Calon Tunggal: Aklamasi atau Kontestasi

Rabu, 16 September 2015 - 09:47 WIB
Calon Tunggal: Aklamasi...
Calon Tunggal: Aklamasi atau Kontestasi
A A A
Saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) sedang berlangsung persidangan permohonan pengujian Undang- Undang Pilkada terkait calon tunggal yang diajukan calon Wakil Wali Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana dan ahli komunikasi politik Effendi Ghazali.

Pemerintah, DPR, dan pihak terkait KPU bahkan sudah menyampaikan keterangannya 8 September 2015. Soal calon tunggal, pembuat UU diperkirakan tidak membayangkannya akan terjadi dalam pilkada. Asumsinya, parpol akan berlomba mengusung calonnya untuk merebut kekuasaan.

Bukankah parpol hadir untuk merebut kekuasaan secara konstitusional dan berjuang untuk merepresentasikan kepentingan anggotanya dalam siklus lima tahunan pemilu dan pilkada? Legislator membayangkan calon tunggal hanya terjadi kalau hasil verifikasi atas calon yang mendaftar menghasilkan kurang dari dua calon.

Solusinya, pilkada ditunda paling lama sepuluh hari, lalu dibuka kembali masa pendaftaran selama tiga hari. Pengaturan yang juga masih diwarnai aura positif bahwa pasti ada calon baru yang mendaftar (vide Pasal 49 ayat 8 dan Pasal 50 ayat [8] UU 8/2015).

Berbagai Penyebab

Pilkada serentak ternyata mengubah realitas pilkada. Waktu pencalonan yang bersamaan tidak memungkinkan redistribusi kader parpol antardaerah. Sesuatu yang jamak terjadi saat jadwal pilkada berserakan dalam waktu yang berbeda. Calon gagal di provinsi mencalon kembali di kabupaten/ kota.

Atau, calon gagal di daerah A mencalonkan diri kembali di daerah B. Pilkada serentak menyaratkan rekrutmen kader secara bersamaan untuk mengisi jabatan di 269 daerah seluruh Indonesia. Diperbesarnya syarat dukungan untuk mengajukan calon juga membuat upaya membentuk koalisi parpol semakin berat dan rumit. Parpol atau gabungan parpol harus punya sekurangnya 20% kursi di DPRD atau 25% suara sah hasil pemilu lalu.

Tidak banyak parpol yang bisa mengajukan calon tanpa koalisi dengan parpol lain. Konsolidasi yang tergesa-gesa akibat kisruh ketidakpastian pilkada langsung ataukah melalui DPRD berkontribusi pula pada tidak siapnya parpol menghadapi Pilkada Serentak 2015. Bayang-bayang pilkada oleh DPRD seolah masih jadi euforia saat akhirnya UU Pilkada langsung disahkan awal 2015.

Pemerintah juga terkesan ngotot pilkada harus pada 2015 meski banyak pihak (termasuk Perludem dan KPU RI) meminta agar pilkada serentak gelombang pertama diselenggarakan pada pertengahan 2016. Calon perseorangan pun tidak bisa berbuat banyak karena syarat dukungan untuk mencalon dinaikkan pembuat UU, semula 3- 6,5% menjadi 6,5-10% dari jumlah penduduk.

Cerita soal mahar politik dan sewa perahu juga menambah kompleksitas. Alhasil, calon tunggal menjadi warna tersendiri yang hadir dan membangun diskursus pilkada kali ini. Dualisme kepengurusan partai pascapilpres bisa jadi turut menyumbang terjadi calon tunggal. Golkar sebagai pemenang kedua Pileg 2014 misalnya ”hanya” mengusung calon di 116 daerah.

Bandingkan dengan PDIP yang bisa mengusung calon di 244 daerah (JPPR, 2015). Syarat wajib mundur setelah ditetapkan sebagai pasangan calon bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang maju pilkada sebagaimana diputuskan oleh MK Juli 2015 membuat banyak anggota DPR, DPD, dan DPRD yang semula berencana maju membatalkan niatnya untuk menguji ”peruntungan” politik di kontestasi pilkada.

Karena toh juga tak ada jaminan bisa menang, apalagi jika elektabilitas juga tak bagus-bagus amat. Alih-alih sudah keluarkan banyak biaya, jabatan pun melayang pula. Mereka lebih memilih untuk bermain aman saja dengan membatalkan niat berkompetisi di pilkada.

Tunda ke Februari 2017

Ketidaksiapan UU membuat KPU harus berijtihad. KPU lalu membuat pengaturan kalau sampai masa perpanjangan pendaftaran tidak ada calon lain mendaftar, tahapan pilkada dihentikan dan pilkada ditunda ke Februari 2017. Untuk sebagian kalangan, pilihan ini dianggap tidak adil bagi calon tunggal maupun pemilih.

Parpol bisa saja melihat peluang penundaan itu sebagai kesempatan untuk menjegal calon tunggal dengan elektabilitas tinggi. Calon tunggal yang mayoritas adalah petahana diharap mengalami penurunan ekektabilitas jika pilkada dimundurkan. Daripada berkompetisi menghabiskan banyak energi dan biaya lalu kalah, lebih baik ”realistis”.

”Realistis” didekati dengan logika berdagang, bukan logika demokrasi bahwa pilkada adalah medium kontestasi untuk menunjukkan eksistensi dan kemampuan tarung parpol kepada konstituen maupun pemilih. Saat ini ada tiga daerah yang ditunda pilkadanya ke Februari 2017 yaitu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Timor Tengah Utara.

Pilkada Kota Surabaya lebih unik lagi. Setelah mengalami dua kali perpanjangan, pasangan Rasiyo-Dhimam yang mendaftar sebagai penantang pasangan petahana Risma-Wisnu dinyatakan tidak memenuhi syarat. KPU Surabaya akhirnya membuka kembali tahapan pendaftaran pada 8-10 September 2015 dan menghasilkan pendaftar baru pasangan Rasiyo- Lucy Kurniasari.

Kontestasi atau Aklamasi

Mayoritas negara multipartai, kerangka hukum dan regulasi akan tetap melantik calon tunggal sebagai pemenang pemilu, baik melalui kontestasi pemungutan suara maupun aklamasi. Di Amerika dikenal Uncontested Election (pemilu tanpa kontestasi), di mana karena hanya ada satu pasang calon setelah masa pendaftaran habis, yang bersangkutan ditetapkan sebagai pemenang.

Kalau di Kanada dikenal dengan istilah aklamasi, di Amerika Serikat istilahnya work over . Diadakan kontestasi pemungutan suara atau aklamasi bergantung pada kondisi sosial politik dan kultur pemilu suatu negara. Bagaimana solusi calon tunggal untuk pilkada kita? Lagi-lagi, dalam pandangan penulis, daerah bercalon tunggal tahapan pilkadanya tidak perlu dihentikan.

Merujuk referensi banyak negara dan belajar dari proses demokrasi Indonesia di tingkat desa, tahapan pilkada bisa dilanjutkan dan calon tunggal bisa diuji dalam kontestasi pemungutan suara dengan melawan kolom kosong dalam surat suara. Kalau calon tunggal memang dikehendaki pemilih dan mewakili kepentingan yang sama dari pemilih, calon tunggal pasti terpilih.

Namun, jika calon tunggal lahir dari persekongkolan parpol karena proses transaksi yang terjadi sejak awal, pemilih dan masyarakat akan menemukan jalan kritik dan perlawanannya sendiri untuk menentukan pilihan yang berbeda. Ada ruang dan mekanisme korektif yang bisa diberikan publik.

Bagaimana kalau kolom kosong menang? Bisa saja calon tunggal tetap dikukuhkan sebagai pemenang dengan prasyarat jumlah minimum partisipasi atau jumlah perolehan suara minimum 30% misalnya. Atau, bisa saja pilihannya dilakukan pembukaan pendaftaran calon baru dan si calon tunggal tidak boleh lagi ikut serta seperti halnya terjadi pada pemilihan kepala desa.

Pilihan-pilihan tersebut bisa ditentukan pembuat undangundang. Namun, dalam hal ini penulis lebih berpendapat apabila kolom kosong menang, membuka pendaftaran baru adalah pilihan yang lebih demokratis.

Terkait dengan pengujian calon tunggal di MK. Kalau MK bisa memutus cepat, kepastian hukum bisa diberikan untuk menjawab polemik calon tunggal ini. Mempercepat putusan MK adalah pilihan yang paling baik dan bisa diterima semua orang untuk melindungi hak pilih pemilih dan hak untuk dipilih calon.

Tetapi, jika MK akan memutus sebuah ”aturan baru” dan terjadi perubahan dalam proses pemungutan suara terkait dengan diakuinya eksistensi calon tunggal oleh MK, harus diberikan waktu yang cukup bagi KPU sebagai penyelenggara dan para pemangku kepentingan pilkada untuk menyosialisasikan dan mendiseminasi informasi terkait perubahan sistem pencoblosan dengan satu calon tersebut.

Maka itu, bisa saja hari pemungutan suara untuk daerah dengan calon tunggal tidak harus serentak di 9 Desember 2015. Namun, tentu tidak boleh bergeser jauh agar tidak mengganggu penataan jadwal pilkada menuju Pilkada Serentak Nasional 2027.

TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0669 seconds (0.1#10.140)