Profesionalisme Polri dan Ricuh Kampung Pulo

Rabu, 02 September 2015 - 08:42 WIB
Profesionalisme Polri...
Profesionalisme Polri dan Ricuh Kampung Pulo
A A A
Peristiwa penggusuran yang dua pekan lalu terjadi di Kampung Pulo, Jakarta Timur merupakan bentuk klimaks dari warga masyarakat yang menuntut ganti rugi.

Gubernur DKI Jakarta melalui pergubnya menegaskan tidak ada ganti rugi jika rumah yang digusur tak ada surat izin mendirikan bangunan (IMB). Hal inilah yang kemudian memicu emosi sebagian warga yang pada pekan lalu tumpah ke jalan, menghadang barikade petugas Satpol PP dan polisi saat akan melakukan eksekusi sejumlah lahan di Kampung Pulo guna menormalisasikan kembali kali Ciliwung.

Bentrok pun pecah. Sejumlah fasilitas dan beberapa kendaraan hangus terbakar. Kendaraan berat yang telah disiapkan Pemprov DKI juga ikut dibakar. Bentrokan yang tak bisa dihindarkan itu mengakibatkan polisi mengeluarkan gas air mata untuk menghalau massa yang makin tak terkontrol.

Pertanyaannya, di tengah kampanye simpatik Polri tentang polisi sipil, sudahkah upaya yang dilakukan polisi meminimalisasi amuk massa pada situasi tersebut benar? Penulis memberikan beberapa catatan dalam insiden amuk masa, Satpol PP–Polri versus warga Kampung Pulo.

Pertama, tidak ada korban akibat upaya represif dari polisi adalah tindakan positif jajaran korps kepolisian saat itu. Kedua, sikap polisi yang lebih defensif dalam menghalau massa adalah suatu keputusan yang tepat guna meminimalisasi emosi warga. Ketiga, penangkapan provokator dilakukan justru saat situasi sudah agak reda adalah tindakan tepat.

Bisa dikatakan tiga poin tersebut menjadi nilai plus polisi dalam penanganan kericuhan Kampung Pulo, mengingat urgensi polisi yang akan membentuk paradigma sebagai aparat penegak hukum yang humanis.

Menilik kasus serupa, pasti saja ada sentimen muncul dari masyarakat terhadap sikap polisi dalam menghalau masa, tetapi kinerja seperti kemarin perlu ditingkatkan terus atau dikembangkan ke seluruh wilayah pelosok negeri agar dapat membangun paradigma masyarakat ke arah yang lebih baik dalam membangun kinerja polisi.

Upaya polisi yang soft dan tidak ”serepresif” biasanya itu bisa dijadikan modal besar untuk citra polisi di mata masyarakat, bahkan media massa sekaligus. Tidak ada korban tindakan aparat dan situasi yang cenderung kondusif merupakan poin penting dalam penanganan kasus Kampung Pulo dua pekan lalu.

Berubahnya gaya polisi kemarin sangat dirasakan oleh para awak media, di mana dalam catatan penulis, tak ada satu media pun yang mengkritik kinerja polisi dalam menangani massa Kampung Pulo dalam setiap pemberitaan. Inilah yang akan membentuk sinergi antara media dan polisi.

Jika polisi sudah melakukan yang tepat, pemberitaan dari media pun tidak akan ada yang mengkritisi sikap polisi, yang imbasnya akan terjadi penilaian-penilaian positif dari masyarakat atas pemberitaan. Tidak ada adu domba yang sebagaimana seringkali media terima manakala ada kritik dari kinerja polisi saat menangani suatu kericuhan. ***

Dari semuanya itu, sikap dan paradigma polisi diharapkan terus membaik jika melihat kasus penanganan kericuhan Kampung Pulo. Terjadi hubungan yang baik antara polisi, masyarakat, dan media tentunya dalam sisi pemberitaan mengenai polisi.

Apakah cara tepat menangani ricuh Kampung Pulo merupakan indikator lahirnya profesionalisme Polri di tengah kompleksitas masalah kebangsaan dan masalah internasional saat ini? Berangkat dari cara polisi menangani kasus ricuh Kampung Pulo, sikap profesional menjadi pilihan tepat yang pas saat ini untuk Polri dalam rangka mewujudkan polisi sipil.

Kebanyakan orang mungkin dengan mudah akan mengatakan profesionalisme, tetapi kebanyakan orang pula belum tentu tahu makna dan hakikat profesionalisme. Jika disimpulkan bahwa polisi merupakan profesi, profesi polisi haruslah dilaksanakan secara profesional.

Sebagai profesi, dibutuhkan upaya pemolisian profesi karena polisi merupakan suatu pekerjaan yang memiliki status sosial yang tinggi dan bergengsi. Seorang polisi yang profesional digambarkan sebagai seorang ahli yang memiliki pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat.

Karena itu, profesionalisme bagi polisi sangat penting untuk ditingkatkan guna mewujudkan harapan masyarakat terhadap sosok-sosok polisi yang ideal dengan tiga kualifikasi khusus; the legalistic abusive officer (penjaga/pelindung masyarakat), the task officer (menjalankan hukum), dan the community service officer (membantu masyarakat dan memecahkan persoalan).

Karena itu, standar profesionalisme polisi mensyaratkan agar polisi membutuhkan pelatihan, keterampilan, dan kemampuan khusus. Anggota kepolisian juga harus mempunyai komitmen terhadap pekerjaannya; dan dalam menjalankan pekerjaannya, polisi membutuhkan suatu tingkat otonomi tertentu.

Hal lain, penetapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) juga menjadi salah satu standardisasi profesionalisme bagi anggota polisi. Modus operandi kejahatan semakin beragam tentu saja membutuhkan langkah-langkah pencegahan yang ”mumpuni”.

Iptek yang terus berkembang pada babakan abad ke-20 dan ke-21 haruslah secara signifikan dapat diselaraskan dengan kaidah-kaidah teoritik dalam ilmu kepolisian di mana konsep pelayan masyarakat juga harus disinkronkan.

Jika unsur iptek dan syarat standar terpenuhi, profesionalisme di tubuh Polri juga ditunjang tiga parameter penting yakni well motivation yaitu seorang polisi harus memiliki motivasi yang baik dalam menjalankan tugasnya; well education yaitu seorang polisi harus memiliki jenjang pendidikan yang baik seperti diploma, sarjana (S- 1, S-2, dan S-3); dan well salary yakni seorang polisi haruslah digaji dengan bayaran yang memadai untuk menunjang pekerjaannya sehingga tidak cenderung untuk korupsi.

Seorang polisi haruslah memiliki motivasi untuk mengabdikan dirinya sebagai polisi dengan tantangan dan tugas yang berat. Sebagai polisi, seseorang dituntut kesiapan mental dan fisik baik dalam konteks melayani masyarakat maupun dalam konteks penanganan kerusuhan dan tindakan kriminal lainnya.

Idealnya seseorang polisi dengan kualifikasi pendidikan baik akan tergambar melalui prilakunya. Dalam konteks ini, seorang polisi dituntut untuk dapat memahami modus operandi kejahatan yang terus berkembang dan mengetahui perangkat hukum yang hendak diancamkan kepada penjahatnya (accussed). Untuk melakukannya, kualifikasi pendidikan sangat dibutuhkan.

Gaji selalu menjadi isu sensitif ketika menuntut suatu hasil yang maksimal. Fakta menunjukkan bahwa gaji polisi masih sangat kecil dibanding dengan penegak hukum lainnya seperti hakim dan jaksa. Penetapanstandardisasiprofesionalisme polisi sebagaimana disepakati para pakar dan berlaku dalam praktik telah menjadi acuan bagi penetapan ukuran profesionalisme di hampir seluruh negara-negara di dunia.

Amerika Serikat misalnya menetapkan standardisasi profesionalisme polisinya dengan mengemukakan empat kriteria seperti pelaksanaan tugas kepolisian secara ilmiah, petugas polisi haruslah terpelajar, mempunyai integritas dan profesionalisme, serta pemusatan pelayanan kepolisian yang efektif.

Menakar standardisasi profesionalisme Polri tentu tidaklah semudah yang tertulis. Insiden TNI–Polri yang terus berlanjut, bentrok aparat kepolisian dengan mahasiswa di Kampus UNAS beberapa waktu lalu, insiden kekerasan di Monas yang ditengarai sebagai akibat politik pembiaran dari kepolisian, serta hasil survei persepsi korupsi dari Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang menempatkan

Polri sebagai institusi terkorup di Indonesia setelah DPR, lembaga peradilan, dan partai politik adalah fakta yang tidak dapat dielakkan betapa standardisasi profesionalisme Polri masih terus berproses untuk menemukan strategi yang tepat dalam pengimplementasiannya.

ECEP SUWARDANI YASA
GM News Gathering tvOne, Mahasiswa Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian (KIK), Universitas Indonesia
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1073 seconds (0.1#10.140)