Mbah Hasyim dan Sejarah Resolusi Jihad

Kamis, 22 Oktober 2015 - 12:42 WIB
Mbah Hasyim dan Sejarah Resolusi Jihad
Mbah Hasyim dan Sejarah Resolusi Jihad
A A A
Adalah Sayyid Muhammad Asad Shihab, seorang jurnalis dari Timur Tengah yang masih termasuk kakek buyut Prof Dr M Quraisy Shihab, penulis biografi yang luar biasa. Ia pandai menggali data, jernih melihat sekaligus cermat mencatat.Di tangan beliau pulalah, lahir sebuah buku, yang dalam hemat saya sangat monumental, berjudul Allamah Muhammad Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia (Mahaguru Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia). Sebuah buku yang sangat penting untuk dibaca generasi muda kita yang kian hari rasa-rasanya kian kabur sejarah.Dalam buku tersebut terlukis dengan jelas betapa KH Hasyim Asy’ari adalah sosok ulama yang bukan saja fokus mendidik santri-santrinya, namun lebih dari itu. Ia juga menjadi garda depan pemikir utama masa depan bangsa dan negara. Ia pemegang teguh komitmen dalam berbangsa dan bernegara.Komitmen kebangsaan dan kenegaraan itu tercermin dalam misalnya pernyataannya pada momentum Resolusi Jihad yang berbunyi ”berperang menolak dan melawan penjajah itoe fardloe ain (jang harus dikerdjakan oleh tiap-tiap orang islam, laki-laki, perempoean, anakanak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 Km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh.Bagi orang-orang jang berada di loear itoe djadi fadloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja...”. Diktum Resolusi Jihad yang kemudian menjelma menjadi pemompa semangat dan kenekatan perlawanan rakyat Indonesia yang didominasi sipil dan sebagian besar dari kalangan santri itu adalah karya agung progresif nan revolusioner yang lahir dari pikiran jernih dan hati yang suci dari ulama-ulama dan kiai-kiai saat itu,termasuk di dalamnya adalah KH Hasyim Asy’ari yang kala itu masih menjabat sebagai Rais Akbar PBNU. Penting untuk dicatat bahwa meletusnya pertempuran pada 26- 29 Oktober di Surabaya antara rakyat sipil dengan NICA pemicu utamanya adalah fatwa Jihad Fi Sabilillah yang dikeluarkan oleh ulama-ulama NU yang diinisiasi oleh KH Hasyim Asy’ari. Fakta inilah yang tampaknya menjadi tesis utama yang digali oleh Muhammad Asad Shihab dalam merekam sepak terjang KH Hasyim Asy’ari.Peletak Dasar KemerdekaanFakta bahwa perlawanan rakyat di Surabaya terhadap NICA yang didasari seruan jihad via Resolusi Jihad itu tampaknya selama ini kurang diperhatikan oleh para pemerhati sejarah. Ketika berbicara kemerdekaan, fokus kita hanya tertuju pada seremonial pembacaan teks proklamasi yang meminjam bahasa Muhidin M Dahlan (2015) dibuat dengan sangat tergesa-gesa.Teks yang dibuat dengan keadaan tergesa-gesa akibatnya juga menyisakan banyak tanda tanya di kemudian hari. Banyak kalimat dan frasa janggal yang menghiasi teks proklamasi yang belakangan muncul ke permukaan. Sebut saja misalnya kalimat ”hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan”. Kalimat ”pemindahan kekuasaan” dinilai oleh banyak kalangan merupakan legitimasi faktual bahwa sejatinya bangsa Indonesia tidak pernah merdeka dalam arti yang sesungguhnya. Bangsa Indonesia hanya berganti penguasa.Di luar ketergesa-gesaan itu sesungguhnya ada fakta unik dan menarik bahwa sejatinya momentum pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI tersebut belum ”berbunyi” di mata dunia. Ia ibarat press conference, namun tak diliput oleh media. Tentu saja hanya berhenti pada pelaksanaan seremonial belaka.Selebihnya, sebagaimana dituturkan Agus Sunyoto (2015), tidak ada perubahan apa-apa. Namun, selang beberapa bulan setelah itu, saat terjadi pertempuran dahsyat di Surabaya, di mana sipil dan santri menjadi aktor utamanya, mata dunia perlahan terbuka. Merekamenyaksikan fakta baru bahwa ”Indonesia” masih ada dan rakyatnya bangun dari keterjajahannya.Perlawanan ini, pertempuran ini, tidak lain adalah buah dari fatwa Resolusi Jihad yang diinisiasi oleh KH Hasyim Asy’ari. Maka itu, tidak mengherankan jika ia dijuluki sebagai peletak dasar kemerdekaan Indonesia. Sebuah kesimpulan yang menurut hemat saya tidak salah dan tidak mengada-ada.Dalam momentum tanggal 22 Oktober ini, tentu saja sembari mengingat kebaikan dan semangat cinta Tanah Air yang selalu digaungkan oleh KH Hasyim Asy’ari, saya ingin mengajak kita semua untuk meneladani sikap-sikap nasionalismenya yang selalu tumbuh dan berkembang sepanjang waktu.KH Hasyim Asy’ari tampaknya ingin memberi pelajaran kita bersama bahwa berjuang adalah berjuang. Tuhan sama sekali tidak mempersoalkan kemenangan ataupun kekalahan kita, yang terpenting bagi- Nya adalah proses perjuangan itu sendiri. Rasa cinta Tanah Air yang demikian tinggi itulah yang rasa-rasanya belakangan patut kita curigai telah berangsur luntur dari generasi muda bangsa ini.Apalagi di tengah arus budaya pop dan silang-sengkarut ideologi transnasional yang sudah sedemikian masif ini. Yang paling utama dan penting untuk dicatat adalah betapapun juga, KH Hasyim Asy’ari adalah sosok kiai yang sepanjang hayatnya masih merasa tetap menjadi santri. Sikap kesantriannya inilah yang melahirkan sikap tawaduk dan juga rendah hati di hadapan siapa saja.Republik ini harus bersyukur memiliki seorang ulama yang bukan saja jernih melihat, namun juga cerdas bertindak, dan teguh dalam memegang prinsip. Ulama bernama KH Hasyim Asy’ari itu tidak lahir kemudian menjadi tokoh begitu saja. Ia sebagaimana lazimnya manusia lainnya, digembleng melalui pendidikan agama yang penuh sikap kedisiplinan dan ketaatan. Demikianlah, pada mulanya, KH Hasyim Asy’ari adalah santri. Selamat Hari Santri!A Helmy FaishalSekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6158 seconds (0.1#10.140)