Pahlawan Antikorupsi

Jum'at, 13 November 2015 - 07:12 WIB
Pahlawan Antikorupsi
Pahlawan Antikorupsi
A A A
SPIRIT para pahlawan yang mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai kapan pun akan selalu dikenang. Akan selalu relevan untuk ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa. Memperingati Hari Pahlawan Ke-70 pada 10 November 2015, nama Bung Tomo selalu menjadi rujukan.

Memaknai Hari Pahlawan, sebetulnya tidak selalu dikonotasikan dengan heroisme dengan mengangkat senjata seperti yang dilakukan Bung Tomo, Pangeran Diponegoro, atau Tjoet Nyak Dhien. Spirit kepahlawanan bisa lahir dalam dunia pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, perjuangan terhadap hak-hak perempuan, berprestasi dalam dunia olahraga, dan berbagai bentuk pengabdian pada bangsa dan masyarakat.

Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang diberitakan melalui running text salah satu TV swasta (9/11/2015), jiwa kepahlawanan dapat diperankan oleh setiap orang melalui bidang masing- masing. Bagi yang bekerja di dunia pendidikan, jadilah pahlawan pendidikan, bagi politisi jadilah pahlawan demokrasi, dan sebagainya. Tetapi, yang juga penting adalah menjadi pahlawan antikorupsi, menjadi pelopor untuk mencegah dan memerangi perilaku korupsi.

Kita ingin perjuangan baru memerangi perilaku korupsi yang terus menggurita, dijadikan musuh bersama. Dalam realitas kekinian, semangat kepahlawanan untuk memerangi korupsi harus terpatri dalam jiwa semua komponen bangsa. Apalagi, korupsi sudah menjadi ancaman kehidupan bangsa, tidak hanya di sektor ekonomi, tetapi juga merusak sektor politik dan pendidikan dan berbagai sektor kehidupan lainnya.

Musuh Bersama
Menjadikan korupsi sebagai musuh bersama sangat dibutuhkan sosok pemimpin dan aparat hukum yang memiliki keberanian untuk mengambil prakarsa. Berani menjadikan hukum sebagai panglima, menjadikan rumusan undang-undang korupsi sebagai bambu runcing dan senjata untuk memburu para koruptor di mana pun ia bersembunyi, serta mengendus dan mengembalikan harta hasil korupsi yang disembunyikan di luar negeri.

Korupsi masa kini mendoktrin ke arah perusakan otak orang-orang cerdik agar tergoda melakukan korupsi. Beberapa bukti konkret tersaji di ruang publik, orang cerdik bergelar profesor sekalipun ikut tergoda rayuan korupsi. Terutama ketika meninggalkan kampus dengan alasan pengabdian, tetapi di tempat yang baru malah terjebak korupsi. Mereka belum mampu menjadi agen dan pahlawan antikorupsi.

Begitu pula kepala daerah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah, diharapkan menjadi pahlawan antikorupsi. Paling tidak menjaga diri dan keluarganya agar tidak gampang menjadikan korupsi sebagai pilihan hidup.

Korban Korupsi

Maraknya praktik korupsi tidak bisa dimungkiri akibat ”keserakahan”. Kendati sudah banyak koruptor yang dipenjara, praktik korupsi tak kunjung habis. Itulah yang perlu diatensi, kemudian membentuk semangat baru agar setiap orang mampu menjadi pahlawan antikorupsi. Begitu susah payah para pahlawan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, tetapi malah generasi pelanjut mengkhianati para pahlawan. Setelah kekuasaan dicapai, malah kekuasaan dijadikan alat untuk mencuri uang rakyat.

Kebiasaan tercela bagi koruptor yang tanpa rasa malu harus dihentikan secara paksa. Jika kita ingin pembangunan berjalan dan rakyat tidak terus-menerus menjadi ”korban korupsi”, selain menjatuhkan pidana penjara yang berat, juga perlu memiskinkan mereka. Upaya efek jera yang dilakukan secara progresif oleh Mahkamah Agung (MA) bahkan perlu didukung yaitu mencabut hak-hak politik untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik (Pasal 18 Ayat 1 huruf-d UU Korupsi).

Langkah tegas MA menjatuhkan putusan tegas merupakan hal yang wajar di tengah maraknya aksi korupsi. Para pengemplang uang rakyat dari pemegang kekuasaan seperti aparat penegak hukum, politisi yang duduk di kursi legislatif, ketua umum partai, menteri, dan kepala daerah layak dicabut hak politiknya. Kenapa begitu? Karena, mereka punya kedudukan, aktivitas, atau posisi politik yang memudahkan mereka menyelewengkan uang rakyat.

Hal itu sudah dipraktikkan KPK terhadap empat terpidana korupsi yang dicabut hak politiknya. Sebut saja, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq selaku mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera, Anas Urbaningrum sebagai mantan ketua umum Partai Demokrat, dan Raja Bonaran Situmeang selaku mantan bupati Tapanuli Tengah. Rakyat terpaksa menjadi korban korupsi yang membuat kehidupan mereka tidak sejahtera karena uang yang akan dipakai untuk menyejahterakan rakyat dikorup.

Mendorong pencabutan hak politik koruptor karena korupsi kejahatan luar biasa yang mengorbankan rakyat banyak. Kita harapkan kepolisian dan kejaksaan menjadi pahlawan yang berani pula menerapkan pasal pencabutan hak politik terdakwa. Begitu pula hakim pengadilan korupsi di daerah agar berani merujuk (yurisprudensi) putusan MA yang mencabut hak politik koruptor.

Salah satu hal yang sampai kini belum berani dijerat KPK adalah dugaan keterlibatan partai politik selaku korporasi (subjek hukum). Harus berani menelisik dugaan keterlibatan parpol yang kemungkinan memperoleh keuntungan dari hasil korupsi yang dilakukan kadernya di DPR atau di kementerian. Jika terbukti, parpol bisa dijatuhi pidana denda dan sanksi administratif pembekuan atau pembubaran. Semuanya diarahkan untuk melindungi rakyat agar tidak selalu menjadi korban korupsi. Maka itu, mari menjadi pahlawan antikorupsi demi kepentingan bersama yaitu membangun bangsa dan negara tanpa korup.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5094 seconds (0.1#10.140)