Eksplorasi dan Pajak Migas

Senin, 13 Juli 2015 - 09:56 WIB
Eksplorasi dan Pajak Migas
Eksplorasi dan Pajak Migas
A A A
A Rinto Pudyantoro
Dosen UPN Jakarta dan Praktisi Migas

Bukan lagi rahasia, walau mungkin banyak orang tidak terlalu peduli, bahwa 12 tahun lagi minyak bumi Indonesia akan habis diekstraksi, diambil, atau diangkat ke permukaan.

Artinya, pada tahun 2027 tidak akan ada lagi minyak bumi yang dapat dihasilkan dari dalam perut bumi Indonesia. Idealnya setiap pengambilan minyak 100 barel dari dalam perut bumi, diganti dengan penemuan cadangan minyak baru 100 barel atau lebih. Sehingga pengusahaanminyak sustainable, dapat bertahan dan diekstraksi secara berkesinambungan. Namunkenyataannya, reserve replacement ratio (RRR) minyak status tahun 2013 hanya 44,42%.

Artinya setiap pengambilan minyak100 barel dari dalam perut bumi, hanya mampu digantikan dengan penemuan baru sebesar 44 barel. Jadi tekor 56%. Untungnya gas bumi masih akan bertahan lebih lama, yang diperkirakan dapat diekstraksi lebih dari 50 tahun dari sekarang. RRR gas pun relatif cukup tinggi, yang di tahun 2013 terealisasi sebesar 90,06%. Lebih aman dibandingkan minyak.

Tetapi bahaya masih tetap mengancam karena kurang dari 100%. Kebijakan pemerintah membentuk Komite Eksplorasi Nasional (KEN) di bawah koordinasi Dewan Energi Nasional (DEN) merupakan jawaban atas kondisi tersebut. Amat disadari bahwa kesinambungan produksi migas dan kegiatan hulu migas seluruhnya bertumpu pada penemuan cadangan baru.

Sedangkan penemuan cadangan baru hanya akan terjadi jika ada upaya mencari atau eksplorasi. Sayangnya eksplorasi migas tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Eksplorasi migas membutuhkan waktu 6 tahun hingga 15 tahun. Itu pun tidak ada jaminan bahwa setelah lebih 6 tahun eksplorasi dipastikan ditemukan cadangan migas.

Perbedaan Horison Waktu

Di sisi lain, target penerimaan pajak setiap tahun meningkat. Walaupun penerimaan pajak migas dalam APBNP tahun 2015 sebesar Rp45,9 triliun lebih rendah dibandingkan target tahun 2014 sebesar Rp83,9 triliun, tetapi hal itu terjadi lebih karena dampak dari penggunaan asumsi harga minyak.

APBNP tahun 2014 mengasumsikan harga minyak USD105 per barel, sedangkan APBNP 2015 mengasumsikan sebesar USD60 per barel. Namun secara substansi, objek pajak yang dikenakan tidaklah berubah, bahkan cenderung bertambah. Dapat diyakini, bahwa institusi perpajakan memiliki proyeksi penerimaan pajak dalam jangka menengah dan panjang.

Bisa saja terbagi dalam jangka waktu 3 tahun dan 5 tahun. Tetapi ketika mengeksekusi, biasanya fiskus atau otoritas perpajakan akan fokus pada target penerimaan pajak tahunan sehingga tidak terhindarkan proyeksi jangka menengah dan panjang tadi agak tersamar. Penerimaan pajak tahunan dipandang segalagalanya dan paling penting.

Pandangan demikian tentu tidak dapat disalahkan, karena senyatanya kinerja fiskus diukur terutama dari pencapaian target tahunan tersebut . Horison waktu jangka pendek fiskus dalam mengupayakan pencapaian penerimaan negara rupanya tidak selaras jika dipertemukan dengan target pemerintah untuk ”menggenjot” kegiatan eksplorasi dalam rangka ketahanan energi.

Kegiatan eksplorasi yang memiliki risiko bisnis tinggi, membutuhkan modal besar, dengan kendala sosial yang cukup tinggi, dengan tanpa ada jaminan uang kembali, maka untuk merangsang kegiatan eksplorasi sangat membutuhkan dorongan dan dukungan pemerintah, yang salah satunya melalui pemberian insentif pajak.

Pemerintah dapat memberikan fasilitas perpajakan, yang sifatnya memberikan pengecualian atau keringanan ataupun bentuk lainnya, namun pada intinya kebijakan tersebut diarahkan untuk memberikan rangsangan bagi investor untuk melakukan investasi pada kegiatan eksplorasi migas. Dengan begitu, diharapkan eksplorasi akan marak, dan penemuan cadangan akan lebih besar kemungkinan terjadi, yang ujungnya akan meningkatkan produksi migas.

Alhasil, jika produksi meningkat maka akan berdampak pada kenaikan penghasilan investor yang kemudian akan meningkatkan penerimaan pajak. Tetapi sayang, sekali lagi, untuk sampai ke sana butuh waktu 6 sampai 12 tahun. Lalu apakah kemudian di sepanjang tahun itu penerimaan pajak dari kegiatan eksplorasi harus dihilangkan? Pilihan Pilihannya memang tidak gampang.

Setiappilihanmemiliki konsekuensi. Sebagai contoh pajak PBB Migas. Jika penerimaan pajak migas dituntut besar, tidak ada alasan untuk menghapuskan atau memberikan keringanan terhadap kewajiban PBB migas perusahaan eksplorasi. Jika itu yang dipilih maka jangan pernah menuntut akan ditemukan cadangan baru. Karena beban pajak akan membebani operasional eksplorasi migas, yang kemudian dapat mengakibatkan kegiatan eksplorasi menurun.

Jangan pernah kaget jika kemudian krisis produksi migas akan terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Di saat itu, produksi menurun, lifting menurun, dan ujungnya pajak penghasilan migas juga akan menurun. Sebaliknya, jika pemerintah berniat meningkatkan kegiatan eksplorasi, yang salah satunya dilakukan dengan memberikan keringanan pajak, ya jangan pula KPP Migas dipertanyakan kinerjanya ketika penerimaan pajak migas khususnya pajak perusahaan minyak eksplorasi turun.

Lalu, apa jalan tengahnya? Ada yang pernah mengusulkan untuk memberikan fasilitas berupa penundaan pembayaran pajak. Maksudnya, hutang pajak perusahaan minyak pada masa eksplorasi hanya dibayar kalau perusahaan tersebut menemukan cadangan dan memproduksikan migas.

Risikonya, pemerintah tidak akan menerima pembayaran pajak jika ternyata perusahaan minyak tersebut tidak menemukan cadangan. Tetapi kalau dikalkulasi ternyata masih menguntungkan negara secara keseluruhan, mengapa tidak?
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8849 seconds (0.1#10.140)