KPK Nilai Bupati Morotai Tak Kooperatif
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, alasan praperadilan yang disampaikan Bupati Morotai Rusli Sibua melalui pengacaranya, Achmad Rifai tidaklah patut disampaikan kepada penyidik.
Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha, pihaknya menganggap Rusli tidak kooperatif dalam proses penyidikan kasusnya.
"Bisa dianggap begitu (tidak kooperatif). Alasan itu tidak patut," kata Priharsa saat dikonfirmasi wartawan, di Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Sebelumnya Rusli telah dua kali dipanggil penyidik KPK, namun dua kali puli Rusli absen. Atas dasar itu, orang nomor satu di Morotai itu diminta untuk taat dan patuh pada pemeriksaan kasus yang membelitnya yakni dugaan korupsi suap sengketa Pilkada Morotai di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2011.
"KPK berharap agar tersangka bersikap kooperatif untuk memperlancar proses penyidikan," ungkap Priharsa.
Seperti diketahui, Rusli adalah tersangka dugaan suap sengketa Pilkada Kepulauan Morotai di Mahkamah Konstitusi tahun 2011. Dia ditetapkan sebagai tersangka pada 25 Juni 2015.
Nama Rusli Sibua disebut dalam surat dakwaan Akil. Diketahui, bahwa Rusli menyuap Akil Mochtar sebesar Rp2,989 miliar dari total Rp6 miliar yang dimintanya.
Uang itu diberikan sebagai maksud agar MK menolak permohonan keberatan hasil Pilkada Kepulauan Morotai, Maluku Utara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Rusli lalu mengirim uang sebesar Rp 2,989 miliar melalui 3 setoran tunai ke rekening CV Ratu Samagat dengan menulis 'angkutan kelapa sawit' sebagaimana diminta Akil.
Duit dikirim bertahap yakni Rp500 juta (16 Juni 2011), Rp500 juta (16 Juni 2011) dan Rp1,989 miliar pada 20 Juni 2011.
Setelah uang terkirim, pada persidangan 20 Juni 2011 MK memutuskan mengabulkan permohonan Rusli Sibua dan Weni R Paraisu.
Dalam amarnya, MK membatalkan berita acara tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada oleh KPU Kabupaten Pulau Morotai tanggal 21 Mei 2011.
Rusli diduga melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pilihan:
Ini Daftar Salah Teken Presiden Jokowi
Kicauan Tommy Soeharto Soal Kepemimpinan
Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha, pihaknya menganggap Rusli tidak kooperatif dalam proses penyidikan kasusnya.
"Bisa dianggap begitu (tidak kooperatif). Alasan itu tidak patut," kata Priharsa saat dikonfirmasi wartawan, di Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Sebelumnya Rusli telah dua kali dipanggil penyidik KPK, namun dua kali puli Rusli absen. Atas dasar itu, orang nomor satu di Morotai itu diminta untuk taat dan patuh pada pemeriksaan kasus yang membelitnya yakni dugaan korupsi suap sengketa Pilkada Morotai di Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2011.
"KPK berharap agar tersangka bersikap kooperatif untuk memperlancar proses penyidikan," ungkap Priharsa.
Seperti diketahui, Rusli adalah tersangka dugaan suap sengketa Pilkada Kepulauan Morotai di Mahkamah Konstitusi tahun 2011. Dia ditetapkan sebagai tersangka pada 25 Juni 2015.
Nama Rusli Sibua disebut dalam surat dakwaan Akil. Diketahui, bahwa Rusli menyuap Akil Mochtar sebesar Rp2,989 miliar dari total Rp6 miliar yang dimintanya.
Uang itu diberikan sebagai maksud agar MK menolak permohonan keberatan hasil Pilkada Kepulauan Morotai, Maluku Utara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Rusli lalu mengirim uang sebesar Rp 2,989 miliar melalui 3 setoran tunai ke rekening CV Ratu Samagat dengan menulis 'angkutan kelapa sawit' sebagaimana diminta Akil.
Duit dikirim bertahap yakni Rp500 juta (16 Juni 2011), Rp500 juta (16 Juni 2011) dan Rp1,989 miliar pada 20 Juni 2011.
Setelah uang terkirim, pada persidangan 20 Juni 2011 MK memutuskan mengabulkan permohonan Rusli Sibua dan Weni R Paraisu.
Dalam amarnya, MK membatalkan berita acara tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada oleh KPU Kabupaten Pulau Morotai tanggal 21 Mei 2011.
Rusli diduga melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pilihan:
Ini Daftar Salah Teken Presiden Jokowi
Kicauan Tommy Soeharto Soal Kepemimpinan
(maf)