Politik Dinasti Kotor, tapi MK Benar
A
A
A
Benar, politik dinasti itu kotor dan ikut menyuburkan korupsi di Indonesia. Tapi menurut saya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 8 Juli 2015 yang membatalkan larangan politik dinasti (Pasal 72 huruf r) di dalam UU No 8 Tahun 2015 adalah benar juga.
Politik dinasti memang harus diperangi, tetapi pelarangan politik dinasti dengan begitu saja di dalam UU bisa melanggar hak konstitusional warganegara. Maka itu perlu instrumen hukum lain untuk mengaturnya. Sebagai mantan ketua MK, saya tahu persis banyak petahana (incumbent) yang menyalahgunakan kedudukannya dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).
Penyalahgunaan kekuasaan itu bisa dilakukan untuk dirinya sendiri yang akan mencalonkan diri lagi, bisa juga dilakukan untuk memenangkan anggota keluarganya yang ikut kontes dalam pemilukada, entah anaknya, istrinya, saudaranya, atau bahkan orang lain yang satu geng politik dengannya. Bentuk penyalahgunaan jabatan itu bisa bermacam-macam.
Ada yang menggunakan jaringan struktural pemerintahan daerah secara sistematis guna memenangkan kepentingan politik sang petahana, ada pula yang menggunakan dana APBD yang dibelokkan untuk pemenangan. Dana bakti sosial (baksos) dan bantuan sosial (bansos) yangmemang resmi ada di APBD bisa dikucurkan secara rapel persis menjelang pelaksanaan pemilukada dengan pesan harus memenangkan petahana atau calon tertentu.
Kaki tangan petahana sering mengatakan, baksos atau bansos itu diberikan sebagai kemurahan hati petahana kepada rakyat atau kepada aparat desa dan karenanya petahana atau orang yang didukungnya harus dipilih dalam pemilukada. Kunjungan kerja pejabat petahana juga sering meningkat volumenya menjelang pemilukada dan kunjungan-kunjungan yang dibiayai uang negara (pemda) itu diselenggarakan dalam suasana kampanye.
Terkadang disertai dengan peresmian proyek yang didahului yel-yel kampanye dan dekorasi panggung untuk dukungan kepada petahana. Terkadang ada bantuan pembangunan rumah ibadah bahkan tak jarang ada yang terangterangan menyebar amplopamplop yang berisi uang dengan pesan agar mendukung petahana atau keluarganya.
Banyak juga petahana yang menggusur pejabat daerah dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kedudukan atau tempat tugasnya. Ada PNS yang dipindah sampai sejauh 200 km, melintasi laut, dari tempat tugas semula sehingga harus berpisah dari suami dan anak-anaknya karena dinilai tidak mendukung petahana. Ada juga yang melakukan demosi besar-besaran, menurunkan pejabat struktural daerah dari jabatannya sampai lebih dari 120 orang karena mereka dinilai tidak mau mendukung keluarga seorang petahana.
Jadi, politik dinasti itu memang kotor, menyuburkan korupsi, merusak birokrasi, danmerusak moral masyarakat. MK tahu betul tentang itu karena kerusakan-kerusakan yang seperti itulah yang selalu muncul di dalam setiap sengketa pemilukada di MK. Harus diingat, data yang dimiliki MK tentang ini sangatlah banyak karena lebih dari 80% pemilukada diperkarakan ke MK.
Tapi MK tak bisa serta-merta membatalkan hasil pemilukada yang curang karena tidak ada bukti nyata atau melihat bahwa yang diberi uang atau diberi proyek itu benar-benar memilih petahana berhubung pemilihan bersifat rahasia. MK hanya menyatakan ada bukti penyalahgunaan kekuasaan tapi tidak membatalkan kemenangannya karena tidak ada bukti bahwa orang-orang yang disuap itu benar-benar memilih petahana.
Maka itu MK kemudian hanya meneruskan itu ke aparat penegak hukum, misalnya, ke Polri atau ke KPK untuk diteruskan ke proses hukum pidana. Itulah sebabnya ada petahana yang menang pemilukada dan dikukuhkan kemenangannya oleh MK, tetapi tak lama sesudah dilantik langsung digelandang ke penjara, bahkan ada yang dilantik di penjara untuk kemudian langsung diberhentikan.
Jadi, meskipun MK tahu persis betapa merusaknya politik dinasti ini tetapi dalam konteks pelarangan pencalonan keluarga petahana di dalam UU, MK tak bisa membiarkannya. MK memang harus mencabut ketentuan itu dari UU karena ia melanggar hak konstitusional warga negara. Di dalam UUD disebutkan bahwa hak politik untuk menjadi calon (to be candidate) adalah hak ”setiap orang”, tak terkait dengan keluarga atau dinasti.
Saya tahu bahwa kawan-kawan di MK tidak suka, bahkan ikut geram dan mengelus dada atas kekotoran politik dinasti, tetapi MK memang tidak bisa melanggengkan ataupun membatalkan isi UU, hanya atas dasar suka atau tidak suka pada isi UU. Akan berbahayalah bagi perlindungan konstitusional ”setiap orang” warga negara jika MK membiarkan pelarangan pencalonan hanya karena ”seseorang” itu adalah keluarga petahana.
Harus diingat, ada juga keluarga petahana yang mencalonkan diri karena kapasitasnya yang memang bagus atau justru karena ingin menggantikan petahana yang, meskipun keluarganya sendiri, dinilai tidak bagus. Kemungkinan ini harus dilihat sebagai fakta. Oleh sebab itu, pascaputusan MK ini, perlu dibuat instrumen hukum lain untuk mengatasi kotornya politik dinasti ini.
Misalnya, dibuat sebuah Peraturan Pemerintah (PP) yang memuat ketentuan, petahana atau keluarganya yang menyalahgunakan jabatan dalam pemilukada dinyatakan batal pencalonan maupun kemenangannya.
Ketentuan PP yang demikian bisa dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam mengadili perkara pemilukada. Jangan lupa juga, dalam pengalaman perkara-perkara di MK, banyak fakta bahwa KPU (provinsi/ kabupaten/kota) ikut melakukan kecurangan.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Politik dinasti memang harus diperangi, tetapi pelarangan politik dinasti dengan begitu saja di dalam UU bisa melanggar hak konstitusional warganegara. Maka itu perlu instrumen hukum lain untuk mengaturnya. Sebagai mantan ketua MK, saya tahu persis banyak petahana (incumbent) yang menyalahgunakan kedudukannya dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).
Penyalahgunaan kekuasaan itu bisa dilakukan untuk dirinya sendiri yang akan mencalonkan diri lagi, bisa juga dilakukan untuk memenangkan anggota keluarganya yang ikut kontes dalam pemilukada, entah anaknya, istrinya, saudaranya, atau bahkan orang lain yang satu geng politik dengannya. Bentuk penyalahgunaan jabatan itu bisa bermacam-macam.
Ada yang menggunakan jaringan struktural pemerintahan daerah secara sistematis guna memenangkan kepentingan politik sang petahana, ada pula yang menggunakan dana APBD yang dibelokkan untuk pemenangan. Dana bakti sosial (baksos) dan bantuan sosial (bansos) yangmemang resmi ada di APBD bisa dikucurkan secara rapel persis menjelang pelaksanaan pemilukada dengan pesan harus memenangkan petahana atau calon tertentu.
Kaki tangan petahana sering mengatakan, baksos atau bansos itu diberikan sebagai kemurahan hati petahana kepada rakyat atau kepada aparat desa dan karenanya petahana atau orang yang didukungnya harus dipilih dalam pemilukada. Kunjungan kerja pejabat petahana juga sering meningkat volumenya menjelang pemilukada dan kunjungan-kunjungan yang dibiayai uang negara (pemda) itu diselenggarakan dalam suasana kampanye.
Terkadang disertai dengan peresmian proyek yang didahului yel-yel kampanye dan dekorasi panggung untuk dukungan kepada petahana. Terkadang ada bantuan pembangunan rumah ibadah bahkan tak jarang ada yang terangterangan menyebar amplopamplop yang berisi uang dengan pesan agar mendukung petahana atau keluarganya.
Banyak juga petahana yang menggusur pejabat daerah dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kedudukan atau tempat tugasnya. Ada PNS yang dipindah sampai sejauh 200 km, melintasi laut, dari tempat tugas semula sehingga harus berpisah dari suami dan anak-anaknya karena dinilai tidak mendukung petahana. Ada juga yang melakukan demosi besar-besaran, menurunkan pejabat struktural daerah dari jabatannya sampai lebih dari 120 orang karena mereka dinilai tidak mau mendukung keluarga seorang petahana.
Jadi, politik dinasti itu memang kotor, menyuburkan korupsi, merusak birokrasi, danmerusak moral masyarakat. MK tahu betul tentang itu karena kerusakan-kerusakan yang seperti itulah yang selalu muncul di dalam setiap sengketa pemilukada di MK. Harus diingat, data yang dimiliki MK tentang ini sangatlah banyak karena lebih dari 80% pemilukada diperkarakan ke MK.
Tapi MK tak bisa serta-merta membatalkan hasil pemilukada yang curang karena tidak ada bukti nyata atau melihat bahwa yang diberi uang atau diberi proyek itu benar-benar memilih petahana berhubung pemilihan bersifat rahasia. MK hanya menyatakan ada bukti penyalahgunaan kekuasaan tapi tidak membatalkan kemenangannya karena tidak ada bukti bahwa orang-orang yang disuap itu benar-benar memilih petahana.
Maka itu MK kemudian hanya meneruskan itu ke aparat penegak hukum, misalnya, ke Polri atau ke KPK untuk diteruskan ke proses hukum pidana. Itulah sebabnya ada petahana yang menang pemilukada dan dikukuhkan kemenangannya oleh MK, tetapi tak lama sesudah dilantik langsung digelandang ke penjara, bahkan ada yang dilantik di penjara untuk kemudian langsung diberhentikan.
Jadi, meskipun MK tahu persis betapa merusaknya politik dinasti ini tetapi dalam konteks pelarangan pencalonan keluarga petahana di dalam UU, MK tak bisa membiarkannya. MK memang harus mencabut ketentuan itu dari UU karena ia melanggar hak konstitusional warga negara. Di dalam UUD disebutkan bahwa hak politik untuk menjadi calon (to be candidate) adalah hak ”setiap orang”, tak terkait dengan keluarga atau dinasti.
Saya tahu bahwa kawan-kawan di MK tidak suka, bahkan ikut geram dan mengelus dada atas kekotoran politik dinasti, tetapi MK memang tidak bisa melanggengkan ataupun membatalkan isi UU, hanya atas dasar suka atau tidak suka pada isi UU. Akan berbahayalah bagi perlindungan konstitusional ”setiap orang” warga negara jika MK membiarkan pelarangan pencalonan hanya karena ”seseorang” itu adalah keluarga petahana.
Harus diingat, ada juga keluarga petahana yang mencalonkan diri karena kapasitasnya yang memang bagus atau justru karena ingin menggantikan petahana yang, meskipun keluarganya sendiri, dinilai tidak bagus. Kemungkinan ini harus dilihat sebagai fakta. Oleh sebab itu, pascaputusan MK ini, perlu dibuat instrumen hukum lain untuk mengatasi kotornya politik dinasti ini.
Misalnya, dibuat sebuah Peraturan Pemerintah (PP) yang memuat ketentuan, petahana atau keluarganya yang menyalahgunakan jabatan dalam pemilukada dinyatakan batal pencalonan maupun kemenangannya.
Ketentuan PP yang demikian bisa dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam mengadili perkara pemilukada. Jangan lupa juga, dalam pengalaman perkara-perkara di MK, banyak fakta bahwa KPU (provinsi/ kabupaten/kota) ikut melakukan kecurangan.
Moh Mahfud MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(ftr)