Harapan pada KPK di Era Nawacita
A
A
A
W Riawan Tjandra
Pengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KPK selama ini lebih terlihat mengutamakan kebijakan penindakan dalam pemberantasan korupsi, namun terlihat tak cukup mengembangkan kebijakan supervisi dan prevensi dalam membangun sistem anti korupsi di lingkungan lembaga-lembaga penyelenggara negara.
Dalam siklus pemberantasan korupsi, kebijakan penindakan sejatinya perlu diletakkan dalam rangkaian terakhir setelah terlebih dahulu dilakukan perbaikan dan penguatan sistem anti korupsi yang mampu melaksanakan deteksi dini (early warning system ) untuk mencegah terjadinya praktik-praktik koruptif.
Dalam pertimbangan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terdapat dua konsiderasi penting mengenai urgensi lahirnya KPK, yaitu pertama , dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kedua , bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Sehubungan dengan konsiderasi dalam UU KPK tersebut, selanjutnya ditegaskan dalam Penjelasan UU KPK bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan beberapa hal, yaitu: (1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; (2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; (3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism ); (4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan.
*** Jika mencermati substansi dari konsiderasi dan penjelasan UU KPK tersebut, sejatinya sejalan dengan amanah yang dicetuskan dalam Nawacita salah satunya adalah agar terdapat sinergi fungsional di antara KPK RI, Kejaksaan RI, dan Kepolisian RI dalam melaksanakan upaya pencegahan maupun penindakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan konsiderasi tersebut maka sebagian besar penyidik KPK bersumber dari aparat Kepolisian RI yang diseleksi untuk menjadi penyidik KPK. Demikian pula penuntut umum di KPK diharuskan bersumber dari Kejaksaan RI. Pesan di balik dari ketentuan UU KPK tersebut adalah agar KPK juga bisa menjadi ruang untuk menyinergikan dan mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal inilah yang menjadi substansi dari makna bahwa KPK oleh pembentuk UU KPK sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism ). Maka, amanah Nawacita untuk membangun sinergi antar para penegak hukum (KPK, kepolisian, dan kejaksaan) sejatinya justru merevitalisasikan amanah UU KPK agar KPK dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
Berdasarkan amanah tersebut maka nantinya KPK harus menginisiasi cetak biru (blue print ) jaringan kerja yang kuat dan efektif untuk mengonstruksi sinergi peranan antar ketiga institusi penegak hukum dimaksud. KPK sesuai dengan amanah UU KPK dan Nawacita harus dapat memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
Meskipun upaya untuk membangun jaringan kerja antarinstitusi penegak hukum tersebut selama ini sudah dilakukan, memang perlu diakui hal itu ke depan perlu dilakukan secara lebih serius berbasis cetak biru jaringan kerja yang kuat dan efektif sehingga KPK sekaligus juga dapat memberdayakan kepolisian dan kejaksaan dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penindakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kejahatan korupsi bukanlah sebuah kejahatan yang berdiri sendiri, namun terjadi karena sebagai faktor penyebab sekaligus juga akibat dari beberapa faktor yang lain. Di titik inilah sejatinya revolusi mental yang menjadi fondasi dari Nawacita perlu dilakukan dengan konsisten dan efektif agar dapat dilakukan transformasi kelembagaan menjadi lebih baik melalui perubahan pola pikir, kultur maupun tindakan.
KPK sendiri sejak awal dibentuk sudah memiliki perangkat sistem yang lengkap untuk mampu melakukan ”revolusi mental” birokrasi publik maupun mengubah budaya korupsi di kalangan masyarakat. Penindakan dalam rangkaian sistem pemberantasan tindak pidana korupsi harus diletakkan dalam suatu rangkaian yang sistematis dan koheren dengan berbagai langkah pencegahan maupun edukasi.
Divisi pencegahan maupun riset di KPK harus diberikan fungsi yang lebih efektif lagi sehingga mampu melakukan revolusi mental birokrasi di tubuh berbagai lembaga negara melalui penyemaian budaya antikorupsi di lingkungan berbagai lembaga negara. Selama ini sejak dari ranah legislasi sampai pada implementasi kebijakan masih tercium berbagai aroma tak sedap yang dipicu masih suburnya budaya koruptif.
Di lingkungan pemerintah, sektor pengadaan barang dan jasa dengan berbagai peraturan perundangundangan yang sangat teknis dan njlimet (baca: terlalu detail) siap mengeksekusi para birokrat yang tak paham, teledor maupun yang dengan sengaja salah dalam mengadministrasikan proses pengadaan barang dan jasa.
Ke depan, lebih baik regulasi pengadaan barang dan jasa dengan supervisi KPK dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) bisa ditingkatkan level hierarkinya menjadi suatu undang-undang yang mudah dipahami, tak terlalu njlimet namun sekaligus efektif untuk mencegah praktik-praktik curang maupun penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa publik.
Jika diperlukan perincian, baru dituangkan norma operasionalnya dalam peraturan teknis setingkat perpres maupun permen. Hal ini dimaksudkan agar pengadaan barang dan jasa jangan menjadi ”kuburan karier” bagi para birokrat maupun penyelenggara negara yangselamainiberdasarkan riset KPK tak kurang dari 70% kasus-kasus korupsi berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Pengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KPK selama ini lebih terlihat mengutamakan kebijakan penindakan dalam pemberantasan korupsi, namun terlihat tak cukup mengembangkan kebijakan supervisi dan prevensi dalam membangun sistem anti korupsi di lingkungan lembaga-lembaga penyelenggara negara.
Dalam siklus pemberantasan korupsi, kebijakan penindakan sejatinya perlu diletakkan dalam rangkaian terakhir setelah terlebih dahulu dilakukan perbaikan dan penguatan sistem anti korupsi yang mampu melaksanakan deteksi dini (early warning system ) untuk mencegah terjadinya praktik-praktik koruptif.
Dalam pertimbangan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terdapat dua konsiderasi penting mengenai urgensi lahirnya KPK, yaitu pertama , dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kedua , bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Sehubungan dengan konsiderasi dalam UU KPK tersebut, selanjutnya ditegaskan dalam Penjelasan UU KPK bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan beberapa hal, yaitu: (1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; (2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; (3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism ); (4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan.
*** Jika mencermati substansi dari konsiderasi dan penjelasan UU KPK tersebut, sejatinya sejalan dengan amanah yang dicetuskan dalam Nawacita salah satunya adalah agar terdapat sinergi fungsional di antara KPK RI, Kejaksaan RI, dan Kepolisian RI dalam melaksanakan upaya pencegahan maupun penindakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan konsiderasi tersebut maka sebagian besar penyidik KPK bersumber dari aparat Kepolisian RI yang diseleksi untuk menjadi penyidik KPK. Demikian pula penuntut umum di KPK diharuskan bersumber dari Kejaksaan RI. Pesan di balik dari ketentuan UU KPK tersebut adalah agar KPK juga bisa menjadi ruang untuk menyinergikan dan mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal inilah yang menjadi substansi dari makna bahwa KPK oleh pembentuk UU KPK sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism ). Maka, amanah Nawacita untuk membangun sinergi antar para penegak hukum (KPK, kepolisian, dan kejaksaan) sejatinya justru merevitalisasikan amanah UU KPK agar KPK dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
Berdasarkan amanah tersebut maka nantinya KPK harus menginisiasi cetak biru (blue print ) jaringan kerja yang kuat dan efektif untuk mengonstruksi sinergi peranan antar ketiga institusi penegak hukum dimaksud. KPK sesuai dengan amanah UU KPK dan Nawacita harus dapat memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
Meskipun upaya untuk membangun jaringan kerja antarinstitusi penegak hukum tersebut selama ini sudah dilakukan, memang perlu diakui hal itu ke depan perlu dilakukan secara lebih serius berbasis cetak biru jaringan kerja yang kuat dan efektif sehingga KPK sekaligus juga dapat memberdayakan kepolisian dan kejaksaan dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penindakan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kejahatan korupsi bukanlah sebuah kejahatan yang berdiri sendiri, namun terjadi karena sebagai faktor penyebab sekaligus juga akibat dari beberapa faktor yang lain. Di titik inilah sejatinya revolusi mental yang menjadi fondasi dari Nawacita perlu dilakukan dengan konsisten dan efektif agar dapat dilakukan transformasi kelembagaan menjadi lebih baik melalui perubahan pola pikir, kultur maupun tindakan.
KPK sendiri sejak awal dibentuk sudah memiliki perangkat sistem yang lengkap untuk mampu melakukan ”revolusi mental” birokrasi publik maupun mengubah budaya korupsi di kalangan masyarakat. Penindakan dalam rangkaian sistem pemberantasan tindak pidana korupsi harus diletakkan dalam suatu rangkaian yang sistematis dan koheren dengan berbagai langkah pencegahan maupun edukasi.
Divisi pencegahan maupun riset di KPK harus diberikan fungsi yang lebih efektif lagi sehingga mampu melakukan revolusi mental birokrasi di tubuh berbagai lembaga negara melalui penyemaian budaya antikorupsi di lingkungan berbagai lembaga negara. Selama ini sejak dari ranah legislasi sampai pada implementasi kebijakan masih tercium berbagai aroma tak sedap yang dipicu masih suburnya budaya koruptif.
Di lingkungan pemerintah, sektor pengadaan barang dan jasa dengan berbagai peraturan perundangundangan yang sangat teknis dan njlimet (baca: terlalu detail) siap mengeksekusi para birokrat yang tak paham, teledor maupun yang dengan sengaja salah dalam mengadministrasikan proses pengadaan barang dan jasa.
Ke depan, lebih baik regulasi pengadaan barang dan jasa dengan supervisi KPK dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) bisa ditingkatkan level hierarkinya menjadi suatu undang-undang yang mudah dipahami, tak terlalu njlimet namun sekaligus efektif untuk mencegah praktik-praktik curang maupun penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa publik.
Jika diperlukan perincian, baru dituangkan norma operasionalnya dalam peraturan teknis setingkat perpres maupun permen. Hal ini dimaksudkan agar pengadaan barang dan jasa jangan menjadi ”kuburan karier” bagi para birokrat maupun penyelenggara negara yangselamainiberdasarkan riset KPK tak kurang dari 70% kasus-kasus korupsi berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah.
(ars)