Nawacita dan Impor Beras

Rabu, 16 Desember 2015 - 14:01 WIB
Nawacita dan Impor Beras
Nawacita dan Impor Beras
A A A
Pemerintah akhirnya memutuskan membuka keran impor beras. Kebijakan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton menjadi bentuk kegagalan kedaulatan pangan.Ketergantungan pangan dari impor menjadi sebuah ironi di tengah kekayaan sumber pangan lokal. Berdasarkan data terkini, impor tujuh pangan utama meningkat pesat dalam lima tahun terakhir, yaitu beras, cabai, daging sapi, gula, jagung, kedelai, dan bawang merah.Yang menjadi pertanyaan setelah setahun politik Nawacita pemerintahan Jokowi-JK, berhasilkah sembilan program prioritas atau Nawacita menjadi penunjuk arah pembangunan nasional, khususnya dalam bidang pangan? Dari sembilan butir Nawacita setidaknya empat butir bersentuhan langsung dengan politik pangan dan swasembada beras.Butir 3: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; butir 5: meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; butir 6: meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit; dan butir 7: mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan ekonomi domestik.Tampak MengkhawatirkanNiat mewujudkan swasembada beras dan meningkatkan produktivitas pangan sebenarnya sudah tampak mengkhawatirkan dengan rencana pemerintah hendak membuka keran impor beras sebanyak 1,5 juta ton sejak tiga bulan terakhir. Alasannya memperkuat cadangan beras pemerintah.Padahal, Presiden Jokowi pada awal pemerintahannya sangat optimistis target swasembada beras akan tercapai 2 tahun ke depan. Kementerian Pertanian pun diminta menetapkan produksi gabah kering giling (GKG) tahun 2015 sebanyak 75,55 juta ton, atau meningkat 6,64% juta ton dari produksi 2014 sebesar 70,61 juta ton.Meski Bank Indonesia mendukung kebijakan impor beras karena bisa menahan laju inflasi, tidak sedikit yang menentang karena impor merugikan petani lokal dan menambah ketergantungan pada negara-negara lain. Idealnya, kurangi impor dan harga beras terjangkau daya beli. Namun, hal ideal ini tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat ini. Karut-marut persoalan produksi beras nasional sangat kompleks. Selain faktor cuaca, alih fungsi lahan dan penyediaan bibit unggul dan subsidi pupuk adalahhalyangterusmengganggu produksi.Implikasinya, kedaulatan pangan sebagai buah program Nawacita di bidang pertanian belum terwujud. Kedaulatan pangan yang disebutkan sebagai hak negara memacu kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal kini mulai panen keraguan.Pembangunan pertanian dalam kurun waktu 15 tahun terakhir untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan kesejahteraan petani terkesan mengalami kegagalan. Indonesia pun berada di ambang krisis pangan yang membuat bangsa ini menjadi pangsa pasar pangan global yang empuk dan petani lokal makin miskin. Berbeda dengan itu, pemerintah negara maju amat melindungi petaninya.Mereka menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan produksi pangan dan terjadi surplus produksi. Kelebihan pangan memungkinkan mereka menjual di bawah harga dasar ke negaranegara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar. Na m u n , yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus.Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan angka produksi padi pada 2015 akan meningkat 6,64 persen atau sebanyak 75,55 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir dengan kenaikan yang mendekati 7,0%. Produksi gabah kering giling 2014 sebanyak 70,85 juta ton atau turun 0,43 juta ton dibanding 2013.Peningkatan produksi 2015 yang signifikan ini seakan-akan mengabaikan sejumlah kendala yang menghambat peningkatan produksi beras. Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada produktivitas padi yang kian melandai. Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan konversi yang mencapai ratarata sekitar 100.000 hektare. Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit meningkatkan produksi padi signifikan.Objek PembangunanPola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik. Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin terpuruk dalam kesengsaraan karena terus merugi. Harga produk pangan domestik kalah bersaing dengan impor.Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang merajalela. Patut disadari, karakteristik pasar beras global sangat tipis. Volume beras yang diperdagangkan hanya 4% dari total produksi global. Dengan jumlah penduduk besar dan sekitar 60% dari mereka membelanjakan pendapatannya sejumlah 25% untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional. Lantas, mengapa pemerintah masih berencana mengimporberas?Impor terjadi akibat gurihnyarenteyangdinikmatipara importir yang pada gilirannya memukul petani. Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Apabila kebijakan itu bisa diimplementasikan pada tahun 2015, patut diacungi jempol sebagai propetani! Sudah bukan rahasia, urusan logistik beras yang sebagian dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund rising ) bagi pencari rente bergaya mafioso.Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya menjadikan ”tradisi impor” seakan- akan legal sebagai pilihan tepat daripada memproduksi beras dari dalam negeri. Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Di sisi lain, jika impor beras dilakukan dapat membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnasi proses produksi perberasan dalam negeri.Namun, jika pemerintah masih mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam jumlah besar, efek jangka panjangnya sama dengan menyimpan bom waktu. Pemerintah harus mengakhiri politik beras murah untuk mengatasi kemiskinan dengan mengatur-atur tata niaganya. Jenis politik yang satu ini sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah defisit dan impor beras tidak ada akhirnya.Presiden Jokowi yang melontarkan gagasan kedaulatan pangan sebagai buah Nawacita, misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas arahnya. Pemerintah patut belajar dari negara-negara maju seperti Korea Selatan dan Jepang yang menyubsidi petaninya secara besar-besaran guna mendorong pembangunan pertanian berkelanjutan.Sudah saatnya memperluas diversifikasi produk pangan Nusantara berbasis nonberas untuk mengawal penguatan kedaulatan pangan guna memutus mata rantai impor sekaligus mengatrol kesejahteraan petani lokal.Posman SibueaGuru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6390 seconds (0.1#10.140)