PLTN untuk Keamanan Energi Nasional
A
A
A
Mudi Kasmudi
Praktisi Industri, Energi, dan Pertambangan
Indonesia termasuk dalam anggota G-20, yang merupakan kelompok negara dengan perekonomian terbesar dunia.
Dengan populasi nomor empat dunia, diiringi dengan kemampuan SDM yang terus meningkat, perekonomiannya terus tumbuh untuk mengejar ketinggalan dari negara industri baru seperti China, India, Taiwan, dan Korea Selatan. Konsekuensi negara dengan perekonomian besar ialah harus menyiapkan keamanan energi nasionalnya, terutama energi listrik, yang jumlahnya sangat besar.
Untuk mengatasi krisis listrik, negara-negara maju sudah lama menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yaitu setelah krisis minyak dunia yang pertama (1973), akibat embargo minyak negara-negara Arab. MerekamembangunPLTN karena dua alasan utama. Keamanan energi nasional dan mengambil keuntungan sebagai bangsa yang menguasai teknologi nuklir. Sebagai contoh Prancis dan Jepang.
Setelah krisis minyak dunia yang pertama, Prancis mulai tahun 1974 melakukan ekspansi pembangunan PLTN. Dari data Nuclear Energy Institute (NEI, 2015), Prancis mempunyai 58 reaktor nuklir dengan total kapasitas 63.130 MW, dan memproduksi listrik nuklir sekitar 76,9% dari total listrik nasionalnya. Prancis adalah negara dengan komposisi energi nuklir terbesar dunia.
Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki total listrik nasional 40.533 MW (2013), dengan nol persen PLTN. Jepang, sekalipun sebagai negara korban bom atom Hiroshima-Nagasaki pada Agustus 1945, telah mengoperasikan 43 PLTN dengan total kapasitas 40.290 MW. Jepang mulai riset energi nuklir tidak berbeda jauh dengan Indonesia, yaitu pada tahun 1954, dan Jepang mengimpor PLTN pertama kali dari Inggris dan mulai beroperasi pada 1966.
Dari data International Atomic Energy Agency (IAEA), sampai pertengahan 2015 ada 31 negara yang mengoperasikan PLTN, yang semuanya berjumlah 438 reaktor nuklir dengan total kapasitas 379.261 MW (NEI, 2015). Di samping itu, di 16 negara, ada 67 reaktor dalam masa konstruksi, dengan total kapasitas 65.442 MW.
Dari 16 negara tersebut, pendatang baru adalah Belarusia, Slovakia, Uni Emirat Arab. Energi listrik nuklir sampai tahun 2012 berkontribusi 10,9 % dari total produksi listrik dunia, dan sampai tahun 2014 ada 13 negara yang menggunakan energi listrik nuklirnya dengan kontribusi lebih dari 30%.
Meluruskan Persepsi Publik
Publik mengasosiasikan PLTN sama dengan bom atom/ nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima-Nagasaki. Padahal, ada perbedaan antara reaktor nuklir dan bom atom, yaitu bom atom memiliki kemurnian uranium di atas 85%, sedangkan kemurnian uranium untuk reaktor nuklir sekitar 3-5%.
Di samping mengasosiasi PLTN ke bom atom, publik juga tertuju pada kecelakaan reaktor nuklir, yang pernah terjadi di Pennsylvania-AS (1979), Chernobyl di Kiev-Ukraina (1986) dan PLTN Fukushima Daiichi-Jepang (2011), sebagai akibat gempa dan tsunami. Reaktor nuklir yang mengalami kecelakaan di atas adalah reaktor generasi tua.
Padahal, teknologi reaktor nuklir sekarang sudah generasi ketiga dan dalam pengembangan generasi keempat, yang memiliki safety instrumented system yang jauh lebih ketat dan andal dibanding generasi tua. Dalam tulisan Keselamatan PLTN antara Isu dan Fakta (Bob S Effendi, 2015), dosis aman radiasi bagi manusia adalah maksimum 10 miliSievert (mSv) per tahun, sementara sebuah PLTN hanya mengeluarkan radiasi 0,05 mSv per tahun dalam radius 1 km2.
Bandingkan dengan barang-barang elektronik yang kita gunakan sehari-hari sepeti televisi, ponsel, komputer, yang mengeluarkan radiasi sekitar 2,4 mSv per tahun. Di samping itu, berdasarkan hasil penelitian Pemerintah Jepang dan Hirosaki University mengenai dampak radiasi kecelakaan nuklir Fukushima, terhadap penduduk yang tinggal berdekatan dengan PLTN, hasilnya menunjukkan bahwa radiasinya masih di bawah ambang batas, yaitu 3,5-4,2 mSv.
PLTN tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca sedikit pun, sedangkan pembangkit berbahan bakar fosil sebaliknya, karena proses reaksinya berbeda. Emisi gas dari PLTU milik PLNdanIPPdengantotal20.059 MW (2013) telah mengeluarkan emisi sekitar 120 juta ton CO2 per tahun. Sebaliknya, dari program pembangunan 35.000 MW yang sedang digulirkan komposisi PLTU adalah sekitar 50% (17.500 MW) yang akan menambah 87% emisi CO2.
Suatu jumlah yang sangat besar, padahal jumlah tersebut belum termasuk emisi SOx, NOx, abu, dan belum termasuk emisi gas dari pembangkit berbahan bakar minyak dan gas. Di negara-negara maju sekalipun, pembangunan PLTN tidak terlepas dari persepsi publik dan politik, akan tetapi sebagian besar publik mendukungnya. Contohnya adalah Amerika Serikat, yang menggunakan listriknuklir19,5%(98.639MW), danberdasarkanhasilsurvei, 83% publik yang berdekatan dengan PLTN mendukung energi nuklir (NEI, 2015).
Nuklir Indonesia
Indonesia memulai riset dan pengembangan nuklir sejak masa Presiden Soekarno. Pada 5 Desember 1958, melalui PP Nomor 65/1958, dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom, yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) berdasarkan UU Nomor 31/1964.
Usia berdirinya hampir sama dengan negara-negara Asia lain yang telah memiliki PLTN, akan tetapi kita ketinggalan jauh. Misalnya oleh Jepang yang memiliki 43 unit PLTN, Korea Selatan (24 unit), China (27 unit), dan India (21unit). Untuk riset dan pengembangan, Indonesia telah berpengalaman dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir yang diakui dunia internasional.
Indonesia telah mengoperasikan reaktor atom pertama Triga Mark II (1965) di Bandung, Reaktor Kartini, Yogyakarta (1979), dan Reaktor Serbaguna Siwabessy (1987). Akan tetapi, hingga kini bangsa Indonesia belum menguasai teknologi nuklir untuk PLTN. Padahal, negara tetangga berencana membangun seperti Vietnam dan Bangladesh.
Keamanan Energi Nasional
Pada 2022, komposisi listrik diproyeksikan batubara 65,6%, gas 16,6%, panas bumi 11%, tenaga air 5,1%, dan 1,7% untuk minyak dan lainnya (RUPTL PLN-2013-2022). Dari data tersebut, sekitar 83,9 % listrik berbahan bakar fosil atau sekitar 18,3% berbahan bakar minyak dan gas. Dalam Outlook Energi Indonesia (BPPT, 2014), cadangan minyak akan habis 12 tahun lagi, gas akan habis 33 tahun lagi, dan batu bara akan habis 75 tahun lagi—jika tidak ditemukan cadangan baru.
Padahal, gas dibutuhkan untuk pabrik pupuk untuk para petani dan industri lainnya. Adapun minyak untuk menekan impor BBM yang membebani APBN. Di masa datang energi fosil akan habis dan pada akhirnya dunia akan mengalami krisis energi dengan harga yang meroket. Indonesia memiliki bahan bakar nuklir seperti thorium dan uranium, yang mempunyai energi sangat besar.
Sebagai perbandingan, kandungan energi 1 ton thorium setara dengan 50 ton uranium (3%), dan setara dengan 4 juta sampai 11 juta ton batubara. Batan memperkirakan, terdapat cadangan 70.000 ton uranium dan 117.000 ton thorium yang tersebar di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Papua, serta Sulawesi Barat (Antara , 2013). Cadangan uranium tersebut dapat menghasilkan listrik sekitar 1.400 MW dalam 1.000 tahun, sedangkan cadangan thorium dapat menghasilkan listrik sekitar 117.000 MW dalam 1.000 tahun.
Untuk keamanan energi nasional, PLTN adalah suatu keharusan untuk menurunkan sebagian besar pembangkit berbahan bakar fosil. Karena itu, Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014-2050, yang tertuang dalam PP Nomor 79/2014 sudah seharusnya direvisi demi keamanan, ketahanan, dan kedaulatan energi nasional. Mari kita semua mendukung pembangunan PLTN. Dirgahayu Indonesia Merdeka.
Praktisi Industri, Energi, dan Pertambangan
Indonesia termasuk dalam anggota G-20, yang merupakan kelompok negara dengan perekonomian terbesar dunia.
Dengan populasi nomor empat dunia, diiringi dengan kemampuan SDM yang terus meningkat, perekonomiannya terus tumbuh untuk mengejar ketinggalan dari negara industri baru seperti China, India, Taiwan, dan Korea Selatan. Konsekuensi negara dengan perekonomian besar ialah harus menyiapkan keamanan energi nasionalnya, terutama energi listrik, yang jumlahnya sangat besar.
Untuk mengatasi krisis listrik, negara-negara maju sudah lama menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yaitu setelah krisis minyak dunia yang pertama (1973), akibat embargo minyak negara-negara Arab. MerekamembangunPLTN karena dua alasan utama. Keamanan energi nasional dan mengambil keuntungan sebagai bangsa yang menguasai teknologi nuklir. Sebagai contoh Prancis dan Jepang.
Setelah krisis minyak dunia yang pertama, Prancis mulai tahun 1974 melakukan ekspansi pembangunan PLTN. Dari data Nuclear Energy Institute (NEI, 2015), Prancis mempunyai 58 reaktor nuklir dengan total kapasitas 63.130 MW, dan memproduksi listrik nuklir sekitar 76,9% dari total listrik nasionalnya. Prancis adalah negara dengan komposisi energi nuklir terbesar dunia.
Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki total listrik nasional 40.533 MW (2013), dengan nol persen PLTN. Jepang, sekalipun sebagai negara korban bom atom Hiroshima-Nagasaki pada Agustus 1945, telah mengoperasikan 43 PLTN dengan total kapasitas 40.290 MW. Jepang mulai riset energi nuklir tidak berbeda jauh dengan Indonesia, yaitu pada tahun 1954, dan Jepang mengimpor PLTN pertama kali dari Inggris dan mulai beroperasi pada 1966.
Dari data International Atomic Energy Agency (IAEA), sampai pertengahan 2015 ada 31 negara yang mengoperasikan PLTN, yang semuanya berjumlah 438 reaktor nuklir dengan total kapasitas 379.261 MW (NEI, 2015). Di samping itu, di 16 negara, ada 67 reaktor dalam masa konstruksi, dengan total kapasitas 65.442 MW.
Dari 16 negara tersebut, pendatang baru adalah Belarusia, Slovakia, Uni Emirat Arab. Energi listrik nuklir sampai tahun 2012 berkontribusi 10,9 % dari total produksi listrik dunia, dan sampai tahun 2014 ada 13 negara yang menggunakan energi listrik nuklirnya dengan kontribusi lebih dari 30%.
Meluruskan Persepsi Publik
Publik mengasosiasikan PLTN sama dengan bom atom/ nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima-Nagasaki. Padahal, ada perbedaan antara reaktor nuklir dan bom atom, yaitu bom atom memiliki kemurnian uranium di atas 85%, sedangkan kemurnian uranium untuk reaktor nuklir sekitar 3-5%.
Di samping mengasosiasi PLTN ke bom atom, publik juga tertuju pada kecelakaan reaktor nuklir, yang pernah terjadi di Pennsylvania-AS (1979), Chernobyl di Kiev-Ukraina (1986) dan PLTN Fukushima Daiichi-Jepang (2011), sebagai akibat gempa dan tsunami. Reaktor nuklir yang mengalami kecelakaan di atas adalah reaktor generasi tua.
Padahal, teknologi reaktor nuklir sekarang sudah generasi ketiga dan dalam pengembangan generasi keempat, yang memiliki safety instrumented system yang jauh lebih ketat dan andal dibanding generasi tua. Dalam tulisan Keselamatan PLTN antara Isu dan Fakta (Bob S Effendi, 2015), dosis aman radiasi bagi manusia adalah maksimum 10 miliSievert (mSv) per tahun, sementara sebuah PLTN hanya mengeluarkan radiasi 0,05 mSv per tahun dalam radius 1 km2.
Bandingkan dengan barang-barang elektronik yang kita gunakan sehari-hari sepeti televisi, ponsel, komputer, yang mengeluarkan radiasi sekitar 2,4 mSv per tahun. Di samping itu, berdasarkan hasil penelitian Pemerintah Jepang dan Hirosaki University mengenai dampak radiasi kecelakaan nuklir Fukushima, terhadap penduduk yang tinggal berdekatan dengan PLTN, hasilnya menunjukkan bahwa radiasinya masih di bawah ambang batas, yaitu 3,5-4,2 mSv.
PLTN tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca sedikit pun, sedangkan pembangkit berbahan bakar fosil sebaliknya, karena proses reaksinya berbeda. Emisi gas dari PLTU milik PLNdanIPPdengantotal20.059 MW (2013) telah mengeluarkan emisi sekitar 120 juta ton CO2 per tahun. Sebaliknya, dari program pembangunan 35.000 MW yang sedang digulirkan komposisi PLTU adalah sekitar 50% (17.500 MW) yang akan menambah 87% emisi CO2.
Suatu jumlah yang sangat besar, padahal jumlah tersebut belum termasuk emisi SOx, NOx, abu, dan belum termasuk emisi gas dari pembangkit berbahan bakar minyak dan gas. Di negara-negara maju sekalipun, pembangunan PLTN tidak terlepas dari persepsi publik dan politik, akan tetapi sebagian besar publik mendukungnya. Contohnya adalah Amerika Serikat, yang menggunakan listriknuklir19,5%(98.639MW), danberdasarkanhasilsurvei, 83% publik yang berdekatan dengan PLTN mendukung energi nuklir (NEI, 2015).
Nuklir Indonesia
Indonesia memulai riset dan pengembangan nuklir sejak masa Presiden Soekarno. Pada 5 Desember 1958, melalui PP Nomor 65/1958, dibentuklah Dewan Tenaga Atom dan Lembaga Tenaga Atom, yang kemudian disempurnakan menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) berdasarkan UU Nomor 31/1964.
Usia berdirinya hampir sama dengan negara-negara Asia lain yang telah memiliki PLTN, akan tetapi kita ketinggalan jauh. Misalnya oleh Jepang yang memiliki 43 unit PLTN, Korea Selatan (24 unit), China (27 unit), dan India (21unit). Untuk riset dan pengembangan, Indonesia telah berpengalaman dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir yang diakui dunia internasional.
Indonesia telah mengoperasikan reaktor atom pertama Triga Mark II (1965) di Bandung, Reaktor Kartini, Yogyakarta (1979), dan Reaktor Serbaguna Siwabessy (1987). Akan tetapi, hingga kini bangsa Indonesia belum menguasai teknologi nuklir untuk PLTN. Padahal, negara tetangga berencana membangun seperti Vietnam dan Bangladesh.
Keamanan Energi Nasional
Pada 2022, komposisi listrik diproyeksikan batubara 65,6%, gas 16,6%, panas bumi 11%, tenaga air 5,1%, dan 1,7% untuk minyak dan lainnya (RUPTL PLN-2013-2022). Dari data tersebut, sekitar 83,9 % listrik berbahan bakar fosil atau sekitar 18,3% berbahan bakar minyak dan gas. Dalam Outlook Energi Indonesia (BPPT, 2014), cadangan minyak akan habis 12 tahun lagi, gas akan habis 33 tahun lagi, dan batu bara akan habis 75 tahun lagi—jika tidak ditemukan cadangan baru.
Padahal, gas dibutuhkan untuk pabrik pupuk untuk para petani dan industri lainnya. Adapun minyak untuk menekan impor BBM yang membebani APBN. Di masa datang energi fosil akan habis dan pada akhirnya dunia akan mengalami krisis energi dengan harga yang meroket. Indonesia memiliki bahan bakar nuklir seperti thorium dan uranium, yang mempunyai energi sangat besar.
Sebagai perbandingan, kandungan energi 1 ton thorium setara dengan 50 ton uranium (3%), dan setara dengan 4 juta sampai 11 juta ton batubara. Batan memperkirakan, terdapat cadangan 70.000 ton uranium dan 117.000 ton thorium yang tersebar di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Papua, serta Sulawesi Barat (Antara , 2013). Cadangan uranium tersebut dapat menghasilkan listrik sekitar 1.400 MW dalam 1.000 tahun, sedangkan cadangan thorium dapat menghasilkan listrik sekitar 117.000 MW dalam 1.000 tahun.
Untuk keamanan energi nasional, PLTN adalah suatu keharusan untuk menurunkan sebagian besar pembangkit berbahan bakar fosil. Karena itu, Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2014-2050, yang tertuang dalam PP Nomor 79/2014 sudah seharusnya direvisi demi keamanan, ketahanan, dan kedaulatan energi nasional. Mari kita semua mendukung pembangunan PLTN. Dirgahayu Indonesia Merdeka.
(ars)