Langkah Kuda PAN
A
A
A
Abd Rohim Ghazali
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, Wakil Ketua Umum Forum Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Fokal IMM)
Jika panggung politik diumpamakan papan catur, keputusan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bergabung dengan pemerintah ibarat langkah kuda, tidak lurus dan zig-zag.
Tidak lurus karena dianggap melenceng dari kesepakatan bersama Koalisi Merah Putuh (KMP); zig-zag karena meskipun telah menyeberang namun mengaku kakinya tetap di KMP. Sejatinya, apa yang ditempuh PAN sudah bisa dibaca sejak Kongres IV di Bali yang menghasilkan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum.
Seperti kita ketahui, kemenangan mantan Menteri Kehutanan ini tidak lepas dari dukungan Soetrisno Bachir, ketua umum PAN 2005- 2010, yang pada pemilu presiden lalu mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tanpa dukungan Soetrisno Bachir, Zulkifli Hasan bisa jadi kalah dari Hatta Rajasa yang merupakan mentor politiknya.
Pernyataan-pernyataan Zulkifli Hasan dalam sejumlah kesempatan, termasuk pada saat hari ulang tahun ke-17 PAN di Bandung baru-baru ini, telah mengisyaratkan dukungannya terhadap pemerintah. Alasan yang dikemukakan, pertama, sudah tidak relevan lagi adanya pemisahan KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH); dan kedua, pada kondisi keterpurukan ekonomi seperti sekarang semua kalangan harus membantu pemerintah agar bisa terhindar dari krisis.
Apa motif di belakang langkah PAN? Apakah betul— sebagaimana yang dikemukakan Zulkifli Hasan—sematamata untuk kepentingan bangsa dan negara? Jawabannya betul, karena pada saat ini pemerintah, yang secara normatif bisa mempresentasikan kepentingan bangsa dan negara, memang tengah membutuhkan uluran tangan berbagai pihak, terutama kekuatan politik dalam negeri.
Uluran tangan sangat berguna untuk membantu mengatasi persoalan ekonomi yang mengkhawatirkan dengan merosot tajamnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Selain itu, untuk menambah efektivitas kerja, pemerintah juga membutuhkan tambahan kursi pendukung di parlemen yang selama ini kekuatan KIH masih kalah tipis dibandingkan KMP.
Dengan bergabungnya PAN, KIH akan berbalik unggul tipis dibanding KMP. Meskipun secara retoris PAN menegaskan tetap di KMP, dalam politik riil arti bergabung—tidak sekadar mendukung—pemerintah sama artinya dengan keluar dari KMP.
Bisa jadi, penegasan tetap di KMP sekadar taktik agar tidak ada yang menggugat posisi Zulkifli Hasan yang menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas dukungan KMP. Tapi perlu digarisbawahi bahwa sebagai partai politik peserta pemilu PAN berhak bersikap independen untuk menentukan masa depan dirinya. Koalisi, meskipun dengan embel- embel permanen, tetap saja merupakan bagian dari strategi politik yang bisa berubah setiap saat.
Apalagi hakikatnya KMP dan KIH terbentuk berdasarkan pengelompokan yang merefleksikan dukungan terhadap capres-cawapres. Pada saat pilpres sudah berlalu, seyogianya pengelompokan itu sudah tidak ada lagi karena sudah tidak relevan. Dukungan terhadap calon presiden adalah satu hal, dan dukungan terhadap presiden terpilih (pemerintah) adalah hal yang lain.
Setiap partai politik punya sikap masing-masing dalam melihat dan menilai kebijakan- kebijakan pemerintah. Partai politik atau gabungan partai politik tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan partai politik lainnya. Dalam perspektif inilah langkah PAN dinilai tepat karena bermakna signifikan bagi perubahan peta kekuatan politik di parlemen.
Kehadiran PAN disambut baik karena pemerintah sedang membutuhkan tambahan dukungan politik untuk menopang program-programnya yang kerap tersendat akibat minimnya dukungan parlemen, sementara keberadaan PAN tidak signifikan pada saat tetap berada di KMP. Soal kemungkinan adanya motif lain, misalnya untuk mendapatkan kursi menteri, tentu tidak ada masalah karena hakikat politik, sebagaimana ditegaskan Harold Lasswell (1902- 1978) adalah who gets what, when, and how.
PAN bisa memperoleh jabatan menteri pada saat yang tepat. Bahwa ada pihak- pihak yang menuduh PAN menutupi motif politiknya dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara, juga merupakan hal yang wajar karena setiap langkah politik selalu menimbulkan pro dan kontra. Dan, baik yang pro maupun kontra, masing-masing punya alasan yang bisa dibenarkan. Yang menarik, dalam tubuh PAN sendiri juga masih terdapat pro-kontra.
Dari pernyataan- pernyataannya tampak sekali ada kegundahan dan ketidakrelaan Amien Rais sebagai ketua Dewan Kehormatan PAN. Pro-kontra di internal inilah yang seyogianya segera diselesaikan karena jika tetap dibiarkan akan menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap kesungguhan PAN bergabung dengan pemerintah.
Meskipun Amien Rais bukan ketua umum, tapi publik tetap melihatnya sebagai ”pemegang saham terbesar” PAN. Ucapan dan tindakan Amien Rais dalam politik, oleh sebagian kalangan, masih diidentikkan dengan sikap politik PAN. Karenanya, ucapan dan tindakan Amien Rais tidak bisa diabaikan begitu saja.
Untuk meyakinkan Amien Rais, juga mereka yang kurang menyetujui langkah PAN, Zulkifli Hasan dan jajarannya di DPP PAN harus bisa membuktikan bahwa langkahnya bergabung dengan pemerintah benar- benar demi kepentingan bangsa, bukan demi satu dua kursi menteri.
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, Wakil Ketua Umum Forum Keluarga Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Fokal IMM)
Jika panggung politik diumpamakan papan catur, keputusan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bergabung dengan pemerintah ibarat langkah kuda, tidak lurus dan zig-zag.
Tidak lurus karena dianggap melenceng dari kesepakatan bersama Koalisi Merah Putuh (KMP); zig-zag karena meskipun telah menyeberang namun mengaku kakinya tetap di KMP. Sejatinya, apa yang ditempuh PAN sudah bisa dibaca sejak Kongres IV di Bali yang menghasilkan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum.
Seperti kita ketahui, kemenangan mantan Menteri Kehutanan ini tidak lepas dari dukungan Soetrisno Bachir, ketua umum PAN 2005- 2010, yang pada pemilu presiden lalu mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tanpa dukungan Soetrisno Bachir, Zulkifli Hasan bisa jadi kalah dari Hatta Rajasa yang merupakan mentor politiknya.
Pernyataan-pernyataan Zulkifli Hasan dalam sejumlah kesempatan, termasuk pada saat hari ulang tahun ke-17 PAN di Bandung baru-baru ini, telah mengisyaratkan dukungannya terhadap pemerintah. Alasan yang dikemukakan, pertama, sudah tidak relevan lagi adanya pemisahan KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH); dan kedua, pada kondisi keterpurukan ekonomi seperti sekarang semua kalangan harus membantu pemerintah agar bisa terhindar dari krisis.
Apa motif di belakang langkah PAN? Apakah betul— sebagaimana yang dikemukakan Zulkifli Hasan—sematamata untuk kepentingan bangsa dan negara? Jawabannya betul, karena pada saat ini pemerintah, yang secara normatif bisa mempresentasikan kepentingan bangsa dan negara, memang tengah membutuhkan uluran tangan berbagai pihak, terutama kekuatan politik dalam negeri.
Uluran tangan sangat berguna untuk membantu mengatasi persoalan ekonomi yang mengkhawatirkan dengan merosot tajamnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Selain itu, untuk menambah efektivitas kerja, pemerintah juga membutuhkan tambahan kursi pendukung di parlemen yang selama ini kekuatan KIH masih kalah tipis dibandingkan KMP.
Dengan bergabungnya PAN, KIH akan berbalik unggul tipis dibanding KMP. Meskipun secara retoris PAN menegaskan tetap di KMP, dalam politik riil arti bergabung—tidak sekadar mendukung—pemerintah sama artinya dengan keluar dari KMP.
Bisa jadi, penegasan tetap di KMP sekadar taktik agar tidak ada yang menggugat posisi Zulkifli Hasan yang menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas dukungan KMP. Tapi perlu digarisbawahi bahwa sebagai partai politik peserta pemilu PAN berhak bersikap independen untuk menentukan masa depan dirinya. Koalisi, meskipun dengan embel- embel permanen, tetap saja merupakan bagian dari strategi politik yang bisa berubah setiap saat.
Apalagi hakikatnya KMP dan KIH terbentuk berdasarkan pengelompokan yang merefleksikan dukungan terhadap capres-cawapres. Pada saat pilpres sudah berlalu, seyogianya pengelompokan itu sudah tidak ada lagi karena sudah tidak relevan. Dukungan terhadap calon presiden adalah satu hal, dan dukungan terhadap presiden terpilih (pemerintah) adalah hal yang lain.
Setiap partai politik punya sikap masing-masing dalam melihat dan menilai kebijakan- kebijakan pemerintah. Partai politik atau gabungan partai politik tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan partai politik lainnya. Dalam perspektif inilah langkah PAN dinilai tepat karena bermakna signifikan bagi perubahan peta kekuatan politik di parlemen.
Kehadiran PAN disambut baik karena pemerintah sedang membutuhkan tambahan dukungan politik untuk menopang program-programnya yang kerap tersendat akibat minimnya dukungan parlemen, sementara keberadaan PAN tidak signifikan pada saat tetap berada di KMP. Soal kemungkinan adanya motif lain, misalnya untuk mendapatkan kursi menteri, tentu tidak ada masalah karena hakikat politik, sebagaimana ditegaskan Harold Lasswell (1902- 1978) adalah who gets what, when, and how.
PAN bisa memperoleh jabatan menteri pada saat yang tepat. Bahwa ada pihak- pihak yang menuduh PAN menutupi motif politiknya dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara, juga merupakan hal yang wajar karena setiap langkah politik selalu menimbulkan pro dan kontra. Dan, baik yang pro maupun kontra, masing-masing punya alasan yang bisa dibenarkan. Yang menarik, dalam tubuh PAN sendiri juga masih terdapat pro-kontra.
Dari pernyataan- pernyataannya tampak sekali ada kegundahan dan ketidakrelaan Amien Rais sebagai ketua Dewan Kehormatan PAN. Pro-kontra di internal inilah yang seyogianya segera diselesaikan karena jika tetap dibiarkan akan menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap kesungguhan PAN bergabung dengan pemerintah.
Meskipun Amien Rais bukan ketua umum, tapi publik tetap melihatnya sebagai ”pemegang saham terbesar” PAN. Ucapan dan tindakan Amien Rais dalam politik, oleh sebagian kalangan, masih diidentikkan dengan sikap politik PAN. Karenanya, ucapan dan tindakan Amien Rais tidak bisa diabaikan begitu saja.
Untuk meyakinkan Amien Rais, juga mereka yang kurang menyetujui langkah PAN, Zulkifli Hasan dan jajarannya di DPP PAN harus bisa membuktikan bahwa langkahnya bergabung dengan pemerintah benar- benar demi kepentingan bangsa, bukan demi satu dua kursi menteri.
(ars)