Konstitusionalisme Paket Ekonomi VI
A
A
A
SEJARAH konstitusionalisme sebuah negara, sepanjang yang terentang dalam samudra pemikiran hukum dan politik, harus diakui merupakan sejarah tentang impian bangsa itu menata takdirnya. Sejarah itu, dalam esensi dan sifatnya yang nyata, merupakan sejarah tentang pertautan ide ekonomi politik dominan berhadapan dengan ide yang sama orang kebanyakan, untuk tak mengatakan kawanan yang kebingungan.
Betapapun menempatkan konstitusi sebagai sandaran, panduan utama sebuah negara meniti takdirnya, dalam sifatnya yang nyata pula tak selalu begitu. Dinamikanya selalu rumit walau tak mungkin tak bisa diurai. Dalam konteks itu, sejarah konstitusionalisme, sejatinya merupakan sejarah para pemenang, umumnya pemodal yang memiliki koneksi politik, atau sebaliknya politisi yang punya koneksi ekonomi.
Gambarannya
Konstitusionalisme, karena itu, untuk sebagian kasus, mengikuti perspektif John Stuart Mill, ilmuwan Inggris yang terkenal itu, tidak bisa dilepas dari dua kekuatan utama; ekonomi dan politik. Pemilik kekuatan ekonomi, suka atau tidak, tidak mungkin membiarkan politisi, yang acapkali mengagungkan kemauan orang banyak, bukan kawanan yang kebingungan, menentukan takdir mereka.
Lord Acton, ilmuwan yang dikenal dengan kredo kekuasaan korupnya, suatu saat, mengonstatir adanya tangan tersembunyi di balik revolusi Prancis, sebuah revolusi yang digelorakan dengan liberte, egalite, dan fraternite, yang akhirnya ditandai oleh James Harley Robinson dan Charles A Bird sebagai pangkal Atlantic Civilization yang terkenal itu. Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika, pada sebuah kesempatan menandai hal yang sama, untuk kasus berbeda.
Jefferson, seperti direkam oleh Ralp Epperson, penulis New World Order, terang-terangan menentang pendirian the first bank, yang disukai Adam Weicshaup, pemodal luar biasa besar, yang tali-temalinya terhubung dengan Bank of England, di London. Jefferson menggunakan ketentuan konstitusi, pasal 1 ayat (8), yang menurutnya tidak memberi kewenangan kepada kongres membuat undang-undang, yang memberi otoritas kepada presiden mendirikan bank sentral.
Dalam argumennya, mungkin dapat dinilai idealis, kata Jefferson, jika rakyat Amerika membolehkan bank swasta mengendalikan masalah mata uang, yang akan terjadi, pertama inflasi, kedua deflasi. Bank yang demikian itu, yang tumbuh di sekeliling mereka akan mengambil harta kekayaan rakyat sampai anak-anak tidak lagi memiliki benua yang ditaklukkan oleh ayah mereka. Faktanya, Jefferson kalah, dan the first bank yang disusul dengan second bank dan akhirnya the federal reserve system, the FED, didirikan dan hidup manis hingga saat ini.
Apakah paket demi paket ekonomi, khususnya paket ekonomi keenam yang telah diumumkan itu, cukup masuk akal disematkan sebagai kemenangan kaum pemodal? Insentif yang begitu luas, yang disediakan dalam paket ekonomi keenam, tak menjadi hantu buat mereka. Tak mungkin insentif itu tak dinantikan. Toh, insentif itu merupakan replika dari aturan dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Tertib Konstitusi Terancam
Menyediakan insentif yang begitu menggiurkan di bidang keuangan -perpajakan dan bea masuk, juga cukai, impor, dan ekspor- berikut perizinan di bidang pertanahan di tengah kawasan ekonomi khusus yang telah terbentuk, tetapi belum terjamah secara efektif, tentu menarik. Menariknya adalah belum ada kepastian hukum yang konkret bagi pemodal tentang semua insentif itu.
Berapa lama insentif itu diberikan, berapa besar persentasenya, berapa lama jangka waktu penyelesaian hak guna usaha misalnya, sungguh, tak diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK itu. Nalarnya UU itu belum memberi kepastian hukum konkret kepada pemodal. Tetapi, tetap saja bermakna peluang telah ada di depan mata. Soalnya adalah bagaimana mengubah potensi itu berubah menjadi konkret.
Datanglah kembang seroja bernama pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Keadaan ini, oleh sebagian kalangan, dinilai dapat memicu krisis ekonomi, bahkan sebagian lagi menilai keadaan itu sebagai krisis yang nyata. Laksana pucuk dicinta, ulam pun tiba, paket demi paket ekonomi, yang dituangkan ke dalam peraturan pemerintah pun bersinar di atas samudra konstitusionalisme.
Demi penghidupan yang layak bagi warga negara, sebuah kewajiban konstitusional pemerintah, begitulah esensi Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, pemerintah harus bertindak. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak bisa dibiarkan. Untuk tujuan itu, Pasal 33 UUD 1945 pun menemukan momentum konstitusional konkret.
Dalam konteks itu, tidak lagi penting menilai dan menautkan esensi ayat demi ayat dalam Pasal 33 itu untuk memastikan harmoni konstitusional dari kebijakan berbentuk paket demi paket ekonomi itu. Memastikan harmoni itu, akan dinilai sebagai pekerjaan yang terlalu rumit, dan tidak tepat di tengah keadaan tak menentu itu. Kapitalis yang berbaju sosialis akan menertawakannya.
Semuanya beres hanya dengan satu pukulan kecil yang menakutkan; pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Tax holiday dan tax allowance, berikut pengistimewaan lainnya, tidak lagi penting ditimbang derajat konstitusionalnya. Menimbangnya, akan dinilai, bisa jadi, sebagai manusia provokatif, manusia yang tak menghendaki kemajuan daerah. Bukankah kawasan-kawasan ekonomi khusus itu adanya nun jauh di sana, di daerah, seperti Morotai di Maluku Utara?
Konstitusionalisme ugal-ugalan di bidang ekonomi, mungkin tak akan jadi ciri konstitusionalisme Indonesia akan datang, betapapun dari waktu ke waktu sumber daya alam jatuh ke tangan kapitalis berbaju sosialis, dan digunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran mereka. Krisis yang sangat sering ditunjuk sebagai senjata andalan konstitusionalisme kapitalis, kelak akan terus andal menyingkirkan tertib konstitusi.
Betapapun menempatkan konstitusi sebagai sandaran, panduan utama sebuah negara meniti takdirnya, dalam sifatnya yang nyata pula tak selalu begitu. Dinamikanya selalu rumit walau tak mungkin tak bisa diurai. Dalam konteks itu, sejarah konstitusionalisme, sejatinya merupakan sejarah para pemenang, umumnya pemodal yang memiliki koneksi politik, atau sebaliknya politisi yang punya koneksi ekonomi.
Gambarannya
Konstitusionalisme, karena itu, untuk sebagian kasus, mengikuti perspektif John Stuart Mill, ilmuwan Inggris yang terkenal itu, tidak bisa dilepas dari dua kekuatan utama; ekonomi dan politik. Pemilik kekuatan ekonomi, suka atau tidak, tidak mungkin membiarkan politisi, yang acapkali mengagungkan kemauan orang banyak, bukan kawanan yang kebingungan, menentukan takdir mereka.
Lord Acton, ilmuwan yang dikenal dengan kredo kekuasaan korupnya, suatu saat, mengonstatir adanya tangan tersembunyi di balik revolusi Prancis, sebuah revolusi yang digelorakan dengan liberte, egalite, dan fraternite, yang akhirnya ditandai oleh James Harley Robinson dan Charles A Bird sebagai pangkal Atlantic Civilization yang terkenal itu. Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika, pada sebuah kesempatan menandai hal yang sama, untuk kasus berbeda.
Jefferson, seperti direkam oleh Ralp Epperson, penulis New World Order, terang-terangan menentang pendirian the first bank, yang disukai Adam Weicshaup, pemodal luar biasa besar, yang tali-temalinya terhubung dengan Bank of England, di London. Jefferson menggunakan ketentuan konstitusi, pasal 1 ayat (8), yang menurutnya tidak memberi kewenangan kepada kongres membuat undang-undang, yang memberi otoritas kepada presiden mendirikan bank sentral.
Dalam argumennya, mungkin dapat dinilai idealis, kata Jefferson, jika rakyat Amerika membolehkan bank swasta mengendalikan masalah mata uang, yang akan terjadi, pertama inflasi, kedua deflasi. Bank yang demikian itu, yang tumbuh di sekeliling mereka akan mengambil harta kekayaan rakyat sampai anak-anak tidak lagi memiliki benua yang ditaklukkan oleh ayah mereka. Faktanya, Jefferson kalah, dan the first bank yang disusul dengan second bank dan akhirnya the federal reserve system, the FED, didirikan dan hidup manis hingga saat ini.
Apakah paket demi paket ekonomi, khususnya paket ekonomi keenam yang telah diumumkan itu, cukup masuk akal disematkan sebagai kemenangan kaum pemodal? Insentif yang begitu luas, yang disediakan dalam paket ekonomi keenam, tak menjadi hantu buat mereka. Tak mungkin insentif itu tak dinantikan. Toh, insentif itu merupakan replika dari aturan dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Tertib Konstitusi Terancam
Menyediakan insentif yang begitu menggiurkan di bidang keuangan -perpajakan dan bea masuk, juga cukai, impor, dan ekspor- berikut perizinan di bidang pertanahan di tengah kawasan ekonomi khusus yang telah terbentuk, tetapi belum terjamah secara efektif, tentu menarik. Menariknya adalah belum ada kepastian hukum yang konkret bagi pemodal tentang semua insentif itu.
Berapa lama insentif itu diberikan, berapa besar persentasenya, berapa lama jangka waktu penyelesaian hak guna usaha misalnya, sungguh, tak diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang KEK itu. Nalarnya UU itu belum memberi kepastian hukum konkret kepada pemodal. Tetapi, tetap saja bermakna peluang telah ada di depan mata. Soalnya adalah bagaimana mengubah potensi itu berubah menjadi konkret.
Datanglah kembang seroja bernama pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Keadaan ini, oleh sebagian kalangan, dinilai dapat memicu krisis ekonomi, bahkan sebagian lagi menilai keadaan itu sebagai krisis yang nyata. Laksana pucuk dicinta, ulam pun tiba, paket demi paket ekonomi, yang dituangkan ke dalam peraturan pemerintah pun bersinar di atas samudra konstitusionalisme.
Demi penghidupan yang layak bagi warga negara, sebuah kewajiban konstitusional pemerintah, begitulah esensi Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, pemerintah harus bertindak. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tak bisa dibiarkan. Untuk tujuan itu, Pasal 33 UUD 1945 pun menemukan momentum konstitusional konkret.
Dalam konteks itu, tidak lagi penting menilai dan menautkan esensi ayat demi ayat dalam Pasal 33 itu untuk memastikan harmoni konstitusional dari kebijakan berbentuk paket demi paket ekonomi itu. Memastikan harmoni itu, akan dinilai sebagai pekerjaan yang terlalu rumit, dan tidak tepat di tengah keadaan tak menentu itu. Kapitalis yang berbaju sosialis akan menertawakannya.
Semuanya beres hanya dengan satu pukulan kecil yang menakutkan; pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Tax holiday dan tax allowance, berikut pengistimewaan lainnya, tidak lagi penting ditimbang derajat konstitusionalnya. Menimbangnya, akan dinilai, bisa jadi, sebagai manusia provokatif, manusia yang tak menghendaki kemajuan daerah. Bukankah kawasan-kawasan ekonomi khusus itu adanya nun jauh di sana, di daerah, seperti Morotai di Maluku Utara?
Konstitusionalisme ugal-ugalan di bidang ekonomi, mungkin tak akan jadi ciri konstitusionalisme Indonesia akan datang, betapapun dari waktu ke waktu sumber daya alam jatuh ke tangan kapitalis berbaju sosialis, dan digunakan untuk sebesar-sebesarnya kemakmuran mereka. Krisis yang sangat sering ditunjuk sebagai senjata andalan konstitusionalisme kapitalis, kelak akan terus andal menyingkirkan tertib konstitusi.
(hyk)