Bumi, Manusia, dan Bencana Kabut Asap

Rabu, 07 Oktober 2015 - 12:30 WIB
Bumi, Manusia, dan Bencana Kabut Asap
Bumi, Manusia, dan Bencana Kabut Asap
A A A
Untuk kesekian kalinya kabut asap pekat yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan menyelimuti wilayah Pulau Sumatera dan Kalimantan. Akibat dari kabut asap ini adalah aktivitas normal warga menjadi terganggu.Namun, lebih dari itu, kabut asap ini membahayakan kesehatan warga. Untuk kesekian kalinya pula kabut asap terkirim ke negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Kabut asap ini pun mengganggu aktivitas dan membahayakan kesehatan warga di Singapura dan Malaysia. Tak pelak, kecaman pun datang dari pemerintah dua negara tetangga tersebut.Kabut asap telah menjadi bencana bagi Indonesia. Dengan cakupan bencananya yang besar di dua pulau besar, kabut asap telah menjadi bencana nasional. Ini terbukti dari diperintahkannya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) oleh Jokowi untuk menangani kebakaran hutan dan lahan dan mengatasi kabut asap. Jokowi memberikan perintah kepada BNPB dan beberapa kementerian terkait pada 4 September 2015. Alih-alih makin teratasi, beberapa hari terakhir bencana kabut asap justru makin parah terjadi.Bumi dan BencanaBencana kabut asap yang sedang kita alami mengingatkan saya pada buku yang ditulis oleh antropolog Anthony Oliver- Smith dan Susanna Hoffman yang berjudul The Angry Earth (Bumi yang Marah ). Buku yang terbit pada 1999 ini pada dasarnya menyatakan bahwa bumi tampak marah di mata manusia saat terjadi bencana. Namun, sesungguhnya bumi tidak marah kepada manusia.Manusialah yang memersepsikan bumi yang marah kepada manusia. Manusia sendirilah yang membuat bumi yang marah seolah benar adanya. Lebih dari itu, bumi yang marah sebenarnya pun dikonstruksi sendiri oleh manusia. Bencana sejatinya terjadi bukan karena bumi yang sedang marah kepada manusia, tetapi diakibatkan oleh kecenderungan manusia (human propensity) untuk mengambil risiko yang menyebabkannya rentan terhadap bencana.Pada kenyataannya manusia seringkali mengabaikan risiko bencana (disaster risk). Hanya pada saat manusia mengambil risiko atau bahkan mengabaikan risiko inilah kemudian bumi menjadi tampak marah bagi manusia. Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai bencana sebenarnya adalah dampak bencana, bukan bencana itu sendiri.Sebagai contoh, gempa bumi adalah peristiwa alam yang berubah menjadi peristiwa bencana saat kita mendapati dampaknya yang merusak dan menimbulkan korban. Dampak itu timbul akibat manusia yang bukan semata mengambil risiko— misalnya dengan tinggal di kawasan rawan gempa bumi, tapi lebih dari itu, malah memperbesar risiko dengan tidak melakukan upaya-upaya mitigasi.Dalam bencana gempa bumi, bukan gempa bumi per se yang melukai atau membunuh manusia. Yang bisa melukai atau membunuh manusia sesungguhnya adalah runtuhnya bangunan buatan manusia akibat abainya manusia terhadap risiko dari guncangan (tremor) gempa bumi yang bisa melebihi daya tahan bangunan. Dalam bencana kabut asap jelas sekali terlihat bahwa kita manusialah yang menyebabkannya.Kitalah yang abai terhadap apa yang mungkin terjadi dengan dibakarnya hutan dan lahan, apa pun motif dilakukannya pembakaran. Selagi kita tahu atau pernah mendengar pepatah ”kecil jadi kawan, besar jadi lawan”, kitalah yang abai terhadap risiko melakukan pembakaran hutan dan lahan di tengah musim kemarau yang panjang. Akhirnya kita jugalah yang saat ini menuai bumi yang kita bakar.Bumi seakan sedang membalas tindakan kita membakar apa yang dimiliki bumi. Kita tidak pernah belajar dari pembakaran- pembakaran dan bencana- bencana kabut asap tahuntahun sebelumnya. Alhasil, bumi pun seakan tak jera untuk marah dan membalas kita sampai kemudian -entah kapan- kita benar-benar menyadari risiko dari membakar hutan dan lahan secara sewenang-wenang karena keserakahan manusiawi kita.Bencana kabut asap yang sedang kita tuai sekarang adalah bukti gamblang bukan hanya abainya kita terhadap risiko, melainkan lebih dari itu yaitu pongahnya kita terhadap bumi. Seperti yang dikatakan Oliver- Smith (1999) hubungan antara manusia dan bumi pada prinsipnya bersifat mutual. Bencana lewat dampak bencananya menandakan ada ketidakseimbangan (imbalance) dalam mutualitas (mutuality ) hubungan antara manusia dan bumi.Ketidakseimbangan ini terutama disebabkan oleh kegagalan manusia untuk bisa beradaptasi secara bijak dengan bumi yang dipijaknya. Bencana kabut asap adalah akibat manusia yang tidak mau hidup secara harmonis dengan bumi. Alihalih merawat bumi, yang dilakukan oleh manusia justru membakar apa yang tumbuh di atas bumi tanpa kendali.Perlindungan KulturalBencana datang karena manusia mengabaikan risiko dan tak peduli untuk menjaga hubungan yang mutual dengan bumi atau alam. Hal ini terjadi akibat, meminjam apa yang dikemukakan oleh sosiolog Lowell Carr (1932), telah runtuhnya perlindungan kultural (the collapse of the cultural protection ) di dalam masyarakat.Bencana kabut asap di satu sisi adalah akibat langsung dari pembakaran hutan dan lahan. Namun, di sisi lain, pembakaran secara tak bertanggung jawab dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa baik mekanisme maupun mereka yang ambil bagian di dalam mekanisme pencegahan pembakaran tidak efektif bekerja, apabila tidak ingin disebut gagal.Karena bencana kabut asap telah berulang kali terjadi, mungkin saja mereka yang seharusnya mencegah pembakaran justru ikut andil, baik secara langsung ataupun tidak langsung -mendiamkan atau pura-pura tidak tahu. Untuk mencegah bencana kabut asap terulang kembali pada tahun-tahun yang akan datang, mau tak mau kita harus membangun ”tembok” perlindungan kultural yang dapat efektif mencegah pembakaran hutan dan lahan secara semena-mena.Ada banyak aspek di dalam perlindungan kultural yang harus dibangun atau diperkuat. Satu aspek yang penting adalah kepemimpinan. Mencegah bencana kabut asap memerlukan kepemimpinan -lokal hingga nasional- yang proaktif, bukan yang reaktif dalam mengupayakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan.Kepemimpinan yang proaktif ini ditandai dari inisiatif-inisiatifnya yang bisa menciptakan perubahan mental dari ”reactive mental ” menjadi ”preventive mental”, terutama pada aparatus yang bertanggung jawab dan terkait dalam pencegahan berulangnya bencana kabut asap. Mudah- mudahan kepemimpinan seperti itu nyata adanya.Dicky PelupessyDosen UI, Mahasiswa Doktoral di Victoria University, Australia, Mantan Wakil Ketua Platform Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB)
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4916 seconds (0.1#10.140)