Hentikan Polemik KAC
A
A
A
Bisakah niat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadikan proyek kereta api cepat (KAC) atau high speed railway rute Jakarta-Bandung sebagai kado ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-70 terwujud?
Sangat tergantung pada sikap Presiden yang akan memilih investor mana yang dikehendaki menangani proyek transportasi modern dan canggih itu. Dua calon investor, yakni Jepang dan China, bersaing ketat memperebutkan proyek senilai USD67 juta itu. Yang menarik dicermati, “perang” atas kedua investor tersebut pun tak kalah seru terjadi di lingkungan istana Presiden.
Para pejabat yang berwenang terpecah dua, ada yang ngotot memihak ke investor China dan lainnya memilih investor Jepang. Ada baiknya kedua calon investor KAC itu bersaing ketat sehingga pemerintah bisa melihat kelebihan dan kekurangan masingmasing investor. Pemerintah tinggal memilih investor mana yang lebih menguntungkan untuk negeri ini.
Namun, pemerintah sepertinya kesulitan menjatuhkan pilihan yang tepat. Sehubungan itu, kabarnya Presiden Jokowi akan memakai konsultan asing independen untuk mempelajari proposal kedua investor tersebut. Demi menjaga independensi, konsultan yang mendapat kepercayaan dari pemerintah akan dipilih dari negara yang tidak terafiliasi dengan China maupun Jepang.
Apakah dengan adanya konsultan asing independen persoalan pemilihan satu dari dua calon investor KAC bisa terpecahkan, sehingga groundbreaking proyek transportasi itu bisa dimulai tepat pada 17 Agustus nanti? Lagi-lagi tergantung pada sikap dan keputusan Presiden Jokowi. Namun, naga-naganya proses proyek KAC akan lebih panjang lagi sebab muncul wacana untuk membuka kesempatan masuknya investor baru.
Salah satu investor yang berpeluang bertarung dalam proyek KAC adalah Prancis yang sudah memiliki pengalaman cukup dan teruji dalam mengoperasikan kereta api cepat di Eropa. Pemerintah mengakui, sebagaimana ditegaskan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, penawaran China dan Jepang untuk KAC masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang kini sedang menjadi pertimbangan pemerintah.
Adapun terkait dengan skema pembiayaan, kedua negara mengajukan skema yang hampir senada alias mirip. Sementara, pihak Amerika Serikat (AS) menyatakan tidak akan terlibat langsung dalam pembangunan KAC. Negeri Paman Sam, seperti diungkapkan Duta Besar AS untuk Indonesia Robert O Blake, tidak memiliki pengalaman menangani kereta cepat seperti China, Jepang, dan Prancis.
Namun, pihak AS bersedia membantu penyediaan sarana dan prasarana seperti lokomotif. Bicara soal KAC, pengalaman Jepang dan China memang tak perlu diragukan. Kedua negara tersebut telah sukses menjadikan kereta cepat sebagai moda angkutan yang paling diminati masyarakat negara masing-masing.
Jepang terkenal dengan kereta cepat Shinkansen sedangkan kereta cepat China disebut China Railway High-speed (CRH). Barangkali karena pengalaman yang memadai kedua negara tersebut itulah yang membuat pemerintah bingung memilih. Misalnya, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi lebih memilih Jepang karena terbukti selama 50 tahun sukses mengelola Shinkansen, dilihat dari segala sudut mereka lebih unggul.
Sebaliknya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno lebih berpihak kepada investor China. Kini telah terbentuk konsorsium BUMN RI yang dipimpin PT Wijaya Karya Tbk dan konsorsium BUMN China yang diketuai China Railway untuk mewujudkan proyek KAC tersebut. Bahkan, pihak Wijaya Karya dan China Railway sedang melaksanakan proses studi kelayakan yang ditargetkan rampung pada bulan depan.
Terlepas dari “perang” antara China dan Jepang serta silang pendapat di kalangan pejabat Pemerintah Indonesia seputar siapa yang berhak menggarap proyek KAC, niat pemerintah mengikutsertakan industri strategis PT Industri Kereta Api (Inka) jangan sampai terabaikan. Siapa pun investor terpilih, porsi keterlibatan perusahaan dalam negeri baik swasta apalagi BUMN harus jelas. Dan, lebih penting lagi pemerintah segera menyudahi perdebatan secara terbuka soal pilihan investor penggarap KAC.
Sangat tergantung pada sikap Presiden yang akan memilih investor mana yang dikehendaki menangani proyek transportasi modern dan canggih itu. Dua calon investor, yakni Jepang dan China, bersaing ketat memperebutkan proyek senilai USD67 juta itu. Yang menarik dicermati, “perang” atas kedua investor tersebut pun tak kalah seru terjadi di lingkungan istana Presiden.
Para pejabat yang berwenang terpecah dua, ada yang ngotot memihak ke investor China dan lainnya memilih investor Jepang. Ada baiknya kedua calon investor KAC itu bersaing ketat sehingga pemerintah bisa melihat kelebihan dan kekurangan masingmasing investor. Pemerintah tinggal memilih investor mana yang lebih menguntungkan untuk negeri ini.
Namun, pemerintah sepertinya kesulitan menjatuhkan pilihan yang tepat. Sehubungan itu, kabarnya Presiden Jokowi akan memakai konsultan asing independen untuk mempelajari proposal kedua investor tersebut. Demi menjaga independensi, konsultan yang mendapat kepercayaan dari pemerintah akan dipilih dari negara yang tidak terafiliasi dengan China maupun Jepang.
Apakah dengan adanya konsultan asing independen persoalan pemilihan satu dari dua calon investor KAC bisa terpecahkan, sehingga groundbreaking proyek transportasi itu bisa dimulai tepat pada 17 Agustus nanti? Lagi-lagi tergantung pada sikap dan keputusan Presiden Jokowi. Namun, naga-naganya proses proyek KAC akan lebih panjang lagi sebab muncul wacana untuk membuka kesempatan masuknya investor baru.
Salah satu investor yang berpeluang bertarung dalam proyek KAC adalah Prancis yang sudah memiliki pengalaman cukup dan teruji dalam mengoperasikan kereta api cepat di Eropa. Pemerintah mengakui, sebagaimana ditegaskan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, penawaran China dan Jepang untuk KAC masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang kini sedang menjadi pertimbangan pemerintah.
Adapun terkait dengan skema pembiayaan, kedua negara mengajukan skema yang hampir senada alias mirip. Sementara, pihak Amerika Serikat (AS) menyatakan tidak akan terlibat langsung dalam pembangunan KAC. Negeri Paman Sam, seperti diungkapkan Duta Besar AS untuk Indonesia Robert O Blake, tidak memiliki pengalaman menangani kereta cepat seperti China, Jepang, dan Prancis.
Namun, pihak AS bersedia membantu penyediaan sarana dan prasarana seperti lokomotif. Bicara soal KAC, pengalaman Jepang dan China memang tak perlu diragukan. Kedua negara tersebut telah sukses menjadikan kereta cepat sebagai moda angkutan yang paling diminati masyarakat negara masing-masing.
Jepang terkenal dengan kereta cepat Shinkansen sedangkan kereta cepat China disebut China Railway High-speed (CRH). Barangkali karena pengalaman yang memadai kedua negara tersebut itulah yang membuat pemerintah bingung memilih. Misalnya, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi lebih memilih Jepang karena terbukti selama 50 tahun sukses mengelola Shinkansen, dilihat dari segala sudut mereka lebih unggul.
Sebaliknya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno lebih berpihak kepada investor China. Kini telah terbentuk konsorsium BUMN RI yang dipimpin PT Wijaya Karya Tbk dan konsorsium BUMN China yang diketuai China Railway untuk mewujudkan proyek KAC tersebut. Bahkan, pihak Wijaya Karya dan China Railway sedang melaksanakan proses studi kelayakan yang ditargetkan rampung pada bulan depan.
Terlepas dari “perang” antara China dan Jepang serta silang pendapat di kalangan pejabat Pemerintah Indonesia seputar siapa yang berhak menggarap proyek KAC, niat pemerintah mengikutsertakan industri strategis PT Industri Kereta Api (Inka) jangan sampai terabaikan. Siapa pun investor terpilih, porsi keterlibatan perusahaan dalam negeri baik swasta apalagi BUMN harus jelas. Dan, lebih penting lagi pemerintah segera menyudahi perdebatan secara terbuka soal pilihan investor penggarap KAC.
(bbg)