Desa Lumbung Wirausaha
A
A
A
BLUSUKAN Presiden Jokowi ke Negeri Paman Sam membawa secercah harapan sekaligus tantangan bagi bangkitnya perekonomian desa. Yang menarik dari agenda kunjungannya adalah keinginan agar pengembangan ekonomi digital dan ekonomi kreatif tidak hanya untuk kepentingan masyarakat perkotaan, melainkan dapat dirasakan rakyat di perdesaan. Tentu ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Namun, kita sadar bahwa menggerakkan perekonomian desa tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur. Perlu penguatan kapasitas sumber daya manusia desa. Bukankah program internet masuk desa pernah dilaksanakan, tetapi perekonomian desa tetap saja terpuruk. Kedaulatan pangan yang kita harapkan tidak akan pernah terwujud bila pelaku utamanya termarginalkan. Alangkah tidak bijaknya bila kita menyamakan profil petani di Amerika dengan petani di Indonesia. Sosok mereka sering diistilahkan ”petani atau peternak berdasi” dengan kepemilikan lahan yang luas, sementara petani kita jangankan untuk beli dasi dan punya lahan, beli pupuk saja harus memelas kepada tengkulak.
Sejak bangsa ini merdeka, orientasi pembangunan ekonomi terpusat di wilayah perkotaan. Akibatnya, kantong-kantong kemiskinan menumpuk di perdesaan. Puluhan ribu desa di pelosok Nusantara sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang. Hanya, warga desa lebih senang mencari jalan pintas dengan berurbanisasi ke perkotaan untuk mencari kerja. Urbanisasi tentu hanya memindahkan persoalan kemiskinan dari desa ke kota. Padahal, jika mau, sumber daya ekonomi desa sebenarnya dapat diutilasi oleh masyarakatnya. Karakter masyarakat perdesaan yang tahan kemalangan misalnya merupakan modal bagi lahirnya wirausaha desa. Kita tahu syarat kepribadian seorang entrepreneur sukses adalah mau bekerja keras dan tahan banting.
Desa harus mampu menyemai benih-benih muncul wirausaha mumpuni. Mereka inilah yang dapat diharapkan mentransformasi sumber daya desa menjadi barang dan jasa bernilai ekonomi. Tersedianya lapangan pekerjaan di desa setidaknya mampu mengurangi laju arus urbanisasi. Kita tentu sepakat bahwa desa harus diarahkan agar mandiri secara ekonomi, sosial, dan budaya. Lalu, pertanyaannya, bagaimana menumbuhkembangkan kewirausahaan di desa?
Perlu Kemitraan Strategis
Kebijakan pemerintah dalam memperkuat perekonomian desa dibuktikan dengan mendirikan BUMdes dan pengalokasian dana desa. Kebijakan ini tentu harus ditopang penguatan kapasitas warga desa untuk selalu inovatif dan kreatif modal bagi kelahiran wirausaha baru di perdesaan. Untuk itu, perlu sinergitas program dalam mewujudkannya. Desa harus menjadi inkubasi kewirausahaan. Alokasi dana desa dapat dimanfaatkan tidak saja untuk membangun sarana dan prasarana publik, tetapi juga untuk program pengembangan kapasitas sumber daya manusia seperti pendidikan dan pelatihan kewirausahaan. Jika alokasi dana desa hanya diperuntukkan bagi infrastruktur, kebijakan ini dikhawatirkan akan menjadi kontraproduktif. Desa tidak lagi bisa diharapkan mandiri karena dimanjakan dengan gelontoran dana dari pemerintah pusat. Tantangan lain adalah ketakutan aparat desa terjerat persoalan hukum dalam menggunakan alokasi dana desa yang berasal dari APBN.
BUMDesa dan koperasi desa sebagai lembaga usaha harus terlibat aktif. Mereka dapat membentuk konsorsium bagi pemasaran bersama barang dan jasa yang diproduksi warga. Strategi pemasaran diarahkan pada pembentukan sekaligus penguatan branding produk unggulan desa. Dua lembaga ini diharapkan menjadi mediator manakala ada kelompok usaha skala kecil yang berorientasi ekspor. Peran lain dapat diwujudkan dalam bentuk pembinaan quality control bagi produk yang dihasilkan. Lembaga ini juga diharapkan berkontribusi mengatasi persoalan klasik yang selalu dihadapi usaha mikro dan kecil yaitu ketidakmampuan mengelola keuangan usaha dengan baik. Pada saat yang sama, secara kelembagaan mereka secara profesional dapat menjadi penyalur kredit usaha rakyat.
Perguruan tinggi melalui kegiatan pengabdian masyarakatnya dapat membentuk desa wilayah binaan. Masyarakat kampus dapat memetakan desa binaan sesuai potensi unggulan yang dimiliki. Dengan demikian, perlakuan terhadap desa binaan satu dengan lainnya tentu berbeda berdasarkan pengklusteran seperti desa wisata, desa maritim, desa kreatif, desa budaya, dan lain sebagainya. Kampus dan pemerintah daerah bersama-sama mewujudkan konsep one village one product. Dosen dan mahasiswa diarahkan untuk berperan sebagai technical assistance bagi kelompok usaha sesuai kluster wilayah binaan. Mereka dengan keahliannya memberikan bimbingan dan konsultasi rintisan usaha. Pada saat yang sama, satuan pendidikan nonformal yang tersebar di pelosok Tanah Air seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan pondok pesantren melalui program aksara kewirausahaannya dapat memosisikan diri sebagai inkubator bisnis bagi warga desa yang ingin menjadi wirausaha. Pelatihan literasi keuangan misalnya dapat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tersebut.
Pemerintah harus berupaya keras menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di pedesaan. Insentif pajak dan kemudahan perizinan seyogianya diberikan kepada mereka yang berminat. Tentu kita tidak menghendaki partisipasi aktif investor hanya sekedar menyediakan lapangan kerja bagi warga desa. Atau, sekadar mengeksploitasi sumber daya alam tanpa ada manfaat sosial ekonomi yang diperoleh masyarakat. Jangan sampai masyarakat hanya mendapatkan asap akibat pembakaran hutan ulah para pelaku usaha yang tidak menjunjung etika bisnis dan lingkungan. Karena itu, pelibatan entitas bisnis yang diharapkan adalah penularan virus kewirausahaan kepada warga desa.
Kritik terhadap kinerja BUMN/D adalah ketidakmampuannya menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan. Saatnya pemerintah mendorong bahkan bila perlu memaksa BUMN/D untuk lebih proaktif membantu perekonomian desa dalam setiap proses bisnisnya. Program bina lingkungan seyogianya diorientasikan untuk mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha baru di desa. Ajak para CEO-nya untuk mau turun berbagi pengalaman mengelola bisnis dengan kelompok-kelompok usaha di desa. Pada akhirnya kita sepakat bahwa bangsa ini perlu wirausaha baru yang lahir dari ribuan desa di Tanah Air. Sudah saatnya desa dijadikan lumbung wirausaha ndeso yang low profile high income. Dengan demikian, kemandirian ekonomi desa dapat terwujud sekaligus membantu pengentasan kemiskinan. Semoga.
Namun, kita sadar bahwa menggerakkan perekonomian desa tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur. Perlu penguatan kapasitas sumber daya manusia desa. Bukankah program internet masuk desa pernah dilaksanakan, tetapi perekonomian desa tetap saja terpuruk. Kedaulatan pangan yang kita harapkan tidak akan pernah terwujud bila pelaku utamanya termarginalkan. Alangkah tidak bijaknya bila kita menyamakan profil petani di Amerika dengan petani di Indonesia. Sosok mereka sering diistilahkan ”petani atau peternak berdasi” dengan kepemilikan lahan yang luas, sementara petani kita jangankan untuk beli dasi dan punya lahan, beli pupuk saja harus memelas kepada tengkulak.
Sejak bangsa ini merdeka, orientasi pembangunan ekonomi terpusat di wilayah perkotaan. Akibatnya, kantong-kantong kemiskinan menumpuk di perdesaan. Puluhan ribu desa di pelosok Nusantara sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang. Hanya, warga desa lebih senang mencari jalan pintas dengan berurbanisasi ke perkotaan untuk mencari kerja. Urbanisasi tentu hanya memindahkan persoalan kemiskinan dari desa ke kota. Padahal, jika mau, sumber daya ekonomi desa sebenarnya dapat diutilasi oleh masyarakatnya. Karakter masyarakat perdesaan yang tahan kemalangan misalnya merupakan modal bagi lahirnya wirausaha desa. Kita tahu syarat kepribadian seorang entrepreneur sukses adalah mau bekerja keras dan tahan banting.
Desa harus mampu menyemai benih-benih muncul wirausaha mumpuni. Mereka inilah yang dapat diharapkan mentransformasi sumber daya desa menjadi barang dan jasa bernilai ekonomi. Tersedianya lapangan pekerjaan di desa setidaknya mampu mengurangi laju arus urbanisasi. Kita tentu sepakat bahwa desa harus diarahkan agar mandiri secara ekonomi, sosial, dan budaya. Lalu, pertanyaannya, bagaimana menumbuhkembangkan kewirausahaan di desa?
Perlu Kemitraan Strategis
Kebijakan pemerintah dalam memperkuat perekonomian desa dibuktikan dengan mendirikan BUMdes dan pengalokasian dana desa. Kebijakan ini tentu harus ditopang penguatan kapasitas warga desa untuk selalu inovatif dan kreatif modal bagi kelahiran wirausaha baru di perdesaan. Untuk itu, perlu sinergitas program dalam mewujudkannya. Desa harus menjadi inkubasi kewirausahaan. Alokasi dana desa dapat dimanfaatkan tidak saja untuk membangun sarana dan prasarana publik, tetapi juga untuk program pengembangan kapasitas sumber daya manusia seperti pendidikan dan pelatihan kewirausahaan. Jika alokasi dana desa hanya diperuntukkan bagi infrastruktur, kebijakan ini dikhawatirkan akan menjadi kontraproduktif. Desa tidak lagi bisa diharapkan mandiri karena dimanjakan dengan gelontoran dana dari pemerintah pusat. Tantangan lain adalah ketakutan aparat desa terjerat persoalan hukum dalam menggunakan alokasi dana desa yang berasal dari APBN.
BUMDesa dan koperasi desa sebagai lembaga usaha harus terlibat aktif. Mereka dapat membentuk konsorsium bagi pemasaran bersama barang dan jasa yang diproduksi warga. Strategi pemasaran diarahkan pada pembentukan sekaligus penguatan branding produk unggulan desa. Dua lembaga ini diharapkan menjadi mediator manakala ada kelompok usaha skala kecil yang berorientasi ekspor. Peran lain dapat diwujudkan dalam bentuk pembinaan quality control bagi produk yang dihasilkan. Lembaga ini juga diharapkan berkontribusi mengatasi persoalan klasik yang selalu dihadapi usaha mikro dan kecil yaitu ketidakmampuan mengelola keuangan usaha dengan baik. Pada saat yang sama, secara kelembagaan mereka secara profesional dapat menjadi penyalur kredit usaha rakyat.
Perguruan tinggi melalui kegiatan pengabdian masyarakatnya dapat membentuk desa wilayah binaan. Masyarakat kampus dapat memetakan desa binaan sesuai potensi unggulan yang dimiliki. Dengan demikian, perlakuan terhadap desa binaan satu dengan lainnya tentu berbeda berdasarkan pengklusteran seperti desa wisata, desa maritim, desa kreatif, desa budaya, dan lain sebagainya. Kampus dan pemerintah daerah bersama-sama mewujudkan konsep one village one product. Dosen dan mahasiswa diarahkan untuk berperan sebagai technical assistance bagi kelompok usaha sesuai kluster wilayah binaan. Mereka dengan keahliannya memberikan bimbingan dan konsultasi rintisan usaha. Pada saat yang sama, satuan pendidikan nonformal yang tersebar di pelosok Tanah Air seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), dan pondok pesantren melalui program aksara kewirausahaannya dapat memosisikan diri sebagai inkubator bisnis bagi warga desa yang ingin menjadi wirausaha. Pelatihan literasi keuangan misalnya dapat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tersebut.
Pemerintah harus berupaya keras menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di pedesaan. Insentif pajak dan kemudahan perizinan seyogianya diberikan kepada mereka yang berminat. Tentu kita tidak menghendaki partisipasi aktif investor hanya sekedar menyediakan lapangan kerja bagi warga desa. Atau, sekadar mengeksploitasi sumber daya alam tanpa ada manfaat sosial ekonomi yang diperoleh masyarakat. Jangan sampai masyarakat hanya mendapatkan asap akibat pembakaran hutan ulah para pelaku usaha yang tidak menjunjung etika bisnis dan lingkungan. Karena itu, pelibatan entitas bisnis yang diharapkan adalah penularan virus kewirausahaan kepada warga desa.
Kritik terhadap kinerja BUMN/D adalah ketidakmampuannya menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan. Saatnya pemerintah mendorong bahkan bila perlu memaksa BUMN/D untuk lebih proaktif membantu perekonomian desa dalam setiap proses bisnisnya. Program bina lingkungan seyogianya diorientasikan untuk mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha baru di desa. Ajak para CEO-nya untuk mau turun berbagi pengalaman mengelola bisnis dengan kelompok-kelompok usaha di desa. Pada akhirnya kita sepakat bahwa bangsa ini perlu wirausaha baru yang lahir dari ribuan desa di Tanah Air. Sudah saatnya desa dijadikan lumbung wirausaha ndeso yang low profile high income. Dengan demikian, kemandirian ekonomi desa dapat terwujud sekaligus membantu pengentasan kemiskinan. Semoga.
(hyk)