Pilkada Serentak Untungkan Rakyat?
A
A
A
Sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa pada 9 Desember 2015 akan dilaksanakan pilkada serentak di berbagai kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia.
Hingga saat ini beberapa tahapan awal pilkada sudah selesai dilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan pesta demokrasi di tingkat lokal ini secara aman, tertib, dan sesuai aturan yang berlaku. Pertanyaannya, apakah pilkada ”serentak” pada Desember 2015 benar- benar akan bisa memberikan hasil yang terbaik untuk rakyat dan bukan pilkada borongan yang hanya memboroskan uang rakyat?
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 14/ PUU-XI/2013 telah memutuskan bahwa pemilihan umum akan dilaksanakan secara serentak pada 2019 dan setelahnya di mana rakyat akan disodorkan pada lima kotak pilihan dalam satu kali masa pemilihan umum: presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Sepintas, dengan proses pemilihan seperti ini akan menguntungkan rakyat, sebagaimana disampaikan dalam argumentasi Effendi Ghazali, di mana hanya satu kali dalam lima tahun rakyat akan disibukkan oleh proses pemilihan umum yang melelahkan dan setelahnya akan bisa menikmati hasil pemilihan tersebut untuk lima tahun ke depan.
Rakyat tidak akan mengeluh karena dipusingkan oleh rutinitas pemilihan umum sebagaimana berlangsung selama ini, terutama pilkada, yang menyita waktu masyarakat untuk bekerja mencari nafkah dan karenanya tidak menguntungkan. Ramlan Surbakti (2014) menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak serta-merta akan membawa pada tujuan terciptanya sistem pemerintahan presidensial yang efektif di Indonesia.
Meski MK menggunakan metode penafsiran sistematik didalam pertimbangan putusannya, MK tidak memasukkan pilkada serentak sebagai bagian dari putusan tersebut. Mungkin situasi ini terjadi karena di dalam permohonan yang diajukan oleh Effendi Ghazali tidak menyebutkan sama sekali tentang pilkada.
Padahal, bila merujuk pada sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur di dalam UU 32 Tahun 2004 dan revisinya yaitu UU 23 Tahun 2014, ia merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem negara kesatuan yang berbentuk republik sebagaimana disebutkan di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) tentang susunan negara Indonesia.
Jadi, ketika pemilu nasional akan dilaksanakan secara serentak sebagaimana putusan MK mulai 2019 dan setelahnya, pemilu di tingkat lokal (pilkada) juga harus dilaksanakan secara serentak pula. Pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota harus dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Salah satu indikator efektivitas pemerintahan adalah tercipta sinergitas kerja antara kepala eksekutif dan lembaga legislatif, yang setidak- tidaknya, pertama, ditunjukkan di dalam kebijakan publik yang dengan mudah bisa disepakati oleh kepala eksekutif dan lembaga legislatif. Kedua, kebijakan publik yang sesuai dengan kehendak rakyat tersebut bisa diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh rakyat.
Absennya Coat-Tail Effect
Coat-tail effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Di dalam konteks proses politik, ini kecenderungan bagi seorang pemimpin partai populer yang dicalonkan untuk suatu jabatan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, atau wali kota) menimbulkan daya-tarik pemilih kepada calon lain dari partai yang sama dalam pemilihan umum (Surbakti, 2014).
Kecenderungan ini terjadi karena para pemilih mengaitkan calon anggota legislatif dari partai yang sama dengan pemimpin politik yang dicalonkan untuk jabatan eksekutif. Jadi, bila suatu partai mengajukan seorang calon yang populer sebagai calon kepala eksekutif dan memenangkan pemilihan tersebut, biasanya partai yang sama akan memenangkan mayoritas kursi di lembaga legislatif.
Inilah yang dimaksud dengan coat-tail effect dalam proses politik dan hanya akan bisa terjadi bila proses pemilihan kepala eksekutif dan anggota legislatif dilaksanakan secara serentak (concurrent).
Karena itu, kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, pilkada pada 9 Desember 2015 bukanlah pemilu serentak (concurrent) yang bisa menghasilkan coat-tail effect di dalam sebuah sistem pemerintahan yang mengadopsi prinsip pembagian kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Ini hanyalah pilkada borongan yang akan memboroskan uang rakyat. Sementara sangat kecil kemungkinan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang efektif. Hanya kepala eksekutif daerah yang akan dipilih dan anggota legislatif daerah tidak berubah, terutama komposisi partai-partai anggota legislatif.
Dengan begitu, fenomena Ahok di DKI Jakarta akan sangat mungkin terjadi di daerah-daerah yang akan melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2015. Kebijakan publik yang diusulkan oleh eksekutif tidak akan serta-merta bisa mendapat persetujuan dan dukungan penuh dari lembaga legislatif karena perbedaan afiliasi partai dan kepentingan antara eksekutif dan lembaga legislatif.
Jadi, bila benar-benar ingin menjadikan pemilihan umum sebagai salah satu upaya atau alat untuk mengonsolidasikan demokrasi dan mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, pilkada harus dilaksanakan secara serentak (concurrent), bukan borongan.
Dengan begitu, coat-tail effect yang bisa membantu proses perumusan kebijakan publik yang lebih sinergis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif akan lebih mudah untuk diciptakan. Dengan demikian, pilkada akan benar-benar bisa menguntungkan rakyat dan bukanlah proses pemborosan uang rakyat semata.
Ahmad Qisai
Dosen Program Pascasarjana Universitas Paramadina
Hingga saat ini beberapa tahapan awal pilkada sudah selesai dilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan pesta demokrasi di tingkat lokal ini secara aman, tertib, dan sesuai aturan yang berlaku. Pertanyaannya, apakah pilkada ”serentak” pada Desember 2015 benar- benar akan bisa memberikan hasil yang terbaik untuk rakyat dan bukan pilkada borongan yang hanya memboroskan uang rakyat?
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 14/ PUU-XI/2013 telah memutuskan bahwa pemilihan umum akan dilaksanakan secara serentak pada 2019 dan setelahnya di mana rakyat akan disodorkan pada lima kotak pilihan dalam satu kali masa pemilihan umum: presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Sepintas, dengan proses pemilihan seperti ini akan menguntungkan rakyat, sebagaimana disampaikan dalam argumentasi Effendi Ghazali, di mana hanya satu kali dalam lima tahun rakyat akan disibukkan oleh proses pemilihan umum yang melelahkan dan setelahnya akan bisa menikmati hasil pemilihan tersebut untuk lima tahun ke depan.
Rakyat tidak akan mengeluh karena dipusingkan oleh rutinitas pemilihan umum sebagaimana berlangsung selama ini, terutama pilkada, yang menyita waktu masyarakat untuk bekerja mencari nafkah dan karenanya tidak menguntungkan. Ramlan Surbakti (2014) menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak serta-merta akan membawa pada tujuan terciptanya sistem pemerintahan presidensial yang efektif di Indonesia.
Meski MK menggunakan metode penafsiran sistematik didalam pertimbangan putusannya, MK tidak memasukkan pilkada serentak sebagai bagian dari putusan tersebut. Mungkin situasi ini terjadi karena di dalam permohonan yang diajukan oleh Effendi Ghazali tidak menyebutkan sama sekali tentang pilkada.
Padahal, bila merujuk pada sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur di dalam UU 32 Tahun 2004 dan revisinya yaitu UU 23 Tahun 2014, ia merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem negara kesatuan yang berbentuk republik sebagaimana disebutkan di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) tentang susunan negara Indonesia.
Jadi, ketika pemilu nasional akan dilaksanakan secara serentak sebagaimana putusan MK mulai 2019 dan setelahnya, pemilu di tingkat lokal (pilkada) juga harus dilaksanakan secara serentak pula. Pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota harus dilaksanakan secara serentak dengan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Salah satu indikator efektivitas pemerintahan adalah tercipta sinergitas kerja antara kepala eksekutif dan lembaga legislatif, yang setidak- tidaknya, pertama, ditunjukkan di dalam kebijakan publik yang dengan mudah bisa disepakati oleh kepala eksekutif dan lembaga legislatif. Kedua, kebijakan publik yang sesuai dengan kehendak rakyat tersebut bisa diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh rakyat.
Absennya Coat-Tail Effect
Coat-tail effect adalah istilah yang merujuk pada suatu tindakan yang menimbulkan pengaruh pada tindakan lain (pengaruh ikutan). Di dalam konteks proses politik, ini kecenderungan bagi seorang pemimpin partai populer yang dicalonkan untuk suatu jabatan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, atau wali kota) menimbulkan daya-tarik pemilih kepada calon lain dari partai yang sama dalam pemilihan umum (Surbakti, 2014).
Kecenderungan ini terjadi karena para pemilih mengaitkan calon anggota legislatif dari partai yang sama dengan pemimpin politik yang dicalonkan untuk jabatan eksekutif. Jadi, bila suatu partai mengajukan seorang calon yang populer sebagai calon kepala eksekutif dan memenangkan pemilihan tersebut, biasanya partai yang sama akan memenangkan mayoritas kursi di lembaga legislatif.
Inilah yang dimaksud dengan coat-tail effect dalam proses politik dan hanya akan bisa terjadi bila proses pemilihan kepala eksekutif dan anggota legislatif dilaksanakan secara serentak (concurrent).
Karena itu, kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, pilkada pada 9 Desember 2015 bukanlah pemilu serentak (concurrent) yang bisa menghasilkan coat-tail effect di dalam sebuah sistem pemerintahan yang mengadopsi prinsip pembagian kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Ini hanyalah pilkada borongan yang akan memboroskan uang rakyat. Sementara sangat kecil kemungkinan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang efektif. Hanya kepala eksekutif daerah yang akan dipilih dan anggota legislatif daerah tidak berubah, terutama komposisi partai-partai anggota legislatif.
Dengan begitu, fenomena Ahok di DKI Jakarta akan sangat mungkin terjadi di daerah-daerah yang akan melaksanakan pilkada pada 9 Desember 2015. Kebijakan publik yang diusulkan oleh eksekutif tidak akan serta-merta bisa mendapat persetujuan dan dukungan penuh dari lembaga legislatif karena perbedaan afiliasi partai dan kepentingan antara eksekutif dan lembaga legislatif.
Jadi, bila benar-benar ingin menjadikan pemilihan umum sebagai salah satu upaya atau alat untuk mengonsolidasikan demokrasi dan mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, pilkada harus dilaksanakan secara serentak (concurrent), bukan borongan.
Dengan begitu, coat-tail effect yang bisa membantu proses perumusan kebijakan publik yang lebih sinergis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif akan lebih mudah untuk diciptakan. Dengan demikian, pilkada akan benar-benar bisa menguntungkan rakyat dan bukanlah proses pemborosan uang rakyat semata.
Ahmad Qisai
Dosen Program Pascasarjana Universitas Paramadina
(bhr)