Berjihad Kembali ke Fitrah
A
A
A
Hajriyanto Y Thohari
Mantan Wakil Ketua MPR RI
Bulan Ramadan 1436 H akan pergi meninggalkan kita dan tanggal 1 Syawal 1436 H segera tiba. 1 Syawal adalah Idul Fitri.
Hari besar ini dinamakan hari raya Iedul Fitri, artinya hari fitrah, y akni hari raya kembalinya kita sekalian kaum muslimin kepada fitrah. Fitrah adalah ”kesucian yang asli” dan ”keaslian yang suci”. Sebab, menurut agama Islam, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci (kullu mauludin yuladu ala lfitrah) . Islam tidak mengenal dan menolak secara kategoris konsep dosa warisan atau turunan. Alih-alih Islam malah menganut prinsip tanggung jawab pribadi.
Ketika menafsirkan QS. al-Anam ayat 164 yang berbunyi ”Wa la taksibu kullu nafsin illa alaiha, wa la taziru waziratun wizra ukhra,” Abdullah Yusuf Ali dalam magnum opus -nya The Holy Quran: Text, Translation, and Commentery mengartikannya begini: ”Dan setiap perbuatan dosa seseorang hanya dirinya yang bertanggung jawab; seseorang yang memikul suatu beban tidak akan memikul beban orang lain”.
Walhasil, kita sendiri yang masing-masing bertanggung jawab penuh atas segala perbuatan kita: kita tidak boleh menggeser segala akibatnya kepada orang lain. Juga tak seorang pun boleh menggantikan kita dalam menebus dosa kita.
Konsep keimanan seperti ini melahirkan pandangan yang positif dan optimis tentang manusia, yaitu bahwa manusia itu pada sejatinya adalah makhluk yang baik dan suci. Ia dibekali oleh penciptanya dengan kemampuan dan bakat alami untuk mengenali sendiri manamana yang baik dan benar yang akan mendekatkan dirinya pada kebaikan dan kebenaran, dan mana-mana yang buruk dan salah yang bakal menjauhkannya dari kebenaran.
Kemampuan dan bakat alami anugerah Tuhan itulah yang disebut dengan fitrah. Fitrah dengan demikian menghasilkan pandangan yang optimis dan positif tentang manusia. Namun, kendatipun senantiasa cenderung pada kebaikan dan kesucian sebagai fitrahnya, manusia adalah makhluk yang lemah atau dhaif (lihat QS. Annisa: 28) sehingga mudah tergoda untuk berbuat salah dan keliru karena terlena pada kesenangan-kesenangan duniawi yang berdimensi jangka pendek (dunia itu berasal dari kata bahasa Arab ”dana-yadnudunya” yang artinya dekat atau pendek).
Kesalahan dan kekhilafan akibat mengabaikan tujuan utama untuk meraih kebahagiaan yang berdimensi jangka panjang itu mengakibatkan manusia menjadi tidak sabaran dan keburu nafsu, ingin segala sesuatunya tercapai seketika secepat mungkin, secara instan, dan cenderung melupakan proses. Inilah hakikat ketersesatan dan dosa manusia itu.
Maka setelah kita melaksanakan ibadah puasa dengan segala rangkaian ibadah di dalam bulan suci Ramadan yang penuh kasih sayang (rahmah) dan ampunan (maghfirah) itu, kita insya Allah kembali kepada fitrah, atau ”kesucian yang asli” dan ”keaslian yang suci” itu tadi. Setelah kita melalui bulan Ramadan, bulan shiyam, yang artinya kurang lebih bulan pembakaran dosa-dosa (yakni bulan purgatorio), kita mengalami semacam daur ulang (recycling), yaitu kembali suci sebagaimana fitrah kita semula, persis seperti ketika kita dilahirkan oleh ibu kita (kama waladathu ummuhu) .
Bersyukur, Berterima Kasih
Untuk itulah maka pada hari-hari menjelang Idul Fitri seperti sekarang ini kita harus memperbanyak syukur karena mendapatkan kesempatan bersua dengan bulan Ramadan, bahkan dapat mengakhiri ibadah puasa dengan baik, jiwa dan pikiran tidak bercabang (khusyu), dan penuh ketenangan dan kehatihatian (tumaninah).
Kita berkesempatan untuk dapat mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada Allah Subhanahu wa taala, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Mendekat atau taqarrub kepada Allah berarti mendekat kepada agama Islam. Allah Subhanahu wa taala menurunkan Islam adalah sebagai bukti kasih- Nya kepada umat manusia dan seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Sebab, tanpa agama orang tidak akan mengetahui mana jalan kehidupan yang benar.
Tanpa agama orang tidak akan mengerti sangkan paraning dumadi, tidak akan mengerti letak dan kedudukannya di tengah-tengah sistem alam raya yang maha luas dan maha dahsyat ini. Oleh karenanya tanpa agama orang akan mudah menjadi adigang, adigung, adigono, sopo siro sopo ingsun. Sikap takabur ini timbul disebabkan oleh karena ketidakmengertian manusia mengenai siapa dirinya, dari mana datangnya, untuk apa dia ada, dan mau ke mana setelah keberadaannya di alam yang fana dan pendek (dunya : dekat) ini berakhir.
Sangat meyakinkan bahwa hanya dengan agama orang akan mengetahui sangkan paraning dumadi, karena ia menyadari bahwa ia datang dari Allah, untuk beribadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kelak akan kembali kepada-Nya pula (QS Al-Baqarah: 56). Dan juga firman-Nya: ”Kepada Allah lah engkau sedang berjalan” (QS An-Nur:52). Berjalan menuju Tuhan itu berarti ”pulang”.
Sebab Tuhan adalah, mengutip sebuah ungkapan dalam khazanah sufisme Jawa, Sangkan Paran paraning dumadi, yang artinya asal dan tujuan hidup, sebuah ungkapan yang tidak lain merupakan terjemahan yang hampir-hampir harfiah dari ayat Alquran inna lillahi wa inna ilaihi rojiun (kita semua berasal dari Allah dan kelak akan kembali kepada-Nya). Karena semuanya berasal dari Tuhan, ”semua orang ingin kembali kepada Tuhan”. Hidup ini adalah perjalanan ingin kembali.
Kembali ke asal. Kita semua ingin kembali pulang. Kalau seseorang tidak berhasil pulang, ia disebut tersesat. Dan ketersesatan itu tidak bisa ditebus. Meskipun ditampung di rumah yang lebih mewah dari rumahnya sendiri, ia tetap akan sengsara. Ia tetap ingin pulang. Tak aneh jika dalam bahasa Inggris ada ungkapan home sweet home, kediaman adalah rumah yang paling enak. Dalam bahasa Inggris tidak ada perkataan go house, tetapi go home, artinya pulang.
Rasulullah SAW memiliki ungkapan yang jauh lebih fundamental: bayti jannaty, rumahku adalah surgaku. Pulang adalah gejala psikologis, bukan fisik. Maka pulang adalah suatu pemenuhan hasrat untuk kembali ke asal. Setiap orang ingin kembali ke kampung, kembali ke keluarga. Semua proses kembali ini yang paling mutlak ialah kembali kepada Allah SWT.
Dimensinya spiritual. Anak kecil yang berhenti menangis karena berhasil didekap ibunya, lebih merupakan gejala psikologis semata. Tetapi kalau kita berhasil berada dalam dekapan Allah SWT, itu adalah pengalaman rohani yang jauh lebih dalam. Asal dari segala asal adalah Allah. Bagaimana dengan orangorang yang gagal pulang? Orang-orang ini dalam Alquran disebut dhallun, yang artinya orang-orang yang sesat.
”Sesat” di sini artinya orang yang tidak sanggup kembali ke asal. Dhallun adalah mereka yang tidak sanggup kembali kepada Allah karena tidak pernah mencoba membangun hubungan yang baik dengan Allah melalui ibadah dan zikir. Sebab salah satu unsur penting takwa adalah zikir, yang merupakan wujud keinginan kembali kepada Allah SWT.
Jalan yang Lurus
Seseorang yang memiliki kesadaran kosmik yang tinggi akan senantiasa menyadari bahwa ia sejatinya berada di tengah- tengah sebuah perjalanan menuju kepada-Nya, tanpa perlu mengalami rasa salah tempat (dislokasi), salah arah (disorientasi), dan rasa terasing (alienasi). Ia menyadari sedang berada di tengah-tengah perjalanan ke hadirat-Nya dalam suatu dimensi ruang dan waktu yang pendek sekali. Islam adalah jalan menuju Allah yang diturunkan oleh- Nya kepada semua para nabi- Nya, termasuk dan terutama Nabi-Nya yang terakhir.
Islam adalah jalan menuju ke hadirat- Nya dengan penuh salam, yakni penuh kesejahteraan, kedamaian, dan keselamatan. Untuk itu maka agama Islam sering dilukiskan dalam Alquran sebagai syariah, thariqat, sabil, dan shirat, yang kesemuanya berarti ”jalan”, yakni jalan yang benar menuju Tuhan. Allah berfirman: ”Dan mereka yang bersungguh- sungguh berjuang mengikuti jalan-Ku niscaya Aku akan menunjukkan jalan-jalan- Ku menuju kepada-Ku” (QS. Ankabut: 69).
Memberikan komentar atas ayat tersebut Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa ”jalan Allah ialah jalan yang lurus. Tetapi dari segala jurusan, manusia dapat menyimpang dari jalan itu. Dan jalan lain masih banyak yang dapat ia tempuh untuk kembali ke jalan yang benar: jalan asalnya sendiri dengan sifatnya yang bersih, serta kehendak dan rahmat Allah. Untuk itu, orang perlu melangkah.
Semua jalan itu terbuka buat dia asal saja dia mau membuka hati kepada Allah dan berusaha dengan sungguh-sungguh (berjihad) dengan segala daya, tenaga dan pikiran. Dengan itu, ia akan lepas dari jaringan laba-laba dunia yang rapuh itu, dan akan memperoleh surga kebahagiaan dalam memenuhi segala tujuannya yang benar”.
Semoga kita selalu berjihad untuk berada di dalam jalan- Nya yang lurus itu. Itulah al-Shirat al-mustaqim . Semoga!
Mantan Wakil Ketua MPR RI
Bulan Ramadan 1436 H akan pergi meninggalkan kita dan tanggal 1 Syawal 1436 H segera tiba. 1 Syawal adalah Idul Fitri.
Hari besar ini dinamakan hari raya Iedul Fitri, artinya hari fitrah, y akni hari raya kembalinya kita sekalian kaum muslimin kepada fitrah. Fitrah adalah ”kesucian yang asli” dan ”keaslian yang suci”. Sebab, menurut agama Islam, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci (kullu mauludin yuladu ala lfitrah) . Islam tidak mengenal dan menolak secara kategoris konsep dosa warisan atau turunan. Alih-alih Islam malah menganut prinsip tanggung jawab pribadi.
Ketika menafsirkan QS. al-Anam ayat 164 yang berbunyi ”Wa la taksibu kullu nafsin illa alaiha, wa la taziru waziratun wizra ukhra,” Abdullah Yusuf Ali dalam magnum opus -nya The Holy Quran: Text, Translation, and Commentery mengartikannya begini: ”Dan setiap perbuatan dosa seseorang hanya dirinya yang bertanggung jawab; seseorang yang memikul suatu beban tidak akan memikul beban orang lain”.
Walhasil, kita sendiri yang masing-masing bertanggung jawab penuh atas segala perbuatan kita: kita tidak boleh menggeser segala akibatnya kepada orang lain. Juga tak seorang pun boleh menggantikan kita dalam menebus dosa kita.
Konsep keimanan seperti ini melahirkan pandangan yang positif dan optimis tentang manusia, yaitu bahwa manusia itu pada sejatinya adalah makhluk yang baik dan suci. Ia dibekali oleh penciptanya dengan kemampuan dan bakat alami untuk mengenali sendiri manamana yang baik dan benar yang akan mendekatkan dirinya pada kebaikan dan kebenaran, dan mana-mana yang buruk dan salah yang bakal menjauhkannya dari kebenaran.
Kemampuan dan bakat alami anugerah Tuhan itulah yang disebut dengan fitrah. Fitrah dengan demikian menghasilkan pandangan yang optimis dan positif tentang manusia. Namun, kendatipun senantiasa cenderung pada kebaikan dan kesucian sebagai fitrahnya, manusia adalah makhluk yang lemah atau dhaif (lihat QS. Annisa: 28) sehingga mudah tergoda untuk berbuat salah dan keliru karena terlena pada kesenangan-kesenangan duniawi yang berdimensi jangka pendek (dunia itu berasal dari kata bahasa Arab ”dana-yadnudunya” yang artinya dekat atau pendek).
Kesalahan dan kekhilafan akibat mengabaikan tujuan utama untuk meraih kebahagiaan yang berdimensi jangka panjang itu mengakibatkan manusia menjadi tidak sabaran dan keburu nafsu, ingin segala sesuatunya tercapai seketika secepat mungkin, secara instan, dan cenderung melupakan proses. Inilah hakikat ketersesatan dan dosa manusia itu.
Maka setelah kita melaksanakan ibadah puasa dengan segala rangkaian ibadah di dalam bulan suci Ramadan yang penuh kasih sayang (rahmah) dan ampunan (maghfirah) itu, kita insya Allah kembali kepada fitrah, atau ”kesucian yang asli” dan ”keaslian yang suci” itu tadi. Setelah kita melalui bulan Ramadan, bulan shiyam, yang artinya kurang lebih bulan pembakaran dosa-dosa (yakni bulan purgatorio), kita mengalami semacam daur ulang (recycling), yaitu kembali suci sebagaimana fitrah kita semula, persis seperti ketika kita dilahirkan oleh ibu kita (kama waladathu ummuhu) .
Bersyukur, Berterima Kasih
Untuk itulah maka pada hari-hari menjelang Idul Fitri seperti sekarang ini kita harus memperbanyak syukur karena mendapatkan kesempatan bersua dengan bulan Ramadan, bahkan dapat mengakhiri ibadah puasa dengan baik, jiwa dan pikiran tidak bercabang (khusyu), dan penuh ketenangan dan kehatihatian (tumaninah).
Kita berkesempatan untuk dapat mendekatkan diri (bertaqarrub) kepada Allah Subhanahu wa taala, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Mendekat atau taqarrub kepada Allah berarti mendekat kepada agama Islam. Allah Subhanahu wa taala menurunkan Islam adalah sebagai bukti kasih- Nya kepada umat manusia dan seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin). Sebab, tanpa agama orang tidak akan mengetahui mana jalan kehidupan yang benar.
Tanpa agama orang tidak akan mengerti sangkan paraning dumadi, tidak akan mengerti letak dan kedudukannya di tengah-tengah sistem alam raya yang maha luas dan maha dahsyat ini. Oleh karenanya tanpa agama orang akan mudah menjadi adigang, adigung, adigono, sopo siro sopo ingsun. Sikap takabur ini timbul disebabkan oleh karena ketidakmengertian manusia mengenai siapa dirinya, dari mana datangnya, untuk apa dia ada, dan mau ke mana setelah keberadaannya di alam yang fana dan pendek (dunya : dekat) ini berakhir.
Sangat meyakinkan bahwa hanya dengan agama orang akan mengetahui sangkan paraning dumadi, karena ia menyadari bahwa ia datang dari Allah, untuk beribadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kelak akan kembali kepada-Nya pula (QS Al-Baqarah: 56). Dan juga firman-Nya: ”Kepada Allah lah engkau sedang berjalan” (QS An-Nur:52). Berjalan menuju Tuhan itu berarti ”pulang”.
Sebab Tuhan adalah, mengutip sebuah ungkapan dalam khazanah sufisme Jawa, Sangkan Paran paraning dumadi, yang artinya asal dan tujuan hidup, sebuah ungkapan yang tidak lain merupakan terjemahan yang hampir-hampir harfiah dari ayat Alquran inna lillahi wa inna ilaihi rojiun (kita semua berasal dari Allah dan kelak akan kembali kepada-Nya). Karena semuanya berasal dari Tuhan, ”semua orang ingin kembali kepada Tuhan”. Hidup ini adalah perjalanan ingin kembali.
Kembali ke asal. Kita semua ingin kembali pulang. Kalau seseorang tidak berhasil pulang, ia disebut tersesat. Dan ketersesatan itu tidak bisa ditebus. Meskipun ditampung di rumah yang lebih mewah dari rumahnya sendiri, ia tetap akan sengsara. Ia tetap ingin pulang. Tak aneh jika dalam bahasa Inggris ada ungkapan home sweet home, kediaman adalah rumah yang paling enak. Dalam bahasa Inggris tidak ada perkataan go house, tetapi go home, artinya pulang.
Rasulullah SAW memiliki ungkapan yang jauh lebih fundamental: bayti jannaty, rumahku adalah surgaku. Pulang adalah gejala psikologis, bukan fisik. Maka pulang adalah suatu pemenuhan hasrat untuk kembali ke asal. Setiap orang ingin kembali ke kampung, kembali ke keluarga. Semua proses kembali ini yang paling mutlak ialah kembali kepada Allah SWT.
Dimensinya spiritual. Anak kecil yang berhenti menangis karena berhasil didekap ibunya, lebih merupakan gejala psikologis semata. Tetapi kalau kita berhasil berada dalam dekapan Allah SWT, itu adalah pengalaman rohani yang jauh lebih dalam. Asal dari segala asal adalah Allah. Bagaimana dengan orangorang yang gagal pulang? Orang-orang ini dalam Alquran disebut dhallun, yang artinya orang-orang yang sesat.
”Sesat” di sini artinya orang yang tidak sanggup kembali ke asal. Dhallun adalah mereka yang tidak sanggup kembali kepada Allah karena tidak pernah mencoba membangun hubungan yang baik dengan Allah melalui ibadah dan zikir. Sebab salah satu unsur penting takwa adalah zikir, yang merupakan wujud keinginan kembali kepada Allah SWT.
Jalan yang Lurus
Seseorang yang memiliki kesadaran kosmik yang tinggi akan senantiasa menyadari bahwa ia sejatinya berada di tengah- tengah sebuah perjalanan menuju kepada-Nya, tanpa perlu mengalami rasa salah tempat (dislokasi), salah arah (disorientasi), dan rasa terasing (alienasi). Ia menyadari sedang berada di tengah-tengah perjalanan ke hadirat-Nya dalam suatu dimensi ruang dan waktu yang pendek sekali. Islam adalah jalan menuju Allah yang diturunkan oleh- Nya kepada semua para nabi- Nya, termasuk dan terutama Nabi-Nya yang terakhir.
Islam adalah jalan menuju ke hadirat- Nya dengan penuh salam, yakni penuh kesejahteraan, kedamaian, dan keselamatan. Untuk itu maka agama Islam sering dilukiskan dalam Alquran sebagai syariah, thariqat, sabil, dan shirat, yang kesemuanya berarti ”jalan”, yakni jalan yang benar menuju Tuhan. Allah berfirman: ”Dan mereka yang bersungguh- sungguh berjuang mengikuti jalan-Ku niscaya Aku akan menunjukkan jalan-jalan- Ku menuju kepada-Ku” (QS. Ankabut: 69).
Memberikan komentar atas ayat tersebut Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa ”jalan Allah ialah jalan yang lurus. Tetapi dari segala jurusan, manusia dapat menyimpang dari jalan itu. Dan jalan lain masih banyak yang dapat ia tempuh untuk kembali ke jalan yang benar: jalan asalnya sendiri dengan sifatnya yang bersih, serta kehendak dan rahmat Allah. Untuk itu, orang perlu melangkah.
Semua jalan itu terbuka buat dia asal saja dia mau membuka hati kepada Allah dan berusaha dengan sungguh-sungguh (berjihad) dengan segala daya, tenaga dan pikiran. Dengan itu, ia akan lepas dari jaringan laba-laba dunia yang rapuh itu, dan akan memperoleh surga kebahagiaan dalam memenuhi segala tujuannya yang benar”.
Semoga kita selalu berjihad untuk berada di dalam jalan- Nya yang lurus itu. Itulah al-Shirat al-mustaqim . Semoga!
(ars)