Calon Tunggal, Orang Kuat & Negosiasi Partai

Senin, 10 Agustus 2015 - 13:01 WIB
Calon Tunggal, Orang...
Calon Tunggal, Orang Kuat & Negosiasi Partai
A A A
Munculnya fenomena calon tunggal dalam pilkada serentak ini adalah cerminan mundurnya demokrasi lokal. Bergulirnya calon tinggal tersebut tidak terlepas dari proses negosiasi politik yang dilakukan oleh para partai politik lokal untuk meminimalisasi biaya politik pilkada.

Biaya kandidasi menjadi kepala daerah baik itu di tingkat kabupaten/kota maupun tingkatprovinsikinisudahmencapai Rp500 juta-1 miliar. Nominal tersebut belum estimasi tetap dikarenakan akan banyak lagi kebutuhan biaya politik yang perlu diselesaikan.

Adanya fakta tersebut kian menegaskan bahwa arena suksesi kekuasaan lokal sejatinya adalah milik para elite yang berkuasa. Para elite di daerah adalah koalisi oligarkis antara birokrasi, borjuasi, dan juga tokoh masyarakat yang menggunakan saluran patrimonialisme dalam meraih dukungan publik secara masif.

Kajian Aspinall dan Sukmajati (2015) menjelaskan patrimonialisme itu bisa eksis karena mutualisme kepentingan dua arah yang sinergis antara kandidat dengan publik melalui skema politik uang. Bagi kandidat, uang merupakan mekanisme penting dalam membentuk karisma dan menuai kuasa.

Sedangkan bagi publik, uang merupakan motivasi utama mereka untuk ikut mencontreng suara dalam pilkada. Kedua hal tersebut menandakan bahwa praktik politik uang di daerah sendiri memang suatu keniscayaan dalam konteks politik lokal.

Fakta tersebut kemudian menegaskan bahwa hanya figur yang memiliki dan mengontrol sumber daya lebih yang bisa maju dan menang sebagai eksekutif lokal. Implikasinya hal itu bisa memunculkan adanya bibit-bibit politik dinasti di daerah. Munculnya intensitas calon tunggal berkembang menjadi politik dinasti itu memang dimungkinkan karena keinginan kekuasaan beranakpinak (power begets power) itu selalu ada.

Dengan kata lain, calon tunggal adalah orang kuat (local strongmen) daerah akan senantiasa menaruh keluarga sebagai preferensi politiknya dalam suksesi kepemimpinannya.

Kuatnya figur sebagai calon tunggal juga didukung dengan kemampuan negosiasi politik yang dilakukan terhadap lawan politiknya. Oleh karena itulah kekuasaan calon tunggal kemudian berjejaring hingga ke aras akar rumput.

Konteks politik lokal Indonesia sendiri pada dasarnya menekankan prinsip harmonisme terbatas. Kompetisi sengit dalam pilkada kemudian diakhiri dengan pembagian kursi antar koalisi dan oposisi sehingga pemerintahan lokal kemudian berjalan mulus tanpa ada tekanan sama sekali.

Adanya harmonisasi itulah yang kemudian mengultuskan hegemoni orang kuat sebagai calon tunggal. Gejala ”monarki kecil” di daerah sebenarnya sudah diprediksi sejak awal oleh Sulistyono (2001), Agustino (2000) maupun Kaho (2013) yang melihat bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang terlalu prosedural tidak berbanding lurus terhadap pendalaman demokrasi secara substansial.

Proses pendalaman demokrasi di tingkat lokal baru pada level penguatan institusionalisasi masyarakat sipil daerah. Namun munculnya organisasi masyarakat sipil itu belum berarti banyak dalam memainkan perannya sebagai agen kepentingan publik dalam suksesi.

Kemudian organisasi masyarakat sipil itu malah justru bertindak partisan dengan mendukung kandidat tertentu. Implikasinya, publik daerah hanya mengerti pemilu itu hanya mencontreng dan tidak mengerti lebih dari itu sebagai ajang artikulasi dan ajudikasi kepentingan politis.

Koalisi partai politik dalam mendukung calon tunggal sejatinya juga bagian dari proses negosiasi politis untuk mengakali perundang-undangan. UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilu Kepala Daerah yang mempersyaratkan 20% kursi di DPRD atau 25 perolehan suara persen kursi menjadi syarat mencalonkan kepala daerah. Semakin beratnya ambang batas yang harus dipenuhi, kemudian semakin mengerucutkan pada pemilihan kandidat yang benar-benar potensial dan besar elektabilitasnya untuk dipilih.

Ketentuan tersebut melahirkan adanya kartel politik lokal di daerah yang mendorong adanya pencalonan tunggal kandidat. Partai tentu tidak ingin berspekulasi memilih kucing dalam karung dalam menentukan calon kandidat.

Pertimbangan populisme, kharismatik, dan juga memiliki kemampuan materi cukup adalah pertimbangan utama. Orang kuat dan kemampuan negosiasi politis yang ulung merupakan modal penting dalam memunculkan orang kuat sebagai calon kuat kepala daerah.

Maka, partai politik kemudian hanya menjadi free rider dalam konteks pilkada ini. *** Publik sebagai pemegang mandat atas suksesi kepemimpinan daerah kemudian dibatasi partisipasinya untuk kemudian disugesti untuk memilih calon tunggal baik secara langsung maupun tidak langsung.

Keterbatasan pilihan terhadap figur menandakan bahwa perlu adanya revisi terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, dengan munculnya calon tunggal dalam pilkada serentak menjadikan daerah itu tidak sepenuhnya otonom dari Jakarta.

Malah sebaliknya, kontestasi antarelite pusat kemudian bercabang hingga ke ranah daerah untuk menjadi daerah satelit politiknya. Kedua, esensi dibentuknya UU No 8 Tahun 2015 untuk membatasi politik dinasti, malah justru menguatkan politik figur.

Ketiga, rumusan suksesi pilkada masih dimaknai secara normatif hanya menyebutkan prosedural, namun tidak menjelaskan proses teknis kandidasi secara sosiologis. Maka munculnya calon tunggal menandakan bahwa misi pendalaman demokrasi dalam otonomi daerah sendiri belum selesai dilaksanakan.

Penekanan terhadap aspek prosedural dalam implementasi demokrasi lokal justru semakin menciptakan celah untuk terbentuknya pemerintah oligarkis.

Wasisto Raharjo Jati
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0750 seconds (0.1#10.140)