Babak Baru Mahakam
A
A
A
Babak baru kisah Blok Mahakam dimulai. Pemerintah sudah memenuhi janji untuk menjadikan Pertamina selaku pengelola mayoritas diblok minyak dan gas (migas) yang berlokasi diKutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim).
Perusahaan migas pelat merah itu bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim mendapat porsi paling besar sekitar 70%. Adapun sisanya sebesar 30% diperuntukkan Total E&P dan Inpex Coorporation sebagai bekas penguasa lahan. Pembagian saham tersebut belum tuntas karena jatah untuk Pemprov Kaltim menggantung. Pihak pemerintah setempat berharap bisa mengantongi 19% saham, sedangkan berdasarkan aturan maksimal 10%.
Ini sebuah bibit segar yang akan melahirkan polemik di tubuh pemerintah kelak. Keputusan pemerintah tetap melibatkan pengelola lama blok migas tersebut ternyata juga mengundang pertanyaan tersendiri. Pasalnya, sejak pemerintah menyalakan lampu hijau untuk pengambilalihan lahan migas yang akan berakhir masa kontraknya pada 2017 itu, selalu ditegaskan akan diserahkan 100% kepada Pertamina namun hasilnya melenceng.
Karenaitu, wajarsaja kalau Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaen berteriak keras memprotes kebijakan pemerintah menyangkut porsi pembagian saham itu. Pihak EWI menilai dengan komposisi saham baru itu sama saja Pertamina hanya menguasai 60% saham, sebab masih harus berbagi Pemprov Kaltim dengan asumsi 10 % saham.
Apabolehbuat palu sudah diketuk. Mengenai jatah saham Pemprov Kaltim sikap pemerintah pusat sepertinya sudah susah untuk dinegosiasikan. Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No 15 Tahun 2015, jatah pemerintah daerah maksimal 10%. Meski Permen tersebut resmi mengatur pembagian saham, Pemprov Kaltim tetap pada pendirian dengan menuntut porsi 19% saham.
Untuk pengambilalihan saham tersebut, Pemprov Kaltim sudah menyiapkan sebuah perusahaan yang bernama PT Migas Mandiri Pratama (MMM). Guna membiayai 19% saham itu, MMM sebagai badan usaha milik daerah (BUMD) kira-kira membutuhkan dana sebesar Rp2 triliun hingga Rp3 triliun.
Masalahnya untuk menutupi dana sebesar itu, pemerintah pusat sudah mewanti-wanti tidak melibatkan swasta bahkan Kementerian ESDM dalam waktu dekat akan membikin aturan tersendiri berkaitan keikutsertaan pihak swasta dalam pembiayaan saham jatah pemerintah daerah. Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Saad sudah menegaskan. ”Kita tidak ingin serahkan kepada swasta.
Karena kita tidak ingin yang punya saham resmi adalah pemda, tetapi yang dapat benefit pihak swasta,” tegasnya dalam sebuah seminar bertema, ”Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas Indonesia” beberapa waktu lalu di Jakarta. Kekhawatiran pemerintah pusat adalah tidak ada jaminan pihak swasta tidak melepas saham tersebut kepada pihaklain. Kalau itu terjadi maka kepemilikan pemerintah daerah akan sia-sia.
Soal sumber pembiayaan, Pemprov Kaltim masih merahasiakan yang pasti sejumlah perbankan sudah menyatakan siap menyalurkan dana, yang diharapkan sekarang pemerintah pusat agar segera memberikan jatah sebesar 19%. Terlepas dari perdebatan soal jatah saham Pemprov Kaltim, yang perlu dicermati adalah bagaimana produksi migas blok itu setelah di bawah pengelolaan Pertamina yang dimulai 1 Januari 2018?
Sekadar menyegarkan ingatan, lahan blok Mahakam memiliki luas 738,51 km persegi. Penandatanganan kontrak kerja sama pada 6 Oktober 1966 dan mulai berproduksi pada 1974. Kontrak pertama berakhir pada 30 Maret 1997, kemudian kontrak kedua diperpanjang pada 11 Januari 1997 yang akan berakhir pada 31 Desember 2017.
Saat ini, rata-rata produksi tahunan blok Mahakam, meliputi gas sebesar 1.747,59 MMSCFD serta minyak dan kondensatsekitar 69.186 barel per hari, sebagaimana dipublikasikan Kementerian ESDM. Tentu di tangan pengelola baru produksi migas diharapkan lebih besar lagi. Karena itu, jatah porsi saham ke Pemprov Kaltim jangan sampai menjadi ganjalan bagi operator baru nanti untuk beraktivitas.
Kalau sengketa bagi saham itu terjadi, sudah pasti akan mengganggu operasional blok tersebut ke depan. Dan, tujuan pengambilalihan blok Mahakam dari investor asing untuk menambah isi kocek pemerintah justru menjadi pusat sengketa.
Perusahaan migas pelat merah itu bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim mendapat porsi paling besar sekitar 70%. Adapun sisanya sebesar 30% diperuntukkan Total E&P dan Inpex Coorporation sebagai bekas penguasa lahan. Pembagian saham tersebut belum tuntas karena jatah untuk Pemprov Kaltim menggantung. Pihak pemerintah setempat berharap bisa mengantongi 19% saham, sedangkan berdasarkan aturan maksimal 10%.
Ini sebuah bibit segar yang akan melahirkan polemik di tubuh pemerintah kelak. Keputusan pemerintah tetap melibatkan pengelola lama blok migas tersebut ternyata juga mengundang pertanyaan tersendiri. Pasalnya, sejak pemerintah menyalakan lampu hijau untuk pengambilalihan lahan migas yang akan berakhir masa kontraknya pada 2017 itu, selalu ditegaskan akan diserahkan 100% kepada Pertamina namun hasilnya melenceng.
Karenaitu, wajarsaja kalau Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaen berteriak keras memprotes kebijakan pemerintah menyangkut porsi pembagian saham itu. Pihak EWI menilai dengan komposisi saham baru itu sama saja Pertamina hanya menguasai 60% saham, sebab masih harus berbagi Pemprov Kaltim dengan asumsi 10 % saham.
Apabolehbuat palu sudah diketuk. Mengenai jatah saham Pemprov Kaltim sikap pemerintah pusat sepertinya sudah susah untuk dinegosiasikan. Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) No 15 Tahun 2015, jatah pemerintah daerah maksimal 10%. Meski Permen tersebut resmi mengatur pembagian saham, Pemprov Kaltim tetap pada pendirian dengan menuntut porsi 19% saham.
Untuk pengambilalihan saham tersebut, Pemprov Kaltim sudah menyiapkan sebuah perusahaan yang bernama PT Migas Mandiri Pratama (MMM). Guna membiayai 19% saham itu, MMM sebagai badan usaha milik daerah (BUMD) kira-kira membutuhkan dana sebesar Rp2 triliun hingga Rp3 triliun.
Masalahnya untuk menutupi dana sebesar itu, pemerintah pusat sudah mewanti-wanti tidak melibatkan swasta bahkan Kementerian ESDM dalam waktu dekat akan membikin aturan tersendiri berkaitan keikutsertaan pihak swasta dalam pembiayaan saham jatah pemerintah daerah. Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Saad sudah menegaskan. ”Kita tidak ingin serahkan kepada swasta.
Karena kita tidak ingin yang punya saham resmi adalah pemda, tetapi yang dapat benefit pihak swasta,” tegasnya dalam sebuah seminar bertema, ”Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas Indonesia” beberapa waktu lalu di Jakarta. Kekhawatiran pemerintah pusat adalah tidak ada jaminan pihak swasta tidak melepas saham tersebut kepada pihaklain. Kalau itu terjadi maka kepemilikan pemerintah daerah akan sia-sia.
Soal sumber pembiayaan, Pemprov Kaltim masih merahasiakan yang pasti sejumlah perbankan sudah menyatakan siap menyalurkan dana, yang diharapkan sekarang pemerintah pusat agar segera memberikan jatah sebesar 19%. Terlepas dari perdebatan soal jatah saham Pemprov Kaltim, yang perlu dicermati adalah bagaimana produksi migas blok itu setelah di bawah pengelolaan Pertamina yang dimulai 1 Januari 2018?
Sekadar menyegarkan ingatan, lahan blok Mahakam memiliki luas 738,51 km persegi. Penandatanganan kontrak kerja sama pada 6 Oktober 1966 dan mulai berproduksi pada 1974. Kontrak pertama berakhir pada 30 Maret 1997, kemudian kontrak kedua diperpanjang pada 11 Januari 1997 yang akan berakhir pada 31 Desember 2017.
Saat ini, rata-rata produksi tahunan blok Mahakam, meliputi gas sebesar 1.747,59 MMSCFD serta minyak dan kondensatsekitar 69.186 barel per hari, sebagaimana dipublikasikan Kementerian ESDM. Tentu di tangan pengelola baru produksi migas diharapkan lebih besar lagi. Karena itu, jatah porsi saham ke Pemprov Kaltim jangan sampai menjadi ganjalan bagi operator baru nanti untuk beraktivitas.
Kalau sengketa bagi saham itu terjadi, sudah pasti akan mengganggu operasional blok tersebut ke depan. Dan, tujuan pengambilalihan blok Mahakam dari investor asing untuk menambah isi kocek pemerintah justru menjadi pusat sengketa.
(bhr)