Meluruskan Arah Perundingan Iklim
A
A
A
PADA 30 November hingga 11 Desember 2015 United Nations Framework on Climate Change Convention (UNFCCC) menggelar Conference of Parties (COP) ke-21 di Paris, Prancis. Pertemuan ini akan dihadiri banyak kepala negara dan kepala pemerintahan, termasuk Presiden Joko Widodo. Pertemuan ini sangat penting karena diharapkan menghasilkan kesepakatan dunia yang mengikat bagi semua negara untuk mencegah bencana mahadahsyat akibat peningkatan suhu bumi dan perubahan iklim.
Panel ahli perubahan iklim yang tergabung di Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) secara tegas menyatakan bahwa bencana dahsyat itu akan terjadi bila suhu bumi meningkat melebihi 2 derajat Celsius dari suhu pada masa praindustrialisasi. Padahal, beberapa ahli memperkirakan kemungkinan suhu bumi akan naik hingga 4 derajat jika perundingan iklim gagal.
Beberapa bencana yang potensial terjadi akibat peningkatan suhu bumi yang melebihi 2 derajat Celsius itu antara lain tenggelamnya sebagain daratan, termasuk hilangnya banyak negara-negara di pulau-pulau kecil seiring mencairnya es di kutub dan meningkatnya volume air; ratusan juta manusia mati kelaparan seiring dengan kekeringan panjang di banyak wilayah pertanian produktif dan masih banyak hal mengerikan lain yang belum terbayangkan sebagai akibat pemanasan global.
Kini suhu bumi terus meningkat. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan bahwa suhu bumi di bulan Juni 2015 mengalami peningkatan mencapai 1,26 derajat. Banyak pihak kemudian mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa peningkatan ekstrem itu akibat El Nino. Akibatnya alarm bahaya yang disampaikan bumi itu tidak menjadi pertimbangan sangat serius bagi negara-negara yang akan ikut perundingan di Paris nanti.
Hal ini terbukti dari perhitungan sementara atas seluruh komitmen negara-negara yang membuat Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) atau kontribusi yang dinyatakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca menunjukkan bahwa suhu bumi akan mengalami peningkatan 2,7 derajat Celsius pada 2100. Situasi ini sangat mengkhawatirkan sehingga diperlukan tekanan ekstrakeras pada seluruh delegasi yang berunding untuk sungguh-sungguh melahirkan kesepakatan yang antara lain mencantumkan komitmen pemangkasan mendalam dan signifikan emisi gas rumah kaca sebagai penyebab utama pemanasan global.
Peta Perundingan
UNFCC berharap COP21 melahirkan Paris Agreement yang berlaku tahun 2020. Menuju kesepakatan Paris yang signifikan tentu tidak mudah. Peta kekuatan politik, kepentingan dan posisi negara-negara yang berunding sangat beragam dan kadang berbeda diametral. Negara-negara yang tergabung dalam Group of 77 and China (G77+China) yang terdiri atas 133 negara berkembang posisinya berbeda dengan negara-negara industri maju yang tergabung dalam Uni Eropa (28 negara) atau Umbrella Group yang terdiri dari Jepang, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Rusia, Selandia Baru, Norwegia, Kazakstan, Ukraina.
Beberapa blok lain adalah 48 negara dengan ekonomi terendah yang bergabung dalam Least Developed Countries (LDCs); Alliance of Small Island States (AOSIS) terdiri dari 43 negara kepulauan kecil yang sangat rentan dampak perubahan iklim; Negara-negara di Afrika yang bergabung dalam African Group; Liga Arab; Alianza Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (ALBA)-terdiri atas Bolivia, Kuba, Ekuador, Venezuela, dan Nikaragua; Independent Alliance of Latin America and the Caribbean (AILAC) dan beberapa blok lain yang bisa berubah sewaktu-waktu tergantung dari bertemunya kepentingan sesaat semasa perundingan.
Peran Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sekaligus pemilik hutan tropis yang luas sesungguhnya dapat mengambil peran lebih dari yang selama ini dimainkan. Indonesia memiliki banyak kekuatan untuk bisa mengambil kepemimpinan dalam perundingan iklim di Paris nanti. Indonesia adalah bagian dari negara G77+China, juga merupakan anggota dari G-20, serta aktif di The Cartagena Dialogue for Progressive Actions yang beranggotakan 40 negara maju dan berkembang, termasuk yang juga menjadi anggota LDCs, Afrika, AOSIS.
Politik bebas aktif yang selama ini dijalankan Indonesia memungkinkan kita dengan lincah mengajak negara lain untuk secara sungguh-sungguh melahirkan kesepakatan Paris yang membawa harapan bagi keselamatan planet bumi. Kepeloporan Indonesia di Konferensi Asia-Afrika juga dapat menjadi modal tambahan lain. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia tentu Indonesia dapat pula mengoptimalkan hubungan dengan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mendukung posisi Indonesia dalam perundingan Paris.
Satu-satunya hambatan bagi Indonesia untuk tampil memimpin pelurusan jalannya perundingan iklim di Paris adalah masalah kebakaran hutan dan lahan. Selama 18 tahun peristiwa kebakaran itu terus terulang dan menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfer dalam jumlah sangat banyak. Masalah kebakaran memang sangat krusial dan menjadi perhatian serius di dalam dan luar negeri. Pernyataan tegas Presiden Joko Widodo terkait masalah kebakaran hutan dan lahan termasuk mencabut izin perusahaan pembakar hutan dan lahan, menghukum mereka hingga memulihkan ekosistem rawa gambut seharusnya telah cukup menjadi perisai bagi seluruh tuduhan terhadap Indonesia. Bukti nyata atas janji Presiden itu tentu akan dilihat setelah perundingan nanti. Apalagi secara historis Indonesia bukanlah kontributor utama pelepas emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Negara-negara industri maju tentu jauh lebih bertanggung jawab atas situasi memanasnya suhu bumi saat ini.
Pesan Utama
Untuk mengambil kepeloporan dalam meluruskan jalannya perundingan iklim tentu Indonesia perlu mengangkat isu utama yang kuat dan menggugah nurani peserta konferensi. Kalangan masyarakat sipil Indonesia dan jaringan internasional mereka mengusung isu keadilan iklim (climate justice). Walhi dengan jaringan Friends of the Earth International adalah penyokong utama isu ini. Serikat Petani Indonesia (SPI), yang merupakan bagian dari gerakan petani internasional La Via Campesina, juga memainkan peran penting dalam mengusung isu keadilan iklim. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi yang sangat disegani di kalangan gerakan masyarakat adat internasional; serta organisasi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), yang merupakan bagian dari gerakan nelayan internasional, juga memainkan peran dalam isu keadilan iklim.
Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Keadilan Iklim yang beranggotakan antara lain Huma, Debt Watch, Solidaritas Perempuan, juga memainkan peran besar pada kampanye keadilan iklim global. Belum lagi organisasi perempuan yang terbilang aktif menyuarakan hal senada.
Kekuatan yang dimiliki organisasi masyarakat sipil Indonesia perlu terkonsolidasi bersama dengan delegasi Republik Indonesia agar menjadi kekuatan kolektif untuk mendorong lahirnya kesepakatan Paris yang dapat mencegah dunia dari bencana iklim yang dahsyat.
Sangat tepat bila pemerintah dan organisasi masyarakat sipil Indonesia bersama-sama mendesak seluruh negara untuk mau melakukan pemangkasan emisi gas rumah kaca secara mendasar dan signifikan dengan tetap berpegang pada prinsip common but differentiated responsibilities & respective capability.
Implikasinya adalah baik Indonesia maupun seluruh negara mau melakukan koreksi mendasar terhadap model pembangunan rakus sumber daya yang selama ini jauh dari prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Tak dapat disangkal bahwa bertumpunya kekuatan ekonomi hanya pada segelintir perusahaan transnasional dan multinasional telah menimbulkan ketidakadilan global, kerusakan serius lingkungan hidup, penggunaan energi fosil besar-besaran, dan konversi lahan yang makin masif. Akibatnya, emisi gas rumah kaca mengalami peningkatan signifikan dan suhu bumi terus meningkat. Karena itu, tak ada alasan melanggengkan model ekonomi yang telah terbukti gagal itu.
Semoga peluang emas bagi Indonesia untuk dapat mengambil kepemimpinan perundingan iklim di Paris ini dapat dimanfaatkan dengan baik. Selamat jalan ke Paris Bapak Presiden. Berikanlah penduduk planet bumi kado terbaik dari Paris sebagai buah dari kepeloporan Indonesia dalam perundingan iklim.
Panel ahli perubahan iklim yang tergabung di Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) secara tegas menyatakan bahwa bencana dahsyat itu akan terjadi bila suhu bumi meningkat melebihi 2 derajat Celsius dari suhu pada masa praindustrialisasi. Padahal, beberapa ahli memperkirakan kemungkinan suhu bumi akan naik hingga 4 derajat jika perundingan iklim gagal.
Beberapa bencana yang potensial terjadi akibat peningkatan suhu bumi yang melebihi 2 derajat Celsius itu antara lain tenggelamnya sebagain daratan, termasuk hilangnya banyak negara-negara di pulau-pulau kecil seiring mencairnya es di kutub dan meningkatnya volume air; ratusan juta manusia mati kelaparan seiring dengan kekeringan panjang di banyak wilayah pertanian produktif dan masih banyak hal mengerikan lain yang belum terbayangkan sebagai akibat pemanasan global.
Kini suhu bumi terus meningkat. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebutkan bahwa suhu bumi di bulan Juni 2015 mengalami peningkatan mencapai 1,26 derajat. Banyak pihak kemudian mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa peningkatan ekstrem itu akibat El Nino. Akibatnya alarm bahaya yang disampaikan bumi itu tidak menjadi pertimbangan sangat serius bagi negara-negara yang akan ikut perundingan di Paris nanti.
Hal ini terbukti dari perhitungan sementara atas seluruh komitmen negara-negara yang membuat Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) atau kontribusi yang dinyatakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca menunjukkan bahwa suhu bumi akan mengalami peningkatan 2,7 derajat Celsius pada 2100. Situasi ini sangat mengkhawatirkan sehingga diperlukan tekanan ekstrakeras pada seluruh delegasi yang berunding untuk sungguh-sungguh melahirkan kesepakatan yang antara lain mencantumkan komitmen pemangkasan mendalam dan signifikan emisi gas rumah kaca sebagai penyebab utama pemanasan global.
Peta Perundingan
UNFCC berharap COP21 melahirkan Paris Agreement yang berlaku tahun 2020. Menuju kesepakatan Paris yang signifikan tentu tidak mudah. Peta kekuatan politik, kepentingan dan posisi negara-negara yang berunding sangat beragam dan kadang berbeda diametral. Negara-negara yang tergabung dalam Group of 77 and China (G77+China) yang terdiri atas 133 negara berkembang posisinya berbeda dengan negara-negara industri maju yang tergabung dalam Uni Eropa (28 negara) atau Umbrella Group yang terdiri dari Jepang, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Rusia, Selandia Baru, Norwegia, Kazakstan, Ukraina.
Beberapa blok lain adalah 48 negara dengan ekonomi terendah yang bergabung dalam Least Developed Countries (LDCs); Alliance of Small Island States (AOSIS) terdiri dari 43 negara kepulauan kecil yang sangat rentan dampak perubahan iklim; Negara-negara di Afrika yang bergabung dalam African Group; Liga Arab; Alianza Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (ALBA)-terdiri atas Bolivia, Kuba, Ekuador, Venezuela, dan Nikaragua; Independent Alliance of Latin America and the Caribbean (AILAC) dan beberapa blok lain yang bisa berubah sewaktu-waktu tergantung dari bertemunya kepentingan sesaat semasa perundingan.
Peran Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sekaligus pemilik hutan tropis yang luas sesungguhnya dapat mengambil peran lebih dari yang selama ini dimainkan. Indonesia memiliki banyak kekuatan untuk bisa mengambil kepemimpinan dalam perundingan iklim di Paris nanti. Indonesia adalah bagian dari negara G77+China, juga merupakan anggota dari G-20, serta aktif di The Cartagena Dialogue for Progressive Actions yang beranggotakan 40 negara maju dan berkembang, termasuk yang juga menjadi anggota LDCs, Afrika, AOSIS.
Politik bebas aktif yang selama ini dijalankan Indonesia memungkinkan kita dengan lincah mengajak negara lain untuk secara sungguh-sungguh melahirkan kesepakatan Paris yang membawa harapan bagi keselamatan planet bumi. Kepeloporan Indonesia di Konferensi Asia-Afrika juga dapat menjadi modal tambahan lain. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia tentu Indonesia dapat pula mengoptimalkan hubungan dengan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mendukung posisi Indonesia dalam perundingan Paris.
Satu-satunya hambatan bagi Indonesia untuk tampil memimpin pelurusan jalannya perundingan iklim di Paris adalah masalah kebakaran hutan dan lahan. Selama 18 tahun peristiwa kebakaran itu terus terulang dan menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfer dalam jumlah sangat banyak. Masalah kebakaran memang sangat krusial dan menjadi perhatian serius di dalam dan luar negeri. Pernyataan tegas Presiden Joko Widodo terkait masalah kebakaran hutan dan lahan termasuk mencabut izin perusahaan pembakar hutan dan lahan, menghukum mereka hingga memulihkan ekosistem rawa gambut seharusnya telah cukup menjadi perisai bagi seluruh tuduhan terhadap Indonesia. Bukti nyata atas janji Presiden itu tentu akan dilihat setelah perundingan nanti. Apalagi secara historis Indonesia bukanlah kontributor utama pelepas emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Negara-negara industri maju tentu jauh lebih bertanggung jawab atas situasi memanasnya suhu bumi saat ini.
Pesan Utama
Untuk mengambil kepeloporan dalam meluruskan jalannya perundingan iklim tentu Indonesia perlu mengangkat isu utama yang kuat dan menggugah nurani peserta konferensi. Kalangan masyarakat sipil Indonesia dan jaringan internasional mereka mengusung isu keadilan iklim (climate justice). Walhi dengan jaringan Friends of the Earth International adalah penyokong utama isu ini. Serikat Petani Indonesia (SPI), yang merupakan bagian dari gerakan petani internasional La Via Campesina, juga memainkan peran penting dalam mengusung isu keadilan iklim. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi yang sangat disegani di kalangan gerakan masyarakat adat internasional; serta organisasi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), yang merupakan bagian dari gerakan nelayan internasional, juga memainkan peran dalam isu keadilan iklim.
Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Keadilan Iklim yang beranggotakan antara lain Huma, Debt Watch, Solidaritas Perempuan, juga memainkan peran besar pada kampanye keadilan iklim global. Belum lagi organisasi perempuan yang terbilang aktif menyuarakan hal senada.
Kekuatan yang dimiliki organisasi masyarakat sipil Indonesia perlu terkonsolidasi bersama dengan delegasi Republik Indonesia agar menjadi kekuatan kolektif untuk mendorong lahirnya kesepakatan Paris yang dapat mencegah dunia dari bencana iklim yang dahsyat.
Sangat tepat bila pemerintah dan organisasi masyarakat sipil Indonesia bersama-sama mendesak seluruh negara untuk mau melakukan pemangkasan emisi gas rumah kaca secara mendasar dan signifikan dengan tetap berpegang pada prinsip common but differentiated responsibilities & respective capability.
Implikasinya adalah baik Indonesia maupun seluruh negara mau melakukan koreksi mendasar terhadap model pembangunan rakus sumber daya yang selama ini jauh dari prinsip-prinsip keadilan dan keberlanjutan. Tak dapat disangkal bahwa bertumpunya kekuatan ekonomi hanya pada segelintir perusahaan transnasional dan multinasional telah menimbulkan ketidakadilan global, kerusakan serius lingkungan hidup, penggunaan energi fosil besar-besaran, dan konversi lahan yang makin masif. Akibatnya, emisi gas rumah kaca mengalami peningkatan signifikan dan suhu bumi terus meningkat. Karena itu, tak ada alasan melanggengkan model ekonomi yang telah terbukti gagal itu.
Semoga peluang emas bagi Indonesia untuk dapat mengambil kepemimpinan perundingan iklim di Paris ini dapat dimanfaatkan dengan baik. Selamat jalan ke Paris Bapak Presiden. Berikanlah penduduk planet bumi kado terbaik dari Paris sebagai buah dari kepeloporan Indonesia dalam perundingan iklim.
(hyk)