Perombakan Kabinet Adem Ayem
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected] Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
Di dalam masyarakat kalangan bawah, yaitu di suatu gardu hansip yang dibangun secara swadaya oleh para warga setempat di sebidang lahan kosong di tengah-tengah perumahan penduduk yang padat, ada dialog politik yang menggelikan.
Dialog itu menyangkut isu politik paling hangat, paling penting, dan paling sensitif kemarin malam, dan hanya sampai kemarin malam. Tetapi, setiap saat dialog itu selalu menimbulkan senda gurau dan tawa meriah yang sungguh menghibur hati mereka.
Tapi, ini bukan sekadar sebuah gurauan. Di dalam gurauan itu terdapat tanda-tanda yang nyata dan jelas bahwa orangorang di gardu hansip itu diamdiammemilikisikapkritis, tetapi juga skeptis menghadapi persoalan politik negerinya sendiri. *** ”Purnomo Anung akhirnya jadi menteri ya?” orang pertama membuka dialog tersebut.
”Pramonokali, bukanPurnomo. Kapan namanya diganti?” jawab orang kedua di gardu tersebut. ”Oh, sekarang namanya masih Pramono to?”. Jawab orang pertama tadi, tak mau mengakui kesalahannya. Kawankawannya tahu bahwa setiap kali orang ini selalu keliru menyebut nama orang. Tapi, mereka tahu keliru menyebut nama orang bukan suatu tindak pidana.
Selebihnya kesalahan macam itu hanya menimbulkan gelak tawa yang meriah menjelang tengah malam. ”Iya, kata orang, seharusnya dia sudah masuk kabinet sejak semula,” kata orang ketiga. ”Kok kamu tahu?” tanya orang pertama. ”Kata media begitu,” jawab orang ketiga. ”Kata media belum tentu benar,” jawab orang keempat yang sejak tadi diam saja.
”Mana aku tahu. Yang penting bukan kata aku karena aku bukan saudaranya, bukan temannya,” respons orang ketiga. ”Jelaslah. Mana mungkin kamu saudara orang penting seperti itu. Kawan pun mustahil. Masa kamu kawan seorang menteri,” orang kedua bicara lagi. ”Tapi, Jokowi hebat. Dia mengatur negeri ini dengan kalem,” kata orang ketiga lagi.
”O, hebat to dia?” kata orang pertama tadi. ”Lha menurut kamu bagaimana? Apa orang begitu tidak hebat?” Tanya orang ketiga, dengan nada menantang. ”Aku tidak tahu apa dia hebat apa jelek,” jawab orang pertama lagi. ”Kamu ini bagaimana toh? Merombak kabinet dengan baik, tanpa protes tanpa gejolak itu tanda orang hebat bukan? Biasanya orang ribut. Mungkin masyarakat resah. Tapi ini tidak. Keadaan adem ayem saja.
Pasti Jokowi itu mempunyai jimat yang mampu membungkam orang banyak supaya kebijakannya berjalan mulus,” kata orang ketiga lagi. ”Oh, aku tahu itu tidak begitu hebat,” komentar orang pertama lagi. ”Yang hebat seperti apa?” tanya orang ketiga lagi. ”Aku tidak tahu. Tanyalah para pengamat politik itu. Mereka pasti tahu,” tukas orang pertama.
”Kita juga tahu,” kata orang ketiga. ”Ya. Tapi aku akan tahu nanti. Kalau kebijakannya membuat hidup kita lebih enak, dia akan kusebut hebat. Tapi aku tidak yakin. Kabinet boleh dirombak seratus kali, tapi aku yakin perombakan itu tak akan memengaruhi nasib kita,” kata orang pertama. ”Nah, benar itu. Benar sekali. Kau yang hebat, bukan Jokowi,” kata orang kedua.
”Benar. Aku suka kata-katamu. Kabinet boleh dirombak seratus kali, tapi perombakan itu tak mengubah nasib kita. Memang. Memang benar,” tambah orang kedua. Sesaat suasana di dalam gardu hansip itu sunyi senyap.
Semua diam. Semua terpukau oleh pernyataan kritis itu. ”Kemampuan menyihir massa sehingga suasana politik adem ayem itu bukan kehebatan?” kata orang ketiga lagi. ”Adem ayem itu hebat juga. Tapi untuk apakah adem ayem itu?” kata orang pertama. ”Adem ayem hanya demi adem ayem itu sendiri apa gunanya?” Orang kedua memotong pembicaraan tadi. ”Politik adem ayem harus ada manfaatnya bagi kita yang tak pernah kebagian apaapa,” tambahnya.
Orang ketiga mulai terpengaruh. Orang keempat sudah paham sejak tadi, tapi dia cenderung mendengarkan. ”Aku tahu siapa pendukung Jokowi siapa anti-Jokowi di sini” kata orang keempat. Suasana berubah menjadi lebih hiruk-pikuk. Memang ada yang mendukung Jokowi ada yang tidak. Tapi, itu sudah lewat. ”Yang lewat biarkan lewat,” kata orang keempat. ”Ya. Benar. Itu juga hebat. Yang lewat biarkan lewat.
Hebat kau,” tanggap orang pertama. Suasana di gardu hansip adem ayem. Inibukanademayembiasa. ”Adem ayem di sini tidak sama dengan adem ayem politik pemerintahan,” sebut orang pertama. Mereka tertawa bersama. Mungkin tertawa setengah menangis memikirkan nasib mereka sendiri. *** Dialog di gardu hansip itu memang gambaran sikap sebagian warga masyarakat kita.
Saya tak punya data hasil penelitian apakah itu bagian terbesar di dalam masyarakat atau bagian terkecil. Sesudah Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinet barunya dengan aman dan tenteram, orang bilang ini merupakan kebijakan penting yang tak menimbulkan guncangan politik. Presiden memang bermain dengan sebaikbaiknya, seanggun-anggunnya.
Perhitungan politik yang begitu cermat dan hati-hati merupakan landasan pokok kebijakan perombakan ini. Tidak ada persoalan sensitif yang tergores. Stabilitas politik terjaga dengan baik. Ya, memang begitu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dulu merupakan pendukung utamanya, kelihatannya bersukacita karena orangorangnya di dalam kabinet bukan hanya tak dikutik-kutik sama sekali, melainkan malah ditambah satu nama baru, yang selama ini duduk manis di kursi cadangan.
Menteri lain, orang dekat dan merupakan sejenis ‘abdi kinasih’, mungkin tangan kanan Wapres Kalla memang dicopot. Tapi, namanya juga tangan kanan, dia dicopot untuk diberi tempat lain yang tak mengurangi sama sekali rasa bangganya sebagai pribadi maupun sebagai menteri. Kenapa harus susah-susah. Hidupinisudahsusah. Jadi, baiksekali kalau tidak usah dibikin menjadi lebih susah. Kabinet yang dirombak ya rombak saja.
Kenapa mereka dulu diangkat jadi menteri atau diberi jabatan setingkat menteri? Apa dulu ”track-record” mereka meyakinkan dan sekarang tidak? Apa mereka dulu kelihatannya hebat dan bisa kerja cekatan, tapi ternyata tidak? Sebenarnya ihwal seperti itu bias ”diraba” dengan baik sejak dulu. Masih ada yang seharusnya juga diganti.
Mungkin dengan alasan kinerja, mungkin dengan alasan sikap politiknya, atau komitmen kebangsaannya yang lemah. Ihwal seperti ini juga bisa dilihat dari jauh dengan baik. Perombakan kabinet ini memang adem ayem. Ini tak menyentuh perkara yang sungguh mendasar. Jadi, apa yang adem ayem ini hanya tata cara dan tata kramanya. Inilah tata krama orang Solo yang lembut dan bijaksana. Kelembutan memang punya pesona.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected] Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas
Di dalam masyarakat kalangan bawah, yaitu di suatu gardu hansip yang dibangun secara swadaya oleh para warga setempat di sebidang lahan kosong di tengah-tengah perumahan penduduk yang padat, ada dialog politik yang menggelikan.
Dialog itu menyangkut isu politik paling hangat, paling penting, dan paling sensitif kemarin malam, dan hanya sampai kemarin malam. Tetapi, setiap saat dialog itu selalu menimbulkan senda gurau dan tawa meriah yang sungguh menghibur hati mereka.
Tapi, ini bukan sekadar sebuah gurauan. Di dalam gurauan itu terdapat tanda-tanda yang nyata dan jelas bahwa orangorang di gardu hansip itu diamdiammemilikisikapkritis, tetapi juga skeptis menghadapi persoalan politik negerinya sendiri. *** ”Purnomo Anung akhirnya jadi menteri ya?” orang pertama membuka dialog tersebut.
”Pramonokali, bukanPurnomo. Kapan namanya diganti?” jawab orang kedua di gardu tersebut. ”Oh, sekarang namanya masih Pramono to?”. Jawab orang pertama tadi, tak mau mengakui kesalahannya. Kawankawannya tahu bahwa setiap kali orang ini selalu keliru menyebut nama orang. Tapi, mereka tahu keliru menyebut nama orang bukan suatu tindak pidana.
Selebihnya kesalahan macam itu hanya menimbulkan gelak tawa yang meriah menjelang tengah malam. ”Iya, kata orang, seharusnya dia sudah masuk kabinet sejak semula,” kata orang ketiga. ”Kok kamu tahu?” tanya orang pertama. ”Kata media begitu,” jawab orang ketiga. ”Kata media belum tentu benar,” jawab orang keempat yang sejak tadi diam saja.
”Mana aku tahu. Yang penting bukan kata aku karena aku bukan saudaranya, bukan temannya,” respons orang ketiga. ”Jelaslah. Mana mungkin kamu saudara orang penting seperti itu. Kawan pun mustahil. Masa kamu kawan seorang menteri,” orang kedua bicara lagi. ”Tapi, Jokowi hebat. Dia mengatur negeri ini dengan kalem,” kata orang ketiga lagi.
”O, hebat to dia?” kata orang pertama tadi. ”Lha menurut kamu bagaimana? Apa orang begitu tidak hebat?” Tanya orang ketiga, dengan nada menantang. ”Aku tidak tahu apa dia hebat apa jelek,” jawab orang pertama lagi. ”Kamu ini bagaimana toh? Merombak kabinet dengan baik, tanpa protes tanpa gejolak itu tanda orang hebat bukan? Biasanya orang ribut. Mungkin masyarakat resah. Tapi ini tidak. Keadaan adem ayem saja.
Pasti Jokowi itu mempunyai jimat yang mampu membungkam orang banyak supaya kebijakannya berjalan mulus,” kata orang ketiga lagi. ”Oh, aku tahu itu tidak begitu hebat,” komentar orang pertama lagi. ”Yang hebat seperti apa?” tanya orang ketiga lagi. ”Aku tidak tahu. Tanyalah para pengamat politik itu. Mereka pasti tahu,” tukas orang pertama.
”Kita juga tahu,” kata orang ketiga. ”Ya. Tapi aku akan tahu nanti. Kalau kebijakannya membuat hidup kita lebih enak, dia akan kusebut hebat. Tapi aku tidak yakin. Kabinet boleh dirombak seratus kali, tapi aku yakin perombakan itu tak akan memengaruhi nasib kita,” kata orang pertama. ”Nah, benar itu. Benar sekali. Kau yang hebat, bukan Jokowi,” kata orang kedua.
”Benar. Aku suka kata-katamu. Kabinet boleh dirombak seratus kali, tapi perombakan itu tak mengubah nasib kita. Memang. Memang benar,” tambah orang kedua. Sesaat suasana di dalam gardu hansip itu sunyi senyap.
Semua diam. Semua terpukau oleh pernyataan kritis itu. ”Kemampuan menyihir massa sehingga suasana politik adem ayem itu bukan kehebatan?” kata orang ketiga lagi. ”Adem ayem itu hebat juga. Tapi untuk apakah adem ayem itu?” kata orang pertama. ”Adem ayem hanya demi adem ayem itu sendiri apa gunanya?” Orang kedua memotong pembicaraan tadi. ”Politik adem ayem harus ada manfaatnya bagi kita yang tak pernah kebagian apaapa,” tambahnya.
Orang ketiga mulai terpengaruh. Orang keempat sudah paham sejak tadi, tapi dia cenderung mendengarkan. ”Aku tahu siapa pendukung Jokowi siapa anti-Jokowi di sini” kata orang keempat. Suasana berubah menjadi lebih hiruk-pikuk. Memang ada yang mendukung Jokowi ada yang tidak. Tapi, itu sudah lewat. ”Yang lewat biarkan lewat,” kata orang keempat. ”Ya. Benar. Itu juga hebat. Yang lewat biarkan lewat.
Hebat kau,” tanggap orang pertama. Suasana di gardu hansip adem ayem. Inibukanademayembiasa. ”Adem ayem di sini tidak sama dengan adem ayem politik pemerintahan,” sebut orang pertama. Mereka tertawa bersama. Mungkin tertawa setengah menangis memikirkan nasib mereka sendiri. *** Dialog di gardu hansip itu memang gambaran sikap sebagian warga masyarakat kita.
Saya tak punya data hasil penelitian apakah itu bagian terbesar di dalam masyarakat atau bagian terkecil. Sesudah Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinet barunya dengan aman dan tenteram, orang bilang ini merupakan kebijakan penting yang tak menimbulkan guncangan politik. Presiden memang bermain dengan sebaikbaiknya, seanggun-anggunnya.
Perhitungan politik yang begitu cermat dan hati-hati merupakan landasan pokok kebijakan perombakan ini. Tidak ada persoalan sensitif yang tergores. Stabilitas politik terjaga dengan baik. Ya, memang begitu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dulu merupakan pendukung utamanya, kelihatannya bersukacita karena orangorangnya di dalam kabinet bukan hanya tak dikutik-kutik sama sekali, melainkan malah ditambah satu nama baru, yang selama ini duduk manis di kursi cadangan.
Menteri lain, orang dekat dan merupakan sejenis ‘abdi kinasih’, mungkin tangan kanan Wapres Kalla memang dicopot. Tapi, namanya juga tangan kanan, dia dicopot untuk diberi tempat lain yang tak mengurangi sama sekali rasa bangganya sebagai pribadi maupun sebagai menteri. Kenapa harus susah-susah. Hidupinisudahsusah. Jadi, baiksekali kalau tidak usah dibikin menjadi lebih susah. Kabinet yang dirombak ya rombak saja.
Kenapa mereka dulu diangkat jadi menteri atau diberi jabatan setingkat menteri? Apa dulu ”track-record” mereka meyakinkan dan sekarang tidak? Apa mereka dulu kelihatannya hebat dan bisa kerja cekatan, tapi ternyata tidak? Sebenarnya ihwal seperti itu bias ”diraba” dengan baik sejak dulu. Masih ada yang seharusnya juga diganti.
Mungkin dengan alasan kinerja, mungkin dengan alasan sikap politiknya, atau komitmen kebangsaannya yang lemah. Ihwal seperti ini juga bisa dilihat dari jauh dengan baik. Perombakan kabinet ini memang adem ayem. Ini tak menyentuh perkara yang sungguh mendasar. Jadi, apa yang adem ayem ini hanya tata cara dan tata kramanya. Inilah tata krama orang Solo yang lembut dan bijaksana. Kelembutan memang punya pesona.
(bbg)