Agama dalam Konstitusi Kita
A
A
A
Faozan Amar
Direktur Eksekutif Al Wasath dan Dosen Studi Islam UHAMKA
Indonesia adalah negara yang secara kultur dan natur ditakdirkan sebagai negara yang majemuk. Kemajemukan bisa dilihat dari segi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kemajemukan itu di satu sisi merupakan anugerah, tetapi manakala tidak mampu untuk mengelolanya bisa menjadi musibah bagi bangsa Indonesia. Menyambut bulan Ramadan 1436 H, kini bangsa Indonesia diuji kembali tentang sikap saling menghormati antarumat beragama. Terbaru adalah kicauan dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin yang meminta untuk menghormati orang yang tidak puasa.
”Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa,” demikian seperti dari akun Twitter Lukman Hakim, @lukmansaifuddin, Senin (8/6). Kicauan tersebut menimbulkan pro dan kontra dari para nitizen . Dalam konteks agama, para pendiri bangsa ini telah menyadari sepenuhnya akan kemajemukan sehingga menempatkan agama secara rasional dan proporsional dalam konstitusi Republik Indonesia.
Hal ini dimaksudkan agar agama dan kepercayaan bangsa Indonesia betul-betul menjadi spirit dalam mewujudkan citacita kemerdekaan. Perdebatan panjang tentang dasar negara juga tidak terlepas dengan persoalan agama. Hal bisa dibaca pada polemik antara Soekarno dan M Natsir yang dimuat di majalah Padji Islam tahun 1940. Juga dalam perdebatan sidang-sidang BPUPK pada 1945.
Dalam konstitusi Republik Indonesia, penempatan agama bisa dilihat pada: Pertama , Sila Pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPK tentang Pancasila Sebagai Dasar Negara, Soekarno memaknai frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa “ adalah :
1) Pada prinsipnya menegaskan bahwa bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhan-nya sendiri.
2) Pada prinsipnya, hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
3) Pada prinsipnya, segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan yakni dengan cara berakulturasi dengan kebudayaan- kebudayaan lokal bangsa Indonesia.
4) Pada prinsipnya, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, dengan sikap saling hormat menghormati sesama pemeluk agama dan kepercayaan. Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan dan segenap agama yang ada di Indonesia ini mendapat tempat dan perlakuan yang sama, oleh karena itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Kedua, penyebutan frasa “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, di dalam alinea ketiga Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah satu bentuk pengakuan rasa syukur bangsa Indonesia kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya, tanpa ada “campur tangan” Tuhan melalui Rahmat dan Berkat- Nya, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan terwujud.
Karena itu, ini sekaligus menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, di mana ajaran agama tidak hanya diyakini, tetapi juga mengamalkan ajaran agama. Ketiga , negara Indonesia ialah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sebab itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Keempat , secara tegas dinyatakan bahwa dalam mencapai empat tujuan bernegara itu, Indonesia diselenggarakan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima , dalam Pasal 28 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dinyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali” . Hal ini bermakna bahwa kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.
Keenam , Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 membuat satu khusus tentang agama, yang tidak mengalami perubahan ketika diamendemen yakni Bab XI, Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang menyatakan 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tidak adanya perubahan baik bab, pasal, maupun isi tentang agama sebagai bukti bahwa agama memiliki landasan konstitusi tegas dan jelas. Sekalipun Indonesia bukan negara yang berdasarkan agama.
Turunan dan implementasi Pancasila dan UUD 1945 tersebut, dalam melahirkan beberapa Undang-Undang, yakni : 1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan. 2) UU No 12 / 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik. 3) UU No 23/ 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 4) UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. 5) UU No 34/2014 Pengelolaan Keuangan Haji. 6) UU No. 41/ 2004 tentang Pengelolaan Wakaf. 7) UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. 8) UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Kendati demikian, realitas di masyarakat menunjukkan:
1) Masih sering terjadi konflik umat beragama; baik yang intra maupun yang antarumat beragama, termasuk umat beragama dengan pemerintah.
2) Masih ada perebutan rumah ibadah, baik intra maupun antarumat beragama.
3) Belum ada payung hukum berupa undangundang yang mengatur perlindungan umat beragama, termasuk bagi mereka dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan.
4) Undang-undang yang ada masih hanya menyangkut “kepentingan” agama tertentu, belum semua agama. 5) Payung hukum yang ada baru sebatas surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang pendirian rumah ibadah. Inilah saya kira tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut kehidupan keagamaan di negara kita.
Dan, memasuki bulan Ramadan 1436 H yang kurang beberapa hari ini, kita kembali diuji dalam mewujudkan kerukunan intern dan antarumat beragama. Perlu kesungguhan bersama dalam menjawab tantangan tersebut agar cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dapat terwujud. Wallahualam
Direktur Eksekutif Al Wasath dan Dosen Studi Islam UHAMKA
Indonesia adalah negara yang secara kultur dan natur ditakdirkan sebagai negara yang majemuk. Kemajemukan bisa dilihat dari segi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Kemajemukan itu di satu sisi merupakan anugerah, tetapi manakala tidak mampu untuk mengelolanya bisa menjadi musibah bagi bangsa Indonesia. Menyambut bulan Ramadan 1436 H, kini bangsa Indonesia diuji kembali tentang sikap saling menghormati antarumat beragama. Terbaru adalah kicauan dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin yang meminta untuk menghormati orang yang tidak puasa.
”Warung-warung tak perlu dipaksa tutup. Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang berpuasa,” demikian seperti dari akun Twitter Lukman Hakim, @lukmansaifuddin, Senin (8/6). Kicauan tersebut menimbulkan pro dan kontra dari para nitizen . Dalam konteks agama, para pendiri bangsa ini telah menyadari sepenuhnya akan kemajemukan sehingga menempatkan agama secara rasional dan proporsional dalam konstitusi Republik Indonesia.
Hal ini dimaksudkan agar agama dan kepercayaan bangsa Indonesia betul-betul menjadi spirit dalam mewujudkan citacita kemerdekaan. Perdebatan panjang tentang dasar negara juga tidak terlepas dengan persoalan agama. Hal bisa dibaca pada polemik antara Soekarno dan M Natsir yang dimuat di majalah Padji Islam tahun 1940. Juga dalam perdebatan sidang-sidang BPUPK pada 1945.
Dalam konstitusi Republik Indonesia, penempatan agama bisa dilihat pada: Pertama , Sila Pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPK tentang Pancasila Sebagai Dasar Negara, Soekarno memaknai frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa “ adalah :
1) Pada prinsipnya menegaskan bahwa bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhan-nya sendiri.
2) Pada prinsipnya, hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
3) Pada prinsipnya, segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan yakni dengan cara berakulturasi dengan kebudayaan- kebudayaan lokal bangsa Indonesia.
4) Pada prinsipnya, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, dengan sikap saling hormat menghormati sesama pemeluk agama dan kepercayaan. Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan dan segenap agama yang ada di Indonesia ini mendapat tempat dan perlakuan yang sama, oleh karena itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Kedua, penyebutan frasa “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, di dalam alinea ketiga Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah satu bentuk pengakuan rasa syukur bangsa Indonesia kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya, tanpa ada “campur tangan” Tuhan melalui Rahmat dan Berkat- Nya, kemerdekaan bangsa Indonesia tidak akan terwujud.
Karena itu, ini sekaligus menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, di mana ajaran agama tidak hanya diyakini, tetapi juga mengamalkan ajaran agama. Ketiga , negara Indonesia ialah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sebab itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Keempat , secara tegas dinyatakan bahwa dalam mencapai empat tujuan bernegara itu, Indonesia diselenggarakan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima , dalam Pasal 28 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dinyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali” . Hal ini bermakna bahwa kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya merupakan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.
Keenam , Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 membuat satu khusus tentang agama, yang tidak mengalami perubahan ketika diamendemen yakni Bab XI, Pasal 29 ayat 1 dan 2, yang menyatakan 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Tidak adanya perubahan baik bab, pasal, maupun isi tentang agama sebagai bukti bahwa agama memiliki landasan konstitusi tegas dan jelas. Sekalipun Indonesia bukan negara yang berdasarkan agama.
Turunan dan implementasi Pancasila dan UUD 1945 tersebut, dalam melahirkan beberapa Undang-Undang, yakni : 1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan. 2) UU No 12 / 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik. 3) UU No 23/ 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 4) UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. 5) UU No 34/2014 Pengelolaan Keuangan Haji. 6) UU No. 41/ 2004 tentang Pengelolaan Wakaf. 7) UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. 8) UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Kendati demikian, realitas di masyarakat menunjukkan:
1) Masih sering terjadi konflik umat beragama; baik yang intra maupun yang antarumat beragama, termasuk umat beragama dengan pemerintah.
2) Masih ada perebutan rumah ibadah, baik intra maupun antarumat beragama.
3) Belum ada payung hukum berupa undangundang yang mengatur perlindungan umat beragama, termasuk bagi mereka dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan.
4) Undang-undang yang ada masih hanya menyangkut “kepentingan” agama tertentu, belum semua agama. 5) Payung hukum yang ada baru sebatas surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang pendirian rumah ibadah. Inilah saya kira tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut kehidupan keagamaan di negara kita.
Dan, memasuki bulan Ramadan 1436 H yang kurang beberapa hari ini, kita kembali diuji dalam mewujudkan kerukunan intern dan antarumat beragama. Perlu kesungguhan bersama dalam menjawab tantangan tersebut agar cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dapat terwujud. Wallahualam
(ars)