Khitah MK dan Pilkada

Selasa, 22 September 2015 - 14:59 WIB
Khitah MK dan Pilkada
Khitah MK dan Pilkada
A A A
Pada 2015 ini 266 daerah akan menyelenggarakan perhelatan demokrasi yang penting dan strategis yakni pemilihan kepala daerah. Berbagai persiapan telah dilakukan, baik oleh penyelenggara pemilihan KPU, KPU daerah, Bawaslu, Panwaslu, pemerintahan daerah, maupun peserta pe-milihan kepala daerah.Berbagai aturan telah disiapkan agar pilkada berjalan lancar, demokratis, dan tanpa kecurangan. Meski sudah dengan tegas dan jelas mengenai aturan main dalam pemilihan kepala daerah, tetap saja potensi ada pelanggaran dan sengketa sangat besar. Hal ini telah diprediksi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Arief Hidayat yang menyatakan bahwa dari sekitar 266 daerah yang menggelar pilkada, kemungkinan akan ada sekitar 300 perkara yang masuk ke MK.Taksiran ini lantaran di satu daerah ada dua ataulebihpasangancalonkepala daerah yang kemungkinan akan mengajukan sengketa pilkada. Meski demikian, ketua MK berharap jumlah perkara lebih sedikit dari prediksinya. UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah menyerahkan penyelesaian hukum pilkada kepada MK untuk sementara sebelum peradilan khusus pilkada terbentuk.Berkenaan dengan kewenangan MK ini, Ketua MK Prof Arief Hidayat mengatakan bahwa undang-undang memang sudah membatasi perkara yang masuk ke MK yakni hanya perkara perhitungan perselisihan hasil pemungutan suara (PHPU). Di luar kasus itu diselesaikan oleh masing-masing institusi yakni Pengadilan TUN untuk perkara terkait dengan Keputusan KPU/KPUD,Bawaslu terkait perkara pemilihan pada setiap tahapan penyelenggaraan, Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) untuk tindak pidana pemilihan, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan (DKPP) untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan.Saya sependapat dengan pernyataan ketua MK untuk kembali ke khitah kewenangan MK dalam sengketa pilkada yakni hanya menyelesaikan sengketa hasil perhitungan suara meski ini pernah dianggap terkesan seperti ”kalkulator” saja. Ada beberapa alasan mengapa MK kembali ke khitahnya. Pertama, MK memang diberikan kewenangan atributifnya oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 145 hanya untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, tidak termasuk tahapan proses pemilihan meski sekarang pilkada bukan lagi rezim pemilu.Kedua, dalam pilkada serentak sangat realistis apabila hanya berkenaan dengan sengketa hasil penghitungan suara karena secara empirik membuktikan betapa sulitnya proses pembuktian dengan begitu banyak dokumen dan saksi fakta yang harus diperiksa dalam persidangan dalam waktu yang relatif singkat.Ketiga, waktu penyelesaian relatif singkat hanya 45 hari dengan jumlah peluang ada perkara yang masuk ke MK cukup banyak. Keempat, pada dasarnya ada institusi-institusi lain yang dapat berbagi kewenangan untuk menyelesaikan pelanggaran dan sengketa pemilihan di luar perselisihan hasil penghitungan suara.Dengan catatan bahwa putusan dari masing-masing institusi tersebut tidak tumpang tindih satu sama lain sehingga melahirkan ketidakpastian hukum dan tidak terjadi nebis in idem. Kelima, pemeriksaan, analisis pembuktian, dan putusan relatif lebih terukur dan pasti sehingga peluang putusan untuk diterima para pihak lebih terbuka.Hal yang penting kita ingatkan adalah penguatan pengawasan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan sengketa di MK, termasuk terhadap hakim MK. MK sebaiknya juga menyiapkan perangkat pengawasan untuk mencegah terjadi penyalahgunaan, suap, gratifikasi, dan perbuatan tercela lainnya. Tidak ada salahnya pula apabila KPK pun dilibatkan secara penuh.Untuk pengawasan perilaku hakim MK, kiranya patut dipertimbangkan keterlibatan Komisi Yudisial (KY). Semua proses dan tahapan penyelesaian perkara haruslah transparan dan open accessatas informasi, yang selama ini telah dijalankan dengan baik dalam perkara uji materiil undang-undang.Keberadaan dan pendayagunaan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan peradilan perkara pilkada di MK ini tidak hanya menyasar kepada prilaku perbuatan koruptif, tetapi juga kinerja, profesionalitas, dan kualitas putusan, tanpa mengganggu dan mengurangi independensi hakim.Jangan sekadar mengejar target waktu dalam memeriksa perkara sehingga kualitas putusan menjadi terabaikan. Dengan demikian, penyelenggaraan peradilan pilkada di MK akan menjadi contoh yang baik dan menjadi pembelajaran yang berharga bagi pengadilan khusus pilkada yang akan dibentuk nanti.Prospek Peradilan Khusus PilkadaKarena pilkada bukan lagi masuk dalam rezim pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945, MK pada dasarnya tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa pilkada. Demikian pula dengan Mahkamah Agung pun pada dasarnya tidak memungkinkan menangani sengketa pilkada.Sebagaimana pernah disampaikan oleh Juru Bicara MA Suhadi bahwa penyelesaian sengketa pilkada, MA, dan pengadilan di bawahnya sudah terlampau banyak menangani perkara. Dalam setahun saja MA harus mengadili dan memutus 13.000 hingga 14.000 perkara reguler, ditambah penanganan pelanggaran pidana dan perkara TUN terkait pilkada.Belum lagi apabila ditangani oleh pengadilan tinggi di daerah yang berpotensi terhadap keamanan karena relatif mudah dijangkau oleh pendukung masing-masing pihak yang bersengketa yang rawan konflik dan kerusuhan meski alasan terakhir ini terkesan absurd dan spekulatif.Dapat dimengerti apabila MK dan MA tidak lagi menangani perkara pilkada, dan karena itu perlu ada peradilan khusus untuk mengadili dan memutus perkara pilkada. Adanya peradilan khusus pilkada memberikan harapan yang lebih rasional dalam menyelesaikan sengketa pilkada. Paling tidak ada tiga manfaat yang berprospek baik.Pertama, peradilan khusus ini akan lebih fokus menyelesaikan perkara pilkada, tidak bercampur dengan perkara lainnya di luar perkara pilkada. Kedua, dibuka kemungkinan hakimnya direkrut dari kalangan profesional, punya keahlian, independen, dan diharapkan juga berwibawa dan berintegritas.Ketiga, secara teknis dapat dijangkau oleh para pihak baik dari segi lokasi/jarak maupun dari kemudahan akses sehingga lebih efisien. Adapun kewenangan dari peradilan khusus ini adalah tetap berkenaan dengan perselisihan penghitungan suara. Berkenaan dengan sengketa di luar penghitungan suara tetap diserahkan kepada institusiinstitusi yang ada yakni Bawaslu, PTUN, PN untuk tindak pidana pemilu, dan DKPP untuk prilaku penyelenggara.Pengisian hakim peradilan khusus ini bisa didayagunakan Komisi Yudisial (KY) yang sudah berpengalaman dalam merekrut calon hakim agung. Dengan keterlibatan KY maka dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan ada orangorang yang ”dititipkan” dari pihak tertentu yang akan sangat mengganggu dan merusak independensi dan profesionalitas hakim pada peradilan khusus tersebut.Untuk pembentukan peradilan khusus ini, perlu disiapkan dari sekarang undangundang yang mengatur antara lain mengenai kedudukan, fungsi, kewenangan, pengisian hakim, putusan, dan hukum acara penanganan perkara pilkada. Tidak ada salahnya apabila dalam pembentukan RUU Peradilan Pilkada ini juga melibatkan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung untuk memberikan masukan substansi maupun teknis.Insya Allah, apabila DPR dan Presiden sigap dan responsif untuk pembentukan peradilan pilkada ini, pemilihan serentak gelombang kedua 2017 nanti sudah terbentuk Badan Peradilan Khusus Pilkada ini. Dengan demikian, penyelesaian sengketa perhitungan hasil pemungutan suara dalam pilkada serentak nanti dapat diselesaikan di peradilan khusus ini. Tentunya perbincangan mengenai peradilan khusus ini akan berakhir apabila pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD masing-masing. Wallahu’alam bishawab.Asep Warlan YusufDosen Fakultas HukumUniversitas Parahyangan (Unpar) Bandung
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2207 seconds (0.1#10.140)