Bongkar-Pasang Menteri
A
A
A
Presiden Jokowi pada 12 Agustus 2015 memberhentikan lima menteri, yaitu Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdjiatno, Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinov Chaniago, Menteri Perdagangan Rahmat Gobel.
Presiden juga memberhentikan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Presiden Jokowi lalu mengangkat Darmin Nasution sebagai menko perekonomian, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai menko polhukam, Rizal Ramli sebagai menko kemaritiman, Sofyan Djalil sebagai menteri PPN/kepala Bappenas, dan Thomas Lembong sebagai menteri perdagangan.
Presiden juga mengangkat Pramono Anung sebagai sekretaris kabinet. Bongkar-pasang menteri atau yang sering dikenal dengan reshuffle kabinet tersebut dalam UUD Negara RI 1945 maupun UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara memang berada di bawah kewenangan presiden sepenuhnya sesuai dengan hak prerogatif yang dimilikinya.
Pasal 3 UU Kementerian Negara juga menegaskan bahwa kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Demikian juga pada Pasal 12 dan 13 UU Kementerian Negara ditegaskan bahwa kewenangan pembentukan kementerian, termasuk pengisian jabatan menteri, melekat pada kewenangan presiden yang menurut Pasal 4 UU Kementerian negara memegang kekuasaan pemerintahan.
Hal ini berimplikasi pada kewenangan yang terkait dengan pengelolaan struktur kementerian baik dalam arti pembentukan, pengubahan maupun penggabungan, termasuk pengisian jabatan menteri, sepenuhnya menjadi kewenangan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial.
Namun UU Kementerian juga mengharuskan adanya evaluasi kinerja, transparansi, dan akuntabilitas yang harus dilaksanakan oleh seorang presiden dalam mengelola kementerian yang dinisbahkan membantu presiden dalam menjalankan pemerintahan.
Bongkar- pasang menteri yang baru saja dilaksanakan Presiden sejatinya sudah merupakan sebuah condition sine qua non mengingat tuntutan publik yang meluas agar Presiden melakukan perombakan kabinet untuk memulihkan kepercayaan publik dan pasar.
Namun, jika melihat personalia yang dipergantikan oleh Presiden, hal itu belum memperlihatkan sebuah transparansi dan akuntabilitas yang memadai terhadap konsiderasi berdasarkan hasil evaluasi kinerja terhadap para menteri terkait. Seluruh menteri koordinator (menko) kecuali Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dirombak oleh Presiden.
Hal itu belum memperlihatkan adanya transparansi argumentasi atas rasionalitas dalam kebijakan bongkar-pasang menteri tersebut. Tidak cukup jelas juga alasan penggantian Menteri PPN/Kepala Bappenas mengingat tidak terlihat adanya argumentasi yang signifikan mengenai penggantian menteri tersebut.
Bahkan Bappenas kini sudah mampu menyelesaikan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagaimana dimandatkan Presiden untuk mengintegrasikan visi dan misi Presiden dan Wapres semasa kampanye ke dalam RPJMN 2015-2019.
Bappenas bahkan sudah mulai menyiapkan indeks penilaian pencapaian Nawacita oleh Kabinet Kerja untuk mengukur keberhasilan Kabinet Kerja dalam menopang visi dan misi Presiden yang dituangkan dalam Nawacita.
Di ranah Menteri PPN/Kepala Bappenas tersebut justru hanya dilakukan penggeseran dari menko bidang perekonomian (Sofyan Jalil) menjadi menteri PPN/ketua Bappenas menggantikan Andrinof Chaniago, juga dengan tanpa memperlihatkan pertimbangan yang jelas kepada publik mengapa justru di kementerian tersebut dilakukan penggantian? ***
Kewenangan untuk melakukan bongkar-pasang menteri memang secara konstitusional melekat pada kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh presiden selaku kepala eksekutif (the chief of executive ).
Namun hal itu tak boleh diartikan boleh digunakan sesukanya atau semau-maunya oleh presiden, apalagi jika motif politik lebih kental digunakan sebagai pertimbangan dibandingkan pertimbangan profesional maupun manajerial. Sejak awal Kabinet Kerja dibentuk memang sudah menimbulkan kekecewaan publik dan resistensi pasar.
Hal itu disebabkan tidak cukup jelasnya kriteria pemilihan para menteri dalam Kabinet Kerja berdasarkan prinsip the right man on the right place. Presiden lebih terlihat tunduk pada tekanan kuasa politik dibandingkan menggunakan pertimbangan rasional dalam pemilihan para menteri.
Jokowi tak lagi terlihat sigap dan tangguh seperti di saat menjadi wali kota Solo dan gubernur DKI di masa lalu. Atau, dengan kata lain, banyak pihak menilai Jokowi tidak terlihat tampil sebagaimana kepribadian dan karakter aslinya sebagai seorang pemimpin yang cekatan sebagaimana dikenal luas oleh publik sebelumnya yang mendorong publik memilihnya menjadi presiden semasa pilpres dengan jumlah persentase pemilih lebih dari 70% populasi pemilih Indonesia.
Sejak awal Jokowi terpilih, nilai tukar rupiah terhadap dolar terus mengalami keterpurukan dan bahkan puncaknya sempat mencapai angka kritis di harga lebih dari Rp13.500/USD. Hal ini di satu sisi mencerminkan sentimen negatif pasar terhadap pemerintahan terpilih. ***
Penggantian menteri yang hanya menyentuh level menko, tetapi tidak merata di semua menko, masih memperlihatkan belum mampu menyentuh level kebutuhan kebijakan teknis yang kini lebih diperlukan denganmelakukanperombakan pada menteri teknis.
Menteri Ristek dan Dikti yang lebih sibuk mengejar-ngejar ijazah palsu dan melupakan terjadinya krisis guru besar yang kian masif di berbagai perguruan tinggi akibat pengetatan kenaikan pangkat guru besar secara irasional di era Mendikbud pemerintahan SBY tak dipikirkan secara serius.
Perguruan tinggi nyaris masih mati suri dalam menunjukkan peran sosial yang berarti untuk menopang berbagai kebijakan pemerintahan. Dosendosen lebih disibukkan urusan administratif untuk mengejar dana sertifikasi dosen dibandingkan melaksanakan tridarma perguruan tinggi secara memadai.
Menristek Dikti kini harus bersiap menghadapi ”bom waktu” krisis guru besar yang akan menyebabkan peringkat akademik perguruan tinggi menurun. Menteri-menteri yang selama ini lebih sering menimbulkan kegaduhan juga tak tersentuh oleh kebijakan bongkar-pasang menteri presiden.
Cukup banyak pemain bola profesional yang telah beralih profesi menjadi penjaga malam, tukang ”odong-odong” dan sejenisnya karena dunia persepakbolaan nasional telah sekarat akibat kebijakan pembekuan PSSI oleh Menpora. KPU hingga kini terus dihantui konflik internal partai sebagai dampak kebijakan Menkumham RI yang mengintervensi konflik internal partai.
Di ranah ekonomi, rakyat masih terus dihantui kenaikan harga BBM yang bisa terjadi setiap saat tanpa rasionalitas yang jelas di setiap pergantian harga. Publik tentu berharap adanya kebijakan bongkar-pasang menteri yang didasarkan atas pertimbangan- pertimbangan yang lebih holistik dan komprehensif untuk mengembalikan kepercayaan publik dan pasar. Negeri ini bisa kian terpuruk dan menjadi negara yang gagal jika kepemimpinan nasional tak mampu lagi memimpin penyelenggaraan pemerintahan dengan baik.
Kita ingat ada salah satu janji dalam Nawacita untuk menghadirkan kembali negara guna melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang tepercaya, dan pembangunan pertahanan negara trimatra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Masih ada 8 elemen Nawacita lain yang menunggu dipenuhi oleh Kabinet Kerja selepas bongkar-pasang menteri saat ini. Selamat bekerja menteri-menteri baru, rakyat menunggukucurankesejahteraan dari tangan negara!
DR W RIAWAN TJANDRA, SH, MHUM
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Presiden juga memberhentikan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Presiden Jokowi lalu mengangkat Darmin Nasution sebagai menko perekonomian, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai menko polhukam, Rizal Ramli sebagai menko kemaritiman, Sofyan Djalil sebagai menteri PPN/kepala Bappenas, dan Thomas Lembong sebagai menteri perdagangan.
Presiden juga mengangkat Pramono Anung sebagai sekretaris kabinet. Bongkar-pasang menteri atau yang sering dikenal dengan reshuffle kabinet tersebut dalam UUD Negara RI 1945 maupun UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara memang berada di bawah kewenangan presiden sepenuhnya sesuai dengan hak prerogatif yang dimilikinya.
Pasal 3 UU Kementerian Negara juga menegaskan bahwa kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Demikian juga pada Pasal 12 dan 13 UU Kementerian Negara ditegaskan bahwa kewenangan pembentukan kementerian, termasuk pengisian jabatan menteri, melekat pada kewenangan presiden yang menurut Pasal 4 UU Kementerian negara memegang kekuasaan pemerintahan.
Hal ini berimplikasi pada kewenangan yang terkait dengan pengelolaan struktur kementerian baik dalam arti pembentukan, pengubahan maupun penggabungan, termasuk pengisian jabatan menteri, sepenuhnya menjadi kewenangan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial.
Namun UU Kementerian juga mengharuskan adanya evaluasi kinerja, transparansi, dan akuntabilitas yang harus dilaksanakan oleh seorang presiden dalam mengelola kementerian yang dinisbahkan membantu presiden dalam menjalankan pemerintahan.
Bongkar- pasang menteri yang baru saja dilaksanakan Presiden sejatinya sudah merupakan sebuah condition sine qua non mengingat tuntutan publik yang meluas agar Presiden melakukan perombakan kabinet untuk memulihkan kepercayaan publik dan pasar.
Namun, jika melihat personalia yang dipergantikan oleh Presiden, hal itu belum memperlihatkan sebuah transparansi dan akuntabilitas yang memadai terhadap konsiderasi berdasarkan hasil evaluasi kinerja terhadap para menteri terkait. Seluruh menteri koordinator (menko) kecuali Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dirombak oleh Presiden.
Hal itu belum memperlihatkan adanya transparansi argumentasi atas rasionalitas dalam kebijakan bongkar-pasang menteri tersebut. Tidak cukup jelas juga alasan penggantian Menteri PPN/Kepala Bappenas mengingat tidak terlihat adanya argumentasi yang signifikan mengenai penggantian menteri tersebut.
Bahkan Bappenas kini sudah mampu menyelesaikan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagaimana dimandatkan Presiden untuk mengintegrasikan visi dan misi Presiden dan Wapres semasa kampanye ke dalam RPJMN 2015-2019.
Bappenas bahkan sudah mulai menyiapkan indeks penilaian pencapaian Nawacita oleh Kabinet Kerja untuk mengukur keberhasilan Kabinet Kerja dalam menopang visi dan misi Presiden yang dituangkan dalam Nawacita.
Di ranah Menteri PPN/Kepala Bappenas tersebut justru hanya dilakukan penggeseran dari menko bidang perekonomian (Sofyan Jalil) menjadi menteri PPN/ketua Bappenas menggantikan Andrinof Chaniago, juga dengan tanpa memperlihatkan pertimbangan yang jelas kepada publik mengapa justru di kementerian tersebut dilakukan penggantian? ***
Kewenangan untuk melakukan bongkar-pasang menteri memang secara konstitusional melekat pada kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh presiden selaku kepala eksekutif (the chief of executive ).
Namun hal itu tak boleh diartikan boleh digunakan sesukanya atau semau-maunya oleh presiden, apalagi jika motif politik lebih kental digunakan sebagai pertimbangan dibandingkan pertimbangan profesional maupun manajerial. Sejak awal Kabinet Kerja dibentuk memang sudah menimbulkan kekecewaan publik dan resistensi pasar.
Hal itu disebabkan tidak cukup jelasnya kriteria pemilihan para menteri dalam Kabinet Kerja berdasarkan prinsip the right man on the right place. Presiden lebih terlihat tunduk pada tekanan kuasa politik dibandingkan menggunakan pertimbangan rasional dalam pemilihan para menteri.
Jokowi tak lagi terlihat sigap dan tangguh seperti di saat menjadi wali kota Solo dan gubernur DKI di masa lalu. Atau, dengan kata lain, banyak pihak menilai Jokowi tidak terlihat tampil sebagaimana kepribadian dan karakter aslinya sebagai seorang pemimpin yang cekatan sebagaimana dikenal luas oleh publik sebelumnya yang mendorong publik memilihnya menjadi presiden semasa pilpres dengan jumlah persentase pemilih lebih dari 70% populasi pemilih Indonesia.
Sejak awal Jokowi terpilih, nilai tukar rupiah terhadap dolar terus mengalami keterpurukan dan bahkan puncaknya sempat mencapai angka kritis di harga lebih dari Rp13.500/USD. Hal ini di satu sisi mencerminkan sentimen negatif pasar terhadap pemerintahan terpilih. ***
Penggantian menteri yang hanya menyentuh level menko, tetapi tidak merata di semua menko, masih memperlihatkan belum mampu menyentuh level kebutuhan kebijakan teknis yang kini lebih diperlukan denganmelakukanperombakan pada menteri teknis.
Menteri Ristek dan Dikti yang lebih sibuk mengejar-ngejar ijazah palsu dan melupakan terjadinya krisis guru besar yang kian masif di berbagai perguruan tinggi akibat pengetatan kenaikan pangkat guru besar secara irasional di era Mendikbud pemerintahan SBY tak dipikirkan secara serius.
Perguruan tinggi nyaris masih mati suri dalam menunjukkan peran sosial yang berarti untuk menopang berbagai kebijakan pemerintahan. Dosendosen lebih disibukkan urusan administratif untuk mengejar dana sertifikasi dosen dibandingkan melaksanakan tridarma perguruan tinggi secara memadai.
Menristek Dikti kini harus bersiap menghadapi ”bom waktu” krisis guru besar yang akan menyebabkan peringkat akademik perguruan tinggi menurun. Menteri-menteri yang selama ini lebih sering menimbulkan kegaduhan juga tak tersentuh oleh kebijakan bongkar-pasang menteri presiden.
Cukup banyak pemain bola profesional yang telah beralih profesi menjadi penjaga malam, tukang ”odong-odong” dan sejenisnya karena dunia persepakbolaan nasional telah sekarat akibat kebijakan pembekuan PSSI oleh Menpora. KPU hingga kini terus dihantui konflik internal partai sebagai dampak kebijakan Menkumham RI yang mengintervensi konflik internal partai.
Di ranah ekonomi, rakyat masih terus dihantui kenaikan harga BBM yang bisa terjadi setiap saat tanpa rasionalitas yang jelas di setiap pergantian harga. Publik tentu berharap adanya kebijakan bongkar-pasang menteri yang didasarkan atas pertimbangan- pertimbangan yang lebih holistik dan komprehensif untuk mengembalikan kepercayaan publik dan pasar. Negeri ini bisa kian terpuruk dan menjadi negara yang gagal jika kepemimpinan nasional tak mampu lagi memimpin penyelenggaraan pemerintahan dengan baik.
Kita ingat ada salah satu janji dalam Nawacita untuk menghadirkan kembali negara guna melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara melalui pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang tepercaya, dan pembangunan pertahanan negara trimatra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Masih ada 8 elemen Nawacita lain yang menunggu dipenuhi oleh Kabinet Kerja selepas bongkar-pasang menteri saat ini. Selamat bekerja menteri-menteri baru, rakyat menunggukucurankesejahteraan dari tangan negara!
DR W RIAWAN TJANDRA, SH, MHUM
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
(ftr)