Mengapa Harga Daging Melonjak?

Selasa, 11 Agustus 2015 - 09:28 WIB
Mengapa Harga Daging Melonjak?
Mengapa Harga Daging Melonjak?
A A A
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Anomali kembali terjadi pada pasar daging sapi. Pola pergerakan harga daging selama berpuluh-puluh tahun mengikuti siklus ini: tinggi saat Idul Fitri, kemudian turun, dan harga naik kembali menjelang Idul Adha, lalu turun lagi.

Pola umum itu tidak terjadi. Setelah Idul Fitri, harga daging justru melonjak tinggi, Rp130.000/kg, jauh di atas harga saat Idul Fitri (Rp120.000/ kg). Karena konsumen sepi, pedagang mogok jualan. Mengapa harga daging sapi kembali melonjak? Menurut pihak Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia, harga daging kembali naik mengikuti hukum pasokanpermintaan.

Menurut hitunghitungan Asosiasi, kebutuhan impor sapi kuartal III 2015 sebesar 250.000 ekor. Namun, pemerintah hanya mengeluarkan izin 50.000 ekor untuk Bulog. Menurut kalkulasi pemerintah, jumlah 50.000 sudah cukup.

Pemerintah mengatur kuota impor sapi sembari menggenjot produksi domestik untuk mencapai swasembada. Saya menduga, para importir sapi dan daging bersatu melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Tak mudah membuktikan, tapi indikasinya kuat. Ketika para pelaku usaha diberi kuota impor daging (2012), di antara mereka bersaing mendapatkan kuota terbanyak.

Segala cara ditempuh, termasuk cara culas, agar dapat kuota besar dan meraup untung. Ini terbukti dengan dihukumnya sejumlah pihak dalam permainan kuota impor daging. Saat pemerintah turun tangan menurunkan harga daging dengan menunjuk Bulog sebagai importir, para importir dan produsen merapatkan barisan melawan pemerintah.

Perlawanan dilakukan dengan menahan sapi bakalan impor yang telah dibesarkan. Perlawanan serupa dilakukan pengusaha penggemukan sapi yang membeli sapi bakalan dari peternak lokal. Tak lama lagi, Idul Adha akan dijelang.

Peluang pasar saat Idul Adha tentu tidak disia- siakan. Mereka mengerem pelepasan sapi untuk dipotong, sehingga harga daging tetap tinggi. Mumpungadakesempatan mengeruk untung besar, mengapa tak dilakukan? Pedagang daging yang berhadapan langsung dengan konsumen menjerit. Takadapilihan, merekapun mogok jualan. Konsumen daging sapi lebih sengsara.

Boleh jadi hitung-hitungan kebutuhan sapi impor oleh pemerintah salah. Preseden sudah ada. Yakin populasi sapi yang mencapai 14,8 juta ekor (2011) cukup memenuhi kebutuhan domestik, secara bertahap pemerintah memangkas impor. Kuota impor daging dipangkas: semula 35% dari kebutuhan domestik pada 2011, dipangkas jadi 15,5% pada 2012, dan tinggal 13,4% tahun 2013.

Pemotongan kuota impor sama artinya memangkas kue ekonomi para importir dan pebisnis daging. Importir melawan dengan menahan harga pada tingkat tinggi. Pemerintah lantas menunjuk Bulog sebagai importir daging. Juga mengerahkan pemotongan sapi domestik. Namun harga daging tak juga turun.

Belakangan diketahui telah terjadi pengurasan populasi sapi. Sensus Pertanian 2013 oleh BPS menyimpulkan, populasi sapi turun 19% dari data yang dirilis pada 2011. Pemangkasan impor membuat banyak sapi dipotong, bahkan betina produktif juga dipotong karena ada insentif harga yang tinggi. Padahal, menurut UU Peternakan dan Kesehatan Hewan pemotongan betina produktif dilarang.

Dugaan saya, pemerintah telah belajar banyak dari salah kalkulasi itu. Karenanya, kalaupun ada peluang pemerintah kembali salah menghitung, sepertinya kebutuhannya tidak sebesar kalkulasi importir. Ke depan, agar masalah semacam ini tidak kembali terulang, pemerintah harus menghitung cermat rasio impor daging dan sapi secara berkala.

Impor sapi dan daging dikurangi perlahan dengan mempertimbangkan jumlah indukan sapi yang ada. Dengan cara itu, impor tetap terkendali tanpa merugikan peternak kecil domestik. Pada saat yang sama, cita-cita swasembada daging tetap berada pada rel yang benar. Konsistensi pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara impor dan produksi domestik menjadi ujian besar.

Aparat penegak hukum harus turun ke lapangan dan menginvestigasi para aktor yang mempermainkan harga daging. Jika terbukti, mereka harus diseret ke meja hijau dan diberi sanksi setimpal. UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan memberikan wewenang penuh pada pemerintah untuk menindak perilaku culas, seperti manipulasi informasi dan penimbunan persediaan bahan pokok (Pasal 30 dan Pasal 29 ayat 1).

Bahkan, menghukum perilaku itu dengan pidana berat: penjara lima tahun atau denda Rp50 miliar bagi penimbun, dan penjara empat tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan bahan kebutuhan pokok.

Di UU Nomor 18/ 2012 tentang Pangan, sanksinya lebih keras: penimbun bisa dipidana penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar (Pasal 133). Kalau mereka bisa diseret ke meja hijau akan ada efek jera. Saat ini defisit induk sapi Indonesia sekitar 1,3 juta ekor.

Ini yang seharusnya diupayakan pemerintah dan dicarikan solusinya: apakah diimpor atau mengembangkan indukan berbasis sejumlah breed lokal unggul? Cara pertama sifatnya instan dan hanya cocok untuk solusi jangka pendek. Dalam jangka panjang, cara kedua merupakan pilihan terbaik.

Namun, untuk bisa mengembangkan model breeding modern sejumlah syarat harus dipenuhi, yakni tersedianya sejumlah infrastruktur peternakan modern mulai dari industri pakan, pembesaran, pemotongan, cold storage untuk pelayuan hingga distribusi. Indonesia punya potensi untuk swasembada daging sapi.

Setidaknya ada tiga alasan. Pertama , Indonesia memiliki sejumlah breed lokal unggul, salah satunya sapi bali. Dibandingkan breed lain, sapi bali cepat berkembang, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan, kemampuan beradaptasi di lingkungan baru, dan beranak setahun sekali. Kedua, Indonesia kaya sumber pakan ruminansia.

Ketersediaan pakan amat menentukan kontinuitas usaha peternakan. Bukan hanya banyak, sumber pakan bervariasi: limbah pertanian, limbah industri pertanian, budi daya hijauan pakan, dan padang gembalaan. Ketiga , Indonesia pasar yang amat besar.

Dengan penduduk 250 juta jiwa dan pertumbuhan 1,49% per tahun, Indonesia pasar yang amat menggiurkan. Negara-negara eksportir daging dan sapi, seperti Australia dan Selandia Baru, pasti tidak ingin Indonesia swasembada.

Kalau Indonesia swasembada mereka kehilangan pasar. Kapitalisasi dan ekonomi yang digerakkan oleh daging nilainya lebih dari Rp40 triliun. Akankah kita menyerahkan pasar ini kepada pihaklain, sementarapotensiswasembada amat besar?
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4872 seconds (0.1#10.140)