Gejolak Harga Pangan

Rabu, 26 Agustus 2015 - 09:50 WIB
Gejolak Harga Pangan
Gejolak Harga Pangan
A A A
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Belum genap dua pertiga jarum jam tahun 2015 dijalani, negeri ini kembali dirundung gejolak harga pangan. Setelah gonjang-ganjing harga beras di awal tahun, kini kenaikan harga serupa menimpa daging sapi dan daging ayam.

Sebaliknya, petani tomat menjerit karena harga jatuh akibat panen melimpah. Dalam beberapa bulan ke depan, gonjang- ganjing bakal terjadi pada gula, cabe, kedelai, bawang merahdanentahapalagi. Rutinitas ini seperti penyakit menahun: timbul-tenggelam, tergantung momentumnya.

Tak terhitung sumber daya yang tergerus. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang mustinya bisa diselesaikan dengan cara cerdas. Penyebab kenaikan harga pangan sebetulnya sudah dikenali dengan baik oleh pemerintah. Oleh karena itu, semestinya penanganannya jauh lebih mudah. Pertanyaannya, mengapa masalah ini selalu berulang? Ini terjadi karena pemerintah tidak pernah mau menyentuh akar persoalan.

Solusi yang dilakukan hanya mencapai level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan. Pemerintah yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apaapa bila distribusi macet, dan ada pelaku dominan dan pemburu rente yang berulah nakal. Penyebab instabilitas harga pangan bersifat struktural.

Tanpa menyentuh masalah struktural itu, instabilitas selalu berulang. Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Banyak komoditas pangan, termasuk daging sapi dan daging ayam, diserahkan pada mekanisme pasar. Kalaupun diatur hanya waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar. Kenyataannya, ketiga persyaratan itu belum terpenuhi.

Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopoli ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging, tak terkecuali bawang (putih).

Bisnis impor ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking. Ketiga, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami “setengah privatisasi” menjadi perum, praktis kita tidak memiliki badan penyanggayangmemilikikekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilege kini semua itu telah dipreteli.

Kini Bulog hanya mengurus beras, itu pun dengan kapasitas terbatas. Cadangan beras yang dikelola Bulog pun amat kecil, rata-rata antara 4- 5%. Dengan kondisi seperti itu, Bulog tidak memiliki kapasitas besar untuk mengintervensi pasar saat terjadi gejolak. Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak Kementerian Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan pangan.

Otonomidaerahmembuatproduksi pangan domestik diurus daerah. Padahal elit daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Bahkan, petajalanswasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja produksi pangan domestik.

Hasil akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot diiringi melonjaknya pangan impor. Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka buah-buahan dan bawang putih. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100% untuk gandum, 78% kedelai, 72% susu, 54% gula, 30% daging sapi, dan 95% bawang putih.

Sebagian besar diimpor dari negara- negara maju. Belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Untuk mengurai berbagai problem struktural itu diperlukan sejumlah kebijakan. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usahatanidantataniagakomoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada.

Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar dan teknologi. Dalam batas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris dan oligopolis. Kedua, menentukan jenis dan jumlah pangan obyek stabilisasi.

Lewat Perpres No 71/2015 sebagai turunan UU Perdagangan No 7/2014, pemerintah menetapkan 11 jenis barang kebutuhan pokok (beras, kedelai bahan baku tahu/ tempe, cabe, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar (bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang); dan 7 jenis barang penting (benih (padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji 3 kg, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.

Namun, aturan ini tidak mengatur jenis dan jumlah pangan obyek stabilisasi. Terkait stabilisasi, satu prasyarat penting adalah stok/cadangan. Di Pasal 3 Peraturan Pemerintah No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi cadangan pangan terbagi tiga level: pemerintah pusat, daerah dan desa.

Cadangan hanya ada pada Pangan Pokok Tertentu, yakni pangan yang diproduksi dan dikonsumsi sebagian besar warga Indonesia yang bila ketersediaan dan harganya terganggu dapat memengaruhi stabilitas ekonomi dan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Jenis Pangan Pokok Tertentu ini harus ditetapkan Presiden, dan jumlah cadangan ditetapkan Kepala Lembaga Pemerintah.

Hampir bisa dipastikan, jenis Pangan Pokok Tertentu ini tidak akan jauh dari 11 kebutuhan pokok yang diatur Perpres No 71/2015. Jika benar demikian, agar pengelolaan pangan efektif setidaknya diperlukan dua langkah. Pertama, Presiden segera menetapkan jenis Pangan Pokok Tertentu yang diatur cadangannya. Kedua, segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU Pangan.

Kemudian kepala lembaga ini menetapkan jumlah cadangan Pangan Pokok Tertentu. Bulog bisa jadi tangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga. Lembaga baru ini nantinya bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Didukung anggaran memadai, sepertinya tak berlebihan berharap stabilisasi pangan memasuki rezim baru, dan gejolak harga pangan jadi cerita masa lalu.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.7376 seconds (0.1#10.140)