Muhammadiyah & Gerakan Antikorupsi
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Di antara penyebab belum berhasilnya pemberantasan korupsi di negeri ini adalah karena gerakan antikorupsi mengalami kevakuman ideologi.
Indikatornya, banyak orang berteriak anti korupsi saat masih berada di luar kekuasaan. Tetapi jika kekuasaan sudah berada di tangan, mereka termasuk yang paling rajin melakukan korupsi. Dilatarbelakangi kondisi itulah sejumlah aktivis Pemuda Muhammadiyah menggagas pendirian Madrasah Antikorupsi. Sayang sekali, gagasan tersebut hanya menggema saat panas- panasnya hubungan KPKPolri beberapa waktu silam.
Padahal jika gagasan Madrasah Antikorupsi benar-benar direalisasikan, banyak anak muda yang siap dididik menjadi pejuang antikorupsi. Dengan begitu, Muhammadiyah akan semakin meneguhkan kiprahnya sebagai pelopor gerakan antikorupsi. Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Muhammadiyah telah menunjukkan kepeloporannya dalam pemberantasan korupsi.
Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Jalan Menteng, Jakarta telah menjadi markas pegiat antikorupsi dari kalangan lintas agama. Dalam kisruh KPK-Polri lalu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin dan tokoh lintas agama seakan tanpa kenal lelah menyuarakan agar Jokowi berani mengambil langkah yang cepat dan tepat.
Mereka juga mendorong agar Jokowi menampilkan diri layaknya seorang presiden. Sebab Jokowi adalah presiden pilihan rakyat, bukan petugas partai. Selain menyediakan kantor sebagai pusat kegiatan bagi pegiat antikorupsi, tokohtokoh Muhammadiyah juga tampak menonjol dalam gerakan antikorupsi. Di antara tokoh yang paling menonjol tentu saja mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif. Tokoh yang akrab disapa Buya Syafii ini bahkan ditunjuk memimpin Tim 9 yang dibentuk Presiden Jokowi.
Tim ini bertugas untuk memberikan rekomendasi pada presiden guna menyelesaikan konflik KPK-Polri. Sayang sekali, rekomendasi Tim 9 tidak semuanya dijalankan presiden. Akibatnya, hubungan KPK-Polri hingga kini terasa masih berjarak. Rekam jejak Buya Syafii yang hebat telah mengantarkannya menjadi satu-satunya guru bangsa yang masih tersisa. Itu terutama setelah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpulang ke Rahmatullah.
Berkalikali Buya Syafii mengingatkan bahwa praktik korupsi di negeri ini sudah nyaris sempurna. Pernyataan ini merupakan wujud keprihatinan yang mendalam terhadap masa depan gerakan pemberantasan korupsi. Jika diibaratkan rayap, praktik korupsi di negeri ini telah menggerogoti tiang-tiang penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski telah merajalela, semangat pegiat antikorupsi harus tetap terjaga.
Harus diingat bahwa pemberantasan korupsi pasti membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Komitmen pemberantasan korupsi tidak cukup jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum. Apalagi beberapa hasil survei menunjukkan bahwa integritas lembaga penegak hukum dianggap bermasalah. Seiring dengan berkurangnya kepercayaan publik terhadap integritas aparat penegak hukum, pemerintah seharusnya mengajak organisasi kemasyarakatan (ormas).
Itu berarti Muhammadiyah, NU, dan pilar civil society lainnya penting terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi. Jika diselisik ke belakang, tepatnya pada Oktober 2003, Muhammadiyah dan NU sejatinya pernah bekerja sama dalam pemberantasan korupsi. Ikrar kerja sama itu diberi nama Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK).
Pada saat itu disepakati langkah-langkah yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi, termasuk menghukum anggota ormas yang terlibat korupsi. Sangat disayangkan, ikrar itu baru sebatas gerakan moral. Belum ada langkah konkret berupa gerakan aksi untuk memberantas korupsi. Bersama beberapa partnership, Muhammadiyah juga telah menerbitkan buku panduan pemberantasan korupsi berjudul Fikih Anti Korupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah (2006).
Karya ini merupakan referensi berharga untuk memberantas korupsi. Dalam buku ini dirumuskan strategi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu caranya adalah membangun integritas publik (public integrity). Persoalan integritas ini penting karena menjadi syarat terwujudnya good governance , yang di antaranya ditandai adanya transparansi dan akuntabilitas.
Sebagai pilar civil society yang telah berusia lebih dari satu abad, Muhammadiyah pasti memiliki pengalaman dalam membangun budaya berintegritas. Misalnya, Muhammadiyah rajin memberikan laporan yang transparan dan akuntabel dalam mengelola anggaran. Laporan itu diberikan, terutama pada pemberi bantuan baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan cara ini, kepercayaan terhadap Muhammadiyah terus terjaga.
Muhammadiyah juga melakukan rangkaian kegiatan advokasi penggunaan APBN/ APBD. Rangkaian kegiatan ini menunjukkan Muhammadiyah telah melakukan dakwah anggaran dengan cara mengawal APBN/D dari bencana korupsi, kolusi, dan manipulasi. Kegiatan ini penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar ”melek” APBN/D.
Targetnya, agar tidak terjadi politik penganggaran untuk kepentingan pribadi pejabat publik. Harus disadari bahwa tantangan yang dihadapi pegiat antikorupsi kian berat. Keselamatan diri dan keluarga pegiat antikorupsi juga terancam. Semua itu jelas membutuhkan perhatian. Pada konteks inilah Muhammadiyah harus menunjukkan kepeloporannya.
Tetapi harus diakui bahwa kegiatan dalam rangka pemberantasan korupsi belum sepenuhnya menjadi perhatian Muhammadiyah. Kegiatan utama Muhammadiyah masih seputar dakwah keislaman dan rutinitas mengelola amal usaha. Terutama amal usaha bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial. Hingga kini belum ada divisi khusus dalam struktur organisasi yang fokus menangani pemberantasan korupsi.
Semoga dalam muktamar ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, Muhammadiyah membicarakan secara serius ideologi pemberantasan korupsi di negeri tercinta. Bukan hanya pada tingkat wacana, ideologi pemberantasan korupsi ala Muhammadiyah harus benarbenar dapat diwujudkan dalam gerakan aksi.
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
Di antara penyebab belum berhasilnya pemberantasan korupsi di negeri ini adalah karena gerakan antikorupsi mengalami kevakuman ideologi.
Indikatornya, banyak orang berteriak anti korupsi saat masih berada di luar kekuasaan. Tetapi jika kekuasaan sudah berada di tangan, mereka termasuk yang paling rajin melakukan korupsi. Dilatarbelakangi kondisi itulah sejumlah aktivis Pemuda Muhammadiyah menggagas pendirian Madrasah Antikorupsi. Sayang sekali, gagasan tersebut hanya menggema saat panas- panasnya hubungan KPKPolri beberapa waktu silam.
Padahal jika gagasan Madrasah Antikorupsi benar-benar direalisasikan, banyak anak muda yang siap dididik menjadi pejuang antikorupsi. Dengan begitu, Muhammadiyah akan semakin meneguhkan kiprahnya sebagai pelopor gerakan antikorupsi. Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Muhammadiyah telah menunjukkan kepeloporannya dalam pemberantasan korupsi.
Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Jalan Menteng, Jakarta telah menjadi markas pegiat antikorupsi dari kalangan lintas agama. Dalam kisruh KPK-Polri lalu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin dan tokoh lintas agama seakan tanpa kenal lelah menyuarakan agar Jokowi berani mengambil langkah yang cepat dan tepat.
Mereka juga mendorong agar Jokowi menampilkan diri layaknya seorang presiden. Sebab Jokowi adalah presiden pilihan rakyat, bukan petugas partai. Selain menyediakan kantor sebagai pusat kegiatan bagi pegiat antikorupsi, tokohtokoh Muhammadiyah juga tampak menonjol dalam gerakan antikorupsi. Di antara tokoh yang paling menonjol tentu saja mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif. Tokoh yang akrab disapa Buya Syafii ini bahkan ditunjuk memimpin Tim 9 yang dibentuk Presiden Jokowi.
Tim ini bertugas untuk memberikan rekomendasi pada presiden guna menyelesaikan konflik KPK-Polri. Sayang sekali, rekomendasi Tim 9 tidak semuanya dijalankan presiden. Akibatnya, hubungan KPK-Polri hingga kini terasa masih berjarak. Rekam jejak Buya Syafii yang hebat telah mengantarkannya menjadi satu-satunya guru bangsa yang masih tersisa. Itu terutama setelah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berpulang ke Rahmatullah.
Berkalikali Buya Syafii mengingatkan bahwa praktik korupsi di negeri ini sudah nyaris sempurna. Pernyataan ini merupakan wujud keprihatinan yang mendalam terhadap masa depan gerakan pemberantasan korupsi. Jika diibaratkan rayap, praktik korupsi di negeri ini telah menggerogoti tiang-tiang penyangga kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski telah merajalela, semangat pegiat antikorupsi harus tetap terjaga.
Harus diingat bahwa pemberantasan korupsi pasti membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Komitmen pemberantasan korupsi tidak cukup jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum. Apalagi beberapa hasil survei menunjukkan bahwa integritas lembaga penegak hukum dianggap bermasalah. Seiring dengan berkurangnya kepercayaan publik terhadap integritas aparat penegak hukum, pemerintah seharusnya mengajak organisasi kemasyarakatan (ormas).
Itu berarti Muhammadiyah, NU, dan pilar civil society lainnya penting terlibat dalam gerakan pemberantasan korupsi. Jika diselisik ke belakang, tepatnya pada Oktober 2003, Muhammadiyah dan NU sejatinya pernah bekerja sama dalam pemberantasan korupsi. Ikrar kerja sama itu diberi nama Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK).
Pada saat itu disepakati langkah-langkah yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi, termasuk menghukum anggota ormas yang terlibat korupsi. Sangat disayangkan, ikrar itu baru sebatas gerakan moral. Belum ada langkah konkret berupa gerakan aksi untuk memberantas korupsi. Bersama beberapa partnership, Muhammadiyah juga telah menerbitkan buku panduan pemberantasan korupsi berjudul Fikih Anti Korupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah (2006).
Karya ini merupakan referensi berharga untuk memberantas korupsi. Dalam buku ini dirumuskan strategi mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Salah satu caranya adalah membangun integritas publik (public integrity). Persoalan integritas ini penting karena menjadi syarat terwujudnya good governance , yang di antaranya ditandai adanya transparansi dan akuntabilitas.
Sebagai pilar civil society yang telah berusia lebih dari satu abad, Muhammadiyah pasti memiliki pengalaman dalam membangun budaya berintegritas. Misalnya, Muhammadiyah rajin memberikan laporan yang transparan dan akuntabel dalam mengelola anggaran. Laporan itu diberikan, terutama pada pemberi bantuan baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan cara ini, kepercayaan terhadap Muhammadiyah terus terjaga.
Muhammadiyah juga melakukan rangkaian kegiatan advokasi penggunaan APBN/ APBD. Rangkaian kegiatan ini menunjukkan Muhammadiyah telah melakukan dakwah anggaran dengan cara mengawal APBN/D dari bencana korupsi, kolusi, dan manipulasi. Kegiatan ini penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar ”melek” APBN/D.
Targetnya, agar tidak terjadi politik penganggaran untuk kepentingan pribadi pejabat publik. Harus disadari bahwa tantangan yang dihadapi pegiat antikorupsi kian berat. Keselamatan diri dan keluarga pegiat antikorupsi juga terancam. Semua itu jelas membutuhkan perhatian. Pada konteks inilah Muhammadiyah harus menunjukkan kepeloporannya.
Tetapi harus diakui bahwa kegiatan dalam rangka pemberantasan korupsi belum sepenuhnya menjadi perhatian Muhammadiyah. Kegiatan utama Muhammadiyah masih seputar dakwah keislaman dan rutinitas mengelola amal usaha. Terutama amal usaha bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial. Hingga kini belum ada divisi khusus dalam struktur organisasi yang fokus menangani pemberantasan korupsi.
Semoga dalam muktamar ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, Muhammadiyah membicarakan secara serius ideologi pemberantasan korupsi di negeri tercinta. Bukan hanya pada tingkat wacana, ideologi pemberantasan korupsi ala Muhammadiyah harus benarbenar dapat diwujudkan dalam gerakan aksi.
(ars)