Mati Syahid atau Mati Terkutuk?
A
A
A
KAUM teroris atau beberapa kalangan menyebutnya sebagai “para pembunuh” meyakini bahwa mereka adalah para syuhada jika mati dalam “perang suci” melawan musuh-musuh mereka. Mati syahid adalah kondisi kematian yang sangat mulia, setidaknya dalam tradisi agama-agama Semitik karena kaum syuhada akan ditempatkan dalam derajat surga yang tinggi.
Dalam keyakinan kaum pembunuh, ketika mereka mati dalam aksi, akan disambut seekor merpati cantik berwarna hijau; para pembunuh itu ditempatkan di tembolok sang merpati, lalu terbang menuju surga yang tinggi. Tapi, benarkah mereka mati dalam keadaan syahid? Atau malah sebaliknya: mati secara terkutuk di mata Tuhan?
Kata syahid dalam bahasa Arab yang berarti “saksi” menurut David Cook (2008) sesungguhnya berasal dari bahasa Suriah Kuno sahido yang bermakna “saksi”. Menurut Quraish Shihab (1998), kata syahid yang terdiri dari huruf syin, ha dan dal memiliki makna dasar “kehadiran”, "pengetahuan, informasi dan kesaksian”. Dalam Alquran, kata Shihab, syahid menunjuk kepada sifat Allah, sifat para nabi, malaikat dan umat Nabi Muhammad yang gugur di jalan Allah, yang menyaksikan kebenaran atas makhluk Allah. Yang gugur dalam perang di jalan Allah dinamai syahid karena para malaikat menyaksikan (menghadiri) kematiannya atau karena ia gugur di bumi sedang bumi juga dinamai “syahidah“ sehingga yang gugur dinamai “syahid“.
Menurut Shihab lebih lanjut, berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 143 dan 283 serta Surah Al-Thalaq ayat 2, Nabi Muhammad adalah syahid dan umatnya adalah syuhada, namun pengertian syahid dalam ketiga ayat itu adalah “teladan” dalam arti kaum muslim pengikut Muhammad harus menjadi syuhada atau teladan-teladan kebajikan bagi umat lain dan Nabi Muhammad adalah “teladan tertinggi” bagi umatnya.
Jika Allah memiliki nama Al-Syahid, apakah Allah juga memiliki nama sang pembunuh (Al-Qatil)? Tentu saja tidak! Apakah Allah melalui kitab-kitab suci yang diturunkan mau mengembangkan kehidupan dan kesejahteraan atau malah memiliki semangat untuk kehancuran dan kebinasaan makhluk-makhluk-Nya? Ada banyak ayat dalam Quran yang menghardik manusia untuk tidak merusak kehidupan dan membunuh jiwa-jiwa karena hidup adalah mulia. Bahkan, ketika malaikat protes, “Apakah Engkau akan menciptakan spesies makhluk yang gemar membunuh,” Tuhan langsung merespons, “Hei! Aku lebih tahu dari kamu! (spesies yang baru ini tidak begitu semuanya)!”
Nabi Muhammad juga disebut syahid meskipun tidak mati syahid dalam perang. Selama masa kenabiannya, Nabi Muhammad tidak pernah melakukan tindakan “kriminal kenabian” seperti memancung kepala, memotong tangan, atau membunuh secara keji. Tidak semata melarang pembunuhan terhadap kaum sipil, tokoh agama, musuh yang sudah menyerah atau lari dalam keadaan tidak melawan, bahkan nabi melarang memetik buah yang masih mentah dan bunga yang sedang mekar. Nabi sangat humanis, karena itu ia disebut al-syahid: sang teladan. Lalu, para teroris-pembunuh itu mau meneladani siapa?
Soal peperangan Nabi, saya masih percaya dengan pandangan Husain Haykal dalam karya klasiknya, Hayatu Muhammad (1932). Bagi Haykal, Nabi dan kaum muslim perdana berperang bukan untuk menaklukkan atau menjajah, melainkan untuk mempertahankan keyakinan (akidah) ketika mereka diancam, diintimidasi, disiksa, dan dibunuh oleh kaum Arab. Selain bersifat defensif (bukan ofensif apalagi agresif) dalam tiap peperangan, Nabi tidak pernah memaksa musuh-musuhnya untuk memeluk Islam karena memang tidak ada paksaan dalam agama (la ikraha fid-din).
Karena itu, Haykal mengkritik Washington Irving, seorang sejarawan Amerika kenamaan yang pernah menulis biografi Nabi. Tulisan Irving itu di satu sisi bagus dan objektif, tetapi di sisi lain menurut Haykal tampak bernada sinis, intoleran, dan penuh prasangka terhadap Islam. Atas nama Kristen, Irving “menuduh” Islam. Irving mengutip sebuah ayat dalam Perjanjian Baru “siapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang” ketika menulis bahwa salah satu watak Islam adalah perang!
Menurut Haykal, jika menelaah sejarah Nabi secara benar, pernyataan Iriving itu adalah keliru dan salah alamat. Justru Eropa yang Kristen yang suka menjajah (negeri-negeri Timur) dan melakukan Kristenisasi dengan pedang dan peluru. Bagi Haykal, Islam tidak pernah menggunakan pedang dan karena itu tak akan binasa oleh pedang.
Menjadi jelas, perang ala nabi berdasar titik pijak “mempertahankan akidah” ketika keyakinan suci itu mau dilarang dan dibungkam. Jika diusir dan diperangi karena akidahnya dan seorang muslim harus meninggal karena melawan, insya Allah itulah mati syahid. Pertanyaannya: apakah pemerintah negeri-negeri Barat yang memerangi Al-Qaeda, Taliban dan ISIS di negeri-negeri kaum muslim untuk mengintimidasi keyakinan (akidah) kaum muslim atau semata mau mencari bala tentara organisasi-organisasi radikal Islam tersebut?
Jika katanya mau membalas atas masyarakat sipil muslim yang mati karena peluru tentara Barat, maka alamatkanlah dendam itu kepada para tentara pasukan Barat. Begitu cara perang ala Nabi, face to face. Bukan dengan membabi-buta membunuh masyarakat sipil yang tak berdosa. Sekali lagi, cara perang ala Nabi adalah dengan mengharamkan membunuh masyarakat sipil dan merusak tempat ibadah.
Apalagi, satu kenyataan yang tak bisa dibantah adalah kaum muslim di Eropa terus mengalami perkembangan dan musala-musala serta masjid besar terus bertambah. Eropa, terutama Jerman, Belanda, dan Inggris, memberi kebebasan penuh kaum muslim untuk berkeyakinan dan beribadah (di tempat-tempat ibadah yang telah dibangun).
Kata syahid juga disematkan kepada orang-orang suci dalam tradisi Islam seperti kaum sufi dan para wali. Mereka menjadi “teladan” dan “saksi” bagi semua perbuatan umat manusia dan kaum muslim khususnya. Terkait dengan terminologi syahid, KH Mujib, seorang kiai dan orator ulung dari Surabaya, membuat pengakuan yang mengejutkan mengenai kewalian Kiai Asad Syamsul Arifin, seorang tokoh besar Nahdlatul Ulama.
Menurut Mujib dalam acara haul Kiai Asad, hampir 20 tahun ia menjadi murid Kiai Asad, tetapi sosok sang kiai tetap misterius; laksana samudra tak bertepi, semakin didekati semakin tak kelihatan. Akhirnya pada suatu musim haji, Kiai Mujib mendapat “informasi” dari seorang ulama di Kota Madinah.
Ketika berjumpa di Jawa Timur sepulang haji, di depan Kiai Asad, Kiai Mujib membacakan ayat “Fa kayfa idza jina min kulli ummatin bi syahidin wa jina bika ala haulai syahida (Maka bagaimanakah [keadaan orang kafir] jika Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap umat dan Kami mendatangkan engkau [Muhammad] sebagai saksi atas mereka).”
Mendengar ayat ini, sontak Kiai Asad menangis sejadi-jadinya karena jati dirinya sebagai waliyullah diketahui orang. Sebagai syahid, bagaimana akhlak para wali? Apakah suka membuat teror, menyakiti manusia atau suka mengobarkan semangat kebencian, permusuhan dan pembunuhan terhadap manusia? Aduhai, jangankan terhadap manusia, akan binatang saja para wali-sufi itu memiliki akhlak yang mulia. Jikapun berdakwah pastilah dakwah mereka dengan cara yang lembut dan santun.
Pemahaman syahid di atas sulit dipraktikkan, mungkin juga sulit dicerna, oleh kaum teroris yang hidup di negara-negara yang penuh konflik. Menurut Komaruddin Hidayat (28/11/2015), tidak sedikit kaum jihadis itu mulanya adalah preman jalanan musuh polisi. Kini mereka berbalik menjadi pasukan perang suci di medan juang global. Perang di jalan Tuhan, selain sebagai penebusan dosa masa lalu, juga jika mati masuk surga, dibandingkan mengharap insentif jabatan dunia yang tidak mungkin diraih karena kondisi negaranya yang kacau. Namun tetap saja, pertempuran itu bukan perang suci! Apalagi yang dibunuh adalah sesama muslim.
Karena itu, tindakan teror, bunuh diri dan membunuh atas nama syahid (martir) -apalagi dalam situasi normal dan aman seperti di tanah air- tidak memiliki (kesahihan) landasan teologis sedikit pun seperti telah dijelaskan di atas. Para tokoh agama -yang mendalam pengetahuan keagamaannya selalu mengingatkan: alih-alih mati syahid, jangan-jangan kaum teroris-pembunuh itu mati secara terkutuk!
MEDIA ZAINUL BAHRI
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alumni Alexander von Humboldt Stiftung pada Universitas zu Köln, Jerman
Dalam keyakinan kaum pembunuh, ketika mereka mati dalam aksi, akan disambut seekor merpati cantik berwarna hijau; para pembunuh itu ditempatkan di tembolok sang merpati, lalu terbang menuju surga yang tinggi. Tapi, benarkah mereka mati dalam keadaan syahid? Atau malah sebaliknya: mati secara terkutuk di mata Tuhan?
Kata syahid dalam bahasa Arab yang berarti “saksi” menurut David Cook (2008) sesungguhnya berasal dari bahasa Suriah Kuno sahido yang bermakna “saksi”. Menurut Quraish Shihab (1998), kata syahid yang terdiri dari huruf syin, ha dan dal memiliki makna dasar “kehadiran”, "pengetahuan, informasi dan kesaksian”. Dalam Alquran, kata Shihab, syahid menunjuk kepada sifat Allah, sifat para nabi, malaikat dan umat Nabi Muhammad yang gugur di jalan Allah, yang menyaksikan kebenaran atas makhluk Allah. Yang gugur dalam perang di jalan Allah dinamai syahid karena para malaikat menyaksikan (menghadiri) kematiannya atau karena ia gugur di bumi sedang bumi juga dinamai “syahidah“ sehingga yang gugur dinamai “syahid“.
Menurut Shihab lebih lanjut, berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 143 dan 283 serta Surah Al-Thalaq ayat 2, Nabi Muhammad adalah syahid dan umatnya adalah syuhada, namun pengertian syahid dalam ketiga ayat itu adalah “teladan” dalam arti kaum muslim pengikut Muhammad harus menjadi syuhada atau teladan-teladan kebajikan bagi umat lain dan Nabi Muhammad adalah “teladan tertinggi” bagi umatnya.
Jika Allah memiliki nama Al-Syahid, apakah Allah juga memiliki nama sang pembunuh (Al-Qatil)? Tentu saja tidak! Apakah Allah melalui kitab-kitab suci yang diturunkan mau mengembangkan kehidupan dan kesejahteraan atau malah memiliki semangat untuk kehancuran dan kebinasaan makhluk-makhluk-Nya? Ada banyak ayat dalam Quran yang menghardik manusia untuk tidak merusak kehidupan dan membunuh jiwa-jiwa karena hidup adalah mulia. Bahkan, ketika malaikat protes, “Apakah Engkau akan menciptakan spesies makhluk yang gemar membunuh,” Tuhan langsung merespons, “Hei! Aku lebih tahu dari kamu! (spesies yang baru ini tidak begitu semuanya)!”
Nabi Muhammad juga disebut syahid meskipun tidak mati syahid dalam perang. Selama masa kenabiannya, Nabi Muhammad tidak pernah melakukan tindakan “kriminal kenabian” seperti memancung kepala, memotong tangan, atau membunuh secara keji. Tidak semata melarang pembunuhan terhadap kaum sipil, tokoh agama, musuh yang sudah menyerah atau lari dalam keadaan tidak melawan, bahkan nabi melarang memetik buah yang masih mentah dan bunga yang sedang mekar. Nabi sangat humanis, karena itu ia disebut al-syahid: sang teladan. Lalu, para teroris-pembunuh itu mau meneladani siapa?
Soal peperangan Nabi, saya masih percaya dengan pandangan Husain Haykal dalam karya klasiknya, Hayatu Muhammad (1932). Bagi Haykal, Nabi dan kaum muslim perdana berperang bukan untuk menaklukkan atau menjajah, melainkan untuk mempertahankan keyakinan (akidah) ketika mereka diancam, diintimidasi, disiksa, dan dibunuh oleh kaum Arab. Selain bersifat defensif (bukan ofensif apalagi agresif) dalam tiap peperangan, Nabi tidak pernah memaksa musuh-musuhnya untuk memeluk Islam karena memang tidak ada paksaan dalam agama (la ikraha fid-din).
Karena itu, Haykal mengkritik Washington Irving, seorang sejarawan Amerika kenamaan yang pernah menulis biografi Nabi. Tulisan Irving itu di satu sisi bagus dan objektif, tetapi di sisi lain menurut Haykal tampak bernada sinis, intoleran, dan penuh prasangka terhadap Islam. Atas nama Kristen, Irving “menuduh” Islam. Irving mengutip sebuah ayat dalam Perjanjian Baru “siapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang” ketika menulis bahwa salah satu watak Islam adalah perang!
Menurut Haykal, jika menelaah sejarah Nabi secara benar, pernyataan Iriving itu adalah keliru dan salah alamat. Justru Eropa yang Kristen yang suka menjajah (negeri-negeri Timur) dan melakukan Kristenisasi dengan pedang dan peluru. Bagi Haykal, Islam tidak pernah menggunakan pedang dan karena itu tak akan binasa oleh pedang.
Menjadi jelas, perang ala nabi berdasar titik pijak “mempertahankan akidah” ketika keyakinan suci itu mau dilarang dan dibungkam. Jika diusir dan diperangi karena akidahnya dan seorang muslim harus meninggal karena melawan, insya Allah itulah mati syahid. Pertanyaannya: apakah pemerintah negeri-negeri Barat yang memerangi Al-Qaeda, Taliban dan ISIS di negeri-negeri kaum muslim untuk mengintimidasi keyakinan (akidah) kaum muslim atau semata mau mencari bala tentara organisasi-organisasi radikal Islam tersebut?
Jika katanya mau membalas atas masyarakat sipil muslim yang mati karena peluru tentara Barat, maka alamatkanlah dendam itu kepada para tentara pasukan Barat. Begitu cara perang ala Nabi, face to face. Bukan dengan membabi-buta membunuh masyarakat sipil yang tak berdosa. Sekali lagi, cara perang ala Nabi adalah dengan mengharamkan membunuh masyarakat sipil dan merusak tempat ibadah.
Apalagi, satu kenyataan yang tak bisa dibantah adalah kaum muslim di Eropa terus mengalami perkembangan dan musala-musala serta masjid besar terus bertambah. Eropa, terutama Jerman, Belanda, dan Inggris, memberi kebebasan penuh kaum muslim untuk berkeyakinan dan beribadah (di tempat-tempat ibadah yang telah dibangun).
Kata syahid juga disematkan kepada orang-orang suci dalam tradisi Islam seperti kaum sufi dan para wali. Mereka menjadi “teladan” dan “saksi” bagi semua perbuatan umat manusia dan kaum muslim khususnya. Terkait dengan terminologi syahid, KH Mujib, seorang kiai dan orator ulung dari Surabaya, membuat pengakuan yang mengejutkan mengenai kewalian Kiai Asad Syamsul Arifin, seorang tokoh besar Nahdlatul Ulama.
Menurut Mujib dalam acara haul Kiai Asad, hampir 20 tahun ia menjadi murid Kiai Asad, tetapi sosok sang kiai tetap misterius; laksana samudra tak bertepi, semakin didekati semakin tak kelihatan. Akhirnya pada suatu musim haji, Kiai Mujib mendapat “informasi” dari seorang ulama di Kota Madinah.
Ketika berjumpa di Jawa Timur sepulang haji, di depan Kiai Asad, Kiai Mujib membacakan ayat “Fa kayfa idza jina min kulli ummatin bi syahidin wa jina bika ala haulai syahida (Maka bagaimanakah [keadaan orang kafir] jika Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap umat dan Kami mendatangkan engkau [Muhammad] sebagai saksi atas mereka).”
Mendengar ayat ini, sontak Kiai Asad menangis sejadi-jadinya karena jati dirinya sebagai waliyullah diketahui orang. Sebagai syahid, bagaimana akhlak para wali? Apakah suka membuat teror, menyakiti manusia atau suka mengobarkan semangat kebencian, permusuhan dan pembunuhan terhadap manusia? Aduhai, jangankan terhadap manusia, akan binatang saja para wali-sufi itu memiliki akhlak yang mulia. Jikapun berdakwah pastilah dakwah mereka dengan cara yang lembut dan santun.
Pemahaman syahid di atas sulit dipraktikkan, mungkin juga sulit dicerna, oleh kaum teroris yang hidup di negara-negara yang penuh konflik. Menurut Komaruddin Hidayat (28/11/2015), tidak sedikit kaum jihadis itu mulanya adalah preman jalanan musuh polisi. Kini mereka berbalik menjadi pasukan perang suci di medan juang global. Perang di jalan Tuhan, selain sebagai penebusan dosa masa lalu, juga jika mati masuk surga, dibandingkan mengharap insentif jabatan dunia yang tidak mungkin diraih karena kondisi negaranya yang kacau. Namun tetap saja, pertempuran itu bukan perang suci! Apalagi yang dibunuh adalah sesama muslim.
Karena itu, tindakan teror, bunuh diri dan membunuh atas nama syahid (martir) -apalagi dalam situasi normal dan aman seperti di tanah air- tidak memiliki (kesahihan) landasan teologis sedikit pun seperti telah dijelaskan di atas. Para tokoh agama -yang mendalam pengetahuan keagamaannya selalu mengingatkan: alih-alih mati syahid, jangan-jangan kaum teroris-pembunuh itu mati secara terkutuk!
MEDIA ZAINUL BAHRI
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alumni Alexander von Humboldt Stiftung pada Universitas zu Köln, Jerman
(hyk)