Waspadai Datangnya Krisis Ekonomi
A
A
A
ARIES HERU PRASETYO
Ketua Program Sarjana PPM School of Management
Alarm krisis sudah berbunyi nyaring, sekeras nada saat krisis melanda di medio 1998. Sejumlah indikator ekonomi mulai masuk zona merah. Sebut saja rupiah yang perlahan namun pasti menurun ke level Rp13.000-an atau tertekan lebih dari 7% sejak perdagangan awal tahun ini.
Selanjutnya, pergerakan indeks harga saham gabungan yang kembali meninggalkan titik psikologis 5.000. Belum lagi dari sisi cadangan devisa. Hingga pengujung Mei tahun ini, cadangan devisa yang dimiliki pemerintah senilai USD110,8 miliar, lebih rendah dari nilai tahun 2014 sebesar USD110,9 miliar.
Realitas tersebut mau tak mau membuat pilihan jatuh pada peningkatan imbal hasil surat utang negara ke level 8,76% (tertinggi sejak Februari 2014) dan kenaikan credit default swap menjadi 256,5. Runyamnya situasi ekonomi dalam negeri diperburuk dengan dua isu utama baik yang bersifat internasional ataupun nasional. Dari sisi global, dampak tren perdagangan bebas telah membuat perekonomian Indonesia sangat bergantung pada fluktuasi ekonomi dunia.
Sehingga krisis Yunani, perlambatan laju pertumbuhan industri di China, serta wacana peningkatan suku bunga The Fed dalam waktu dekat turut mendera rapor kinerja keuangan dalam negeri. Realitas tersebut semakin kompleks dengan hadirnya beberapa kebijakan dalam negeri termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak. Spontan, laju inflasi terlihat mulai tak terkendali.
Terlebih beberapa saat lagi kita akan memasuki bulan puasa, dimanabayang-bayangkenaikan inflasi mulai menghantui. Ketika produsen tak lagi mampu menahan beban yang berat, beban itu pulalah yang dialihkan kepada konsumen. Namun sampai titik tertentu, ketika pasar tak lagi mampu menanggungnya maka daya beli akan berkurang drastis. Ini berarti excess output industri akan berlimpah ruah. Di sinilah ancaman perlambatan industry akan berujung pada krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Upaya mengatasi krisis kali ini berbeda dengan apa yang pernah dialami pada 1998. Pemerintah perlu mencermati era knowledge economy secara lebih tepat. Pemahaman bahwa peran opini dalam menentukan arah pergerakan pasar sangatlah besar perlu dikaji kembali. Dengan cara itulah ketidakharmonisan kebijakan antarlembaga pemerintah dapat diminimalkan.
Sebagai contoh silang pendapat antara pemerintah dan Bank Indonesia beberapa waktu lalu terkait suku bunga SBI. Kiranya kedua belah pihak sama-sama memahami bahwa ada konsekuensi negatif dari pendapat-pendapat yang dilontarkan. Semua itu berimbas pada opiniyangterjadidipasar. Ketika opini negatif yang didulang, secara otomatis risiko investasi di tanah air akan semakin tinggi.
Fenomena ini mengingatkan kita akan perlunya penerapan good corporate governance (GCG) di semua lembaga atau instansi pemangku ekonomi tanah air. GCG bukanlah sebatas wacana, namun harus menjadi spirit pelaksanaan program di lapangan. Intinya ada pada bagaimana setiap lembaga mampu mengedepankan semangat akuntabilitas publik, transparansi kebijakan, dan prinsip-prinsip kejujuran.
Berpegang pada elemen-elemen tersebut, pekerjaan rumah pemerintah kiranya masih bertumpuk- tumpuk. Ketegasan kepemimpinan yang telah ditunjukkan dinilai belum mampu membawa pasar pada sebuah kepastian ekonomi di masa depan. Kini publik tengah menanti sinkronisasi kebijakan baik antar lembaga maupun hubungan koordinasi pusat dan daerah.
Fokus pada upaya peningkatan penyerapan anggaran harus benar- benar dimonitor secara berkala agar meminimalkan setiap bentuk penyelewengan dana yang mungkin terjadi. Selain itu, langkah strategis juga perlu diarahkan pada upaya penyederhanaan jalur birokrasi untuk menarik perhatian investasi asing dalam jangka panjang.
Sampai saat ini, meski aktivitas investasi asing di pasar modal sudah berada di level 50%, namun hampir sebagian besar masih bersifat jangka pendek. Kehadiran kebijakan insentif di bidang investasi dalam negeri diharapkan mampu memperpanjang eksistensi dana tersebut dalam jangka menengah.
Bila paradigma ini dapat dilakukan, niscaya segenap elemen bangsa akan mampu mematikan alarm krisis secara bersama- sama. Semoga ini dapat menjadi sebuah gerakan moral bangsa agar Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam hal kesejahteraan ekonomi menjelang penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN pengujung tahun ini.
Ketua Program Sarjana PPM School of Management
Alarm krisis sudah berbunyi nyaring, sekeras nada saat krisis melanda di medio 1998. Sejumlah indikator ekonomi mulai masuk zona merah. Sebut saja rupiah yang perlahan namun pasti menurun ke level Rp13.000-an atau tertekan lebih dari 7% sejak perdagangan awal tahun ini.
Selanjutnya, pergerakan indeks harga saham gabungan yang kembali meninggalkan titik psikologis 5.000. Belum lagi dari sisi cadangan devisa. Hingga pengujung Mei tahun ini, cadangan devisa yang dimiliki pemerintah senilai USD110,8 miliar, lebih rendah dari nilai tahun 2014 sebesar USD110,9 miliar.
Realitas tersebut mau tak mau membuat pilihan jatuh pada peningkatan imbal hasil surat utang negara ke level 8,76% (tertinggi sejak Februari 2014) dan kenaikan credit default swap menjadi 256,5. Runyamnya situasi ekonomi dalam negeri diperburuk dengan dua isu utama baik yang bersifat internasional ataupun nasional. Dari sisi global, dampak tren perdagangan bebas telah membuat perekonomian Indonesia sangat bergantung pada fluktuasi ekonomi dunia.
Sehingga krisis Yunani, perlambatan laju pertumbuhan industri di China, serta wacana peningkatan suku bunga The Fed dalam waktu dekat turut mendera rapor kinerja keuangan dalam negeri. Realitas tersebut semakin kompleks dengan hadirnya beberapa kebijakan dalam negeri termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak. Spontan, laju inflasi terlihat mulai tak terkendali.
Terlebih beberapa saat lagi kita akan memasuki bulan puasa, dimanabayang-bayangkenaikan inflasi mulai menghantui. Ketika produsen tak lagi mampu menahan beban yang berat, beban itu pulalah yang dialihkan kepada konsumen. Namun sampai titik tertentu, ketika pasar tak lagi mampu menanggungnya maka daya beli akan berkurang drastis. Ini berarti excess output industri akan berlimpah ruah. Di sinilah ancaman perlambatan industry akan berujung pada krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Upaya mengatasi krisis kali ini berbeda dengan apa yang pernah dialami pada 1998. Pemerintah perlu mencermati era knowledge economy secara lebih tepat. Pemahaman bahwa peran opini dalam menentukan arah pergerakan pasar sangatlah besar perlu dikaji kembali. Dengan cara itulah ketidakharmonisan kebijakan antarlembaga pemerintah dapat diminimalkan.
Sebagai contoh silang pendapat antara pemerintah dan Bank Indonesia beberapa waktu lalu terkait suku bunga SBI. Kiranya kedua belah pihak sama-sama memahami bahwa ada konsekuensi negatif dari pendapat-pendapat yang dilontarkan. Semua itu berimbas pada opiniyangterjadidipasar. Ketika opini negatif yang didulang, secara otomatis risiko investasi di tanah air akan semakin tinggi.
Fenomena ini mengingatkan kita akan perlunya penerapan good corporate governance (GCG) di semua lembaga atau instansi pemangku ekonomi tanah air. GCG bukanlah sebatas wacana, namun harus menjadi spirit pelaksanaan program di lapangan. Intinya ada pada bagaimana setiap lembaga mampu mengedepankan semangat akuntabilitas publik, transparansi kebijakan, dan prinsip-prinsip kejujuran.
Berpegang pada elemen-elemen tersebut, pekerjaan rumah pemerintah kiranya masih bertumpuk- tumpuk. Ketegasan kepemimpinan yang telah ditunjukkan dinilai belum mampu membawa pasar pada sebuah kepastian ekonomi di masa depan. Kini publik tengah menanti sinkronisasi kebijakan baik antar lembaga maupun hubungan koordinasi pusat dan daerah.
Fokus pada upaya peningkatan penyerapan anggaran harus benar- benar dimonitor secara berkala agar meminimalkan setiap bentuk penyelewengan dana yang mungkin terjadi. Selain itu, langkah strategis juga perlu diarahkan pada upaya penyederhanaan jalur birokrasi untuk menarik perhatian investasi asing dalam jangka panjang.
Sampai saat ini, meski aktivitas investasi asing di pasar modal sudah berada di level 50%, namun hampir sebagian besar masih bersifat jangka pendek. Kehadiran kebijakan insentif di bidang investasi dalam negeri diharapkan mampu memperpanjang eksistensi dana tersebut dalam jangka menengah.
Bila paradigma ini dapat dilakukan, niscaya segenap elemen bangsa akan mampu mematikan alarm krisis secara bersama- sama. Semoga ini dapat menjadi sebuah gerakan moral bangsa agar Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam hal kesejahteraan ekonomi menjelang penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN pengujung tahun ini.
(bbg)