak 155 negara selalu berusaha mengakui fakta itu. Sebanyak 78% kasus perdagangan orang terkait eksploitasi seks, sementara 18% menyangkut isu kerja paksa.
Selain itu adalah terkait illegal fishing yang merusak kekayaan maritim dan wilayah pesisir. Di Indonesia, kata Teguh, illegal fishing menyebabkan kerugian setidaknya USD20 miliar per tahun. Masalahnya, banyak negara yang tak bersedia mengakui adanya kejahatan illegal fishing itu.
"Bagi kami, agar pemberantasan kejahatan transnasional menjadi efektif, maka caranya adalah kerja sama internasional. Memang setiap negara punya sistem hukum masing-masing. Namun kerja sama itu bisa tetap dilakukan dengan tetap menghargai yurisdiksi hukum masing-masing negara," ungkap Teguh.
Salah satu perangkat yang bisa dijadikan acuan bersama memberantas kejahatan transnasional secara bersama-sama adalah Konvensi PBB tentang Pemberantasan Kejahatan Transnasional.
"Jika setiap negara bersedia mengikuti Konvensi PBB itu, dan bersedia bekerja sama dalam spirit kerja sama regional, Indonesia optimistis kita semua mampu memotong angka kejahatan transnasional di Asia Pasifik," tegasnya.
Usulan Indonesia itu akan dibahas lebih lanjut di komite khusus yang menyusun Deklarasi Bersama Sidang APPF ke-24.
Untuk diketahui, dalam APPF ke-24 yang berlangsung di Vancouver 17-21 Januari 2016 ini hadir 20 delegasi negara, di antaranya Jepang, Australia, Rusia, Korea Selatan, China, Australia, dan Selandia Baru. Pada pertemuan tahun ini, dibahas tiga sektor isu: Politik dan Keamanan, Ekonomi dan Perdagangan, serta Kerjasama Kawasan Asia Pasifik. APPF adalah forum parlemen negara-negara Asia Pasifik yang dibentuk pada 1991 oleh 9 negara, dimana Indonesia adalah salah satu negara pendiri.
(hyk)