Menangkal Isu Keamanan Pangan

Kamis, 11 Juni 2015 - 08:54 WIB
Menangkal Isu Keamanan Pangan
Menangkal Isu Keamanan Pangan
A A A
Kasus ”beras plastik” telah menyedot perhatian masyarakat. Hingga kini belum ada kesimpulan yang konklusif tentang benar dan tidak ada beras palsu beredar di pasaran.

Bahkan ada pernyataan bahwa harga plastik lebih mahal daripada beras, jadi kenapa repot-repot mencampurkan plastik ke dalam beras? Isu keamanan pangan selalu menarik perhatian karena menyangkut urusan kesehatan, bahkan nyawa seseorang. Sebelumnya masalah flu burung, sapi gila, atau ditemukannya unsur babi dalam makanan halal menjadi isu hangat di masyarakat.

Bagaimana kita sebagai konsumen harus bersikap? Sebenarnya produk makanan yang beredar saat ini sudah jauh lebih aman dibandingkan beberapa dekade atau beberapa abad lalu. Karena itu, kita harus bersikap rasional dalam menanggapi isu keamanan pangan ini. Masalah keamanan pangan yang dengan cepat menjadi isu nasional atau isu global berdampak signifikan terhadap perubahan konsumsi pangan.

Permintaan akan daging ayam menurun ketika flu burung beredar, demikian pula konsumsi daging sapi berkurang saat penyakit sapi gila berjangkit. Padahal, daging ayam yang sudah dimasak diketahui tidak akan menularkan flu burung. Temuan seekor sapi gila di AS menyebabkan pelarangan impor sapi di berbagai negara, dan banyak restoran yang kemudian mengurangi penyediaan makanan berbahan baku daging sapi.

Jadi, ketakutan masyarakat telah menyebabkan mereka menjadi tidak proporsional menyikapi masalah keamanan pangan ini. Ketakutan untuk mengonsumsi makanan yang diduga tidak aman sebenarnya hanya kesalahan persepsi karena masyarakat tidak mencerna informasi secara menyeluruh. Kasus meninggalnya orang akibat flu burung terjadi karena penularan virus langsung pada korban melalui unggas yang telah terinfeksi.

Ini bisa terjadi karena korban tinggal berdekatan dengan kandang unggas. Jadi korban tidak tertular karena makan daging ayam. Namun, dampak mispersepsi ini luar biasa karena negara-negara yang bebas flu burung seperti Singapura atau Malaysia ternyata juga mengalami penurunan konsumsi daging ayam. ***

Benarkah bahwa makananmakanan kita saat ini begitu rentan terhadap persoalan keamanan pangan? Pada dasarnya kita yang hidup pada zaman modern ini telah dimanjakan dengan ketersediaan pangan yang melimpah. Teknologi penyiapan makanan yang makin baik dan penerapan undangundang untuk melindungi kesehatan masyarakat pada dasarnya telah banyak mengurangi kasus-kasus foodborne illnesses.

Sejak lama dunia industri makanan mengetahui dan menerapkan pasteurisasi, sterilisasi, sistem pengemasan aseptik, dan teknik analisis kontaminan untuk mendeteksi cemaran pada makanan. Hal ini sangat membantu masyarakat untuk memperoleh makanan yang aman. Masalah ketidakamanan pangan kadang-kadang diberitakan secara besar-besaran dan menjadi isu selama beberapa waktu di tengah-tengah masyarakat.

Ini yang menyebabkan kita menjadi tidak proporsional dalam menyikapinya. Sebagai contoh, bila suatu bahan pangan mengandung unsur kimiawi lebih tinggi, tidak berarti makanan tersebut menjadi lebih berbahaya apabila dikonsumsi. Perlu dipahami adanya batasan yang disebut acceptable daily intake (ADI) yang mengandung makna bahwa ada unsur tertentu dalam makanan asalkan masih dalam kisaran standar ADI, makanan tersebut tetap layak dan aman dikonsumsi secara harian.

Pada 2002 ilmuwan Swedia melaporkan temuannya tentang acrylamide yaitu unsur kimia ikutan yang terbentuk ketika bahan pangan digoreng atau dimasak dengan oven. Acrylamide dianggap sebagai komponen yang secara potensial membahayakan kesehatan masyarakat.

Percobaan pada hewan di laboratorium yang dipapar dengan acrylamide dosis tinggi menyebabkan terjadi penyakit kanker. Ilmuwan sebenarnya belum yakin benar, apakah acrylamide dalam dosis rendah yang ditemukan dalam makanan juga akan menyebabkan kanker.

Apabila kita terburu-buru termakan berita yang belum konklusif, ini dapat menimbulkan revolusi perubahan perilaku makan di kalangan masyarakat karena masyarakat mungkin tidak mau lagi mengonsumsi makanan yang digoreng atau dioven. ***

Untuk negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, masalah ketidakamanan pangan dapat berasal dari homeindustry yang menjual makanan dengan tambahan zat aditif yang tidak sesuai peruntukannya. Hal ini bisa dijumpai pada produk tahu yang dicampur formalin, boraks pada baso, atau pewarna tekstil pada kerupuk.

Sebagian zat aditif ini bersifat karsinogenik dan membahayakan kesehatan. Dengan ada UU Pangan, sebenarnya pemerintah bisa dengan cepat menjaring home-industry ini untuk mendapatkan sangsi hukum sesuai peraturan yang berlaku. Penggunaan pestisida yang tidak terkontrol memunculkan kecemasan akan keamanan pangan dari produk buah-buahan ataupun sayuran.

Di sisi lain, pemanfaatan pestisida secara bijak terbukti meningkatkan produksi pangan sehingga pangan tersebut dapat diakses oleh masyarakat dengan harga terjangkau. Menurut WHO, konsumsi buah dan sayuran yang rendah menduduki peringkat 10 sebagai faktor risiko penyebab kematian di dunia. Mereka yang jarang makan buah dan sayuran terbukti lebih rentan untuk menderita kanker dan penyakit jantung koroner yang mematikan.

Jadi, kalau ada orang yang tidak mau mengonsumsi buah dan sayur karena khawatir tercemar pestisida, niscaya dia akan lebih menderita akibat kurang serat yang mengakibatkan penyakit degeneratif. Sejak 2005 industri pangan di negara-negara Eropa dikenai peraturan untuk bisa menunjukkan dengan jelas rantai produksi yang menjadi sumber bahan baku pangan tersebut.

Dengan demikian, pemerintah yang berwenang bisa melacak dengan cepat apabila ada kasuskasus ketidakamanan pangan. Untuk memudahkan proses pelacakan dikembangkan peranti lunak yang dapat melacak asal bahan baku, bar-codes , dan penanda lainnya.

Selain itu, standar baku seperti Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) yang selama ini telah diterapkan oleh industri-industri besar di bidang pangan juga diberlakukan pada industri kecil. Hal ini penting agar semua pihak yang berhubungan dengan rantai industri pangan selalu menerapkan standar keamanan maksimal bagi proses produksinya.

Pada dasarnya sebagian besar makanan yang beredar di tengah- tengah masyarakat adalah aman. Namun, harus juga disadari bahwa keamanan pangan adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Kita baru menyadari ada masalah ketidakamanan pangan setelah jatuh korban.

Sebab itu, siapa pun yang secara sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan jatuhnya korban di masyarakat akibat mengonsumsi pangan yang tidak aman, sudah sepantasnya mendapat hukuman yang setimpal.

Ali Khomsan
Guru Besar Pangan dan Gizi FEMA IPB
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5520 seconds (0.1#10.140)