Tafsir Bung Karno

Senin, 08 Juni 2015 - 10:29 WIB
Tafsir Bung Karno
Tafsir Bung Karno
A A A
Dalam konteks perjalanan sejarah Indonesia, bulan Juni sering disebut sebagai Bulan Bung Karno.

Tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila, 6 Juni 1901 hari kelahiran Bung Karno, dan 21 Juni 1970 Bung Karno kembali ke pangkuan Ilahi . Buku-buku referensi Soekarno muda amatlah kaya. Ia tumbuh menjadi seorang pembelajar yang hebat, bergumul dengan banyak karya.

Dalam lintasan sejarah, tampak jelas keseriusan Bung Karno dalam menuntut ilmu, membaca dan membaca, berpikir keras, merumuskan ideologi bangsa, dan mengobarkan ”api” revolusi. Betapa dalam pengetahuannya, dan dari pergulatan pemikirannya itu memunculkan ”daya dobraknya” yang luar biasa. Soekarno muda berguru langsung dengan HOS Tjokroaminoto (guru politik).

Lalu saat menginjak usia baligh , berkisar tahun 1916 ketika berumur 15 tahun, Soekarno muda bertemu dengan ”guru ngaji ”- nya, Kiai Haji Ahmad Dahlan, 48. Soekarno muda pun terpukau dengan ceramah-ceramah kiai sang pencerah itu. Dengan keyakinan besar akan modernitas, tak mengherankan bila Bung Karno lebih merasa dekat dengan gerakan reformis Islam pada masa itu.

Mula-mula dengan SI, tapi kemudian Muhammadiyah. Ia mengenal KH Ahmad Dahlan sejak umur 15 tahun ketika pendiri Muhammadiyah itu berceramah di kalangan SI. ”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, ”saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan. Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938.”

Bahkan dalam uraiannya di depan Muktamar Muhammadiyah tahun 1962, ia berdoa agar bisa ”dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan”- nya. (Goenawan Mohammad, 2010). HOS Tjokroaminoto (1883- 1934) dan KH Ahmad Dahlan (1868-1923) tampaknya memberikan pengaruh yang amat kuat terhadap pemikiran keislaman Bung Karno.

Kemudian A Hassan dan KH Mas Mansyur. Bung Karno bergumul hebat dengan para tokoh pergerakan masa itu. Bahan bacaan ”pergerakan- ”nya pun sulit ditandingi. Berbagai referensi, pengalaman realitas bangsanya, dan perenungan-penghayatan itu memunculkan-mengobarkan ”api” pergerakan untuk kemerdekaan Indonesia. ***

Beberapa bulan menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, Bung Karno mengurai-kampanyekan gagasan emasnya yang bernama ”Pancasila”. Dasar negara merdeka (philosofische grondslag ) yang akan menjadi ideologi bangsa, fondasi, dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

Giat Wahyudi (2010) lalu menuturkan, walaupun dalam pergulatan pemikirannya diwarnai ide-ide dari pemikiran Barat, seperti nasionalisme, demokrasi dan sosialisme, spirit dan ruh Bung Karno telah diterangi cahaya Api Islam. Tema sentral pemikiran Bung Karno tentang Islam yang memberikan landasan bagi segenap aktivitasnya, seperti semangat tauhid, Islam antipenindasan, Islam tidak mengenal aristokrasi, egaliter, Islam sangat rasional- simpel dan elastis (selaras dengan kemajuan zaman).

Ide Pancasila yang dilontarkan pada 1 Juni 1945, menunjukkan pengaruh dari unsur pemikirannya tentang Islam. Hal ini bisa kita jumpai melalui pendekatan neo-Platonis, yakni berpikir adalah seni yang paling indah, puncak keindahan berpikir adalah percaya kepada Tuhan.

Mari kita simak isi pidatonya yang amat fenomenal itu (1 Juni 1945), Bung Karno mengatakan: ”Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Setelah saya mengemukakan 4 prinsip; 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial. Prinsip kelima hendaknya; Menyusun Indonesia Merdeka dengan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri.” Awalnya sila ketuhanan diletakkan pada nomor lima. Dalam ”kacamata” penulis, Bung Karno sepertinya ingin mengatakan bahwa semua sila yang ada ”tidak ada artinya” jika tidak berdasarkan ketuhanan, jika tidak diberi ”penutup” ketuhanan!

Atau yang paling memungkinkan adalah ”ketuhanan menjadi puncak pemikirannya”. Dalam pidato itu pun Bung Karno memeras lima sila itu menjadi tiga, ”...Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga; Sosio-nasionalisme, Sosio-democtratie, dan Ketuhanan....” Lalu tiga menjadi satu, Bung Karno menyatakan secara tegas, ”... Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ...

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royonggotongroyong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong....” Pekikan dahsyat itu disambut tepuk tangan riuh pada hadirin. Tentu, kolom opini ini tidaklah cukup bila kita mengurai sila-sila Pancasila satu per satu. Mungkin pada kesempatan lainnya. ***

Pemikiran Bung Karno tentang Pancasila telah melalui proses yang panjang, renungan mendalam, dan ”penafsiran” terhadap teks-teks berbagai aliran pemikiran yang mempengaruhinya. Pada saat yang sama, Bung Karno dihadapkan pada realitas bangsa yang multikultural, multietnis, berbagai agama dan golongan. Tafsir terhadap berbagai teks dan penghayatan mendalam akan realitas dan budaya bangsa yang juga dilakoninya itulah memunculkan gagasan cemerlang.

Bung Karno mengerucutkan ide-ide besarnya itu menjadi dasar sebuah negara merdeka, pijakan ideologi yang bisa menyatukan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya. Pancasila sakti lahir sebagai jawaban, sebagai ideologi yang bisa diterima seluruh elemen bangsa.

Dengan kedewasaan berpikir, Bung Karno berhasil menafsir, ”mempertemukan” antara teks dan realitas. Bung Karno adalah seorang luas pengetahuannya, termasuk pengetahuan agamanya. Hemat penulis, makna gotongroyong yang menjadi intisari Pancasila, juga tak lepas dari ”tafsir” Bung Karno terhadap ayat-ayat Alquran.

Allah SWT berfirman: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah: 2).

Di samping itu, kesadaran bahwa manusia itu ”tidak ada daya dan kekuatan, kecuali atas kehendak- Nya, kecuali atas pertolongan- Nya” (laa haula wa laa quwwaata illaa billah ), tentunya kalimat ini telah menancap kuat di hati dan pikiran Bung Karno.

Usulan ”Pancasila” sakti yang dipidatokan Bung Karno itu ditanggapi serius oleh sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan sehingga melahirkan Panitia Sembilan untuk merumuskan ulang (menyempurnakan), yang terdiri atas Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr Raden Achmad Soebardjo, Mr Prof Mohammad Yamin, SH, KH A Wahid Hasjim, H Abdoel Kahar Moezakir, Raden Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim, dan Mr Alexander Andries Maramis.

Pada 22 Juni 1945 terjadi perdebatan, hingga melahirkan Piagam Jakarta. Namun pada 17 Agustus 1945 di sore hari timbul keberatan, di antaranya disampaikan AA Maramis dan wakil-wakil dari Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan, sehingga Bung Karno segera menghubungi Bung Hatta untuk mengadakan pertemuan dengan golongan Islam, di antaranya: Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Setelah diskusi mendalam, kalimat sila pertama diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” demi menjaga kesatuan Indonesia. Sebagai anak bangsa, kita tentu amat bangga menjadi Bangsa Indonesia yang memiliki Bung Karno, Bung Hatta, dan deretan para Pahlawan Bangsa dari Sabang sampai Merauke. Kita amat kagum dengan para ”guru” Bung Karno, baik guru politiknya (HOS Tjokroaminoto), terlebih dengan ”guru ngaji”-nya (KH Ahmad Dahlan). Semoga Tuhan Yang Maha Bijaksana menempatkannya di tempat yang mulia, tempat terbaik.

Sutia budi
Wakil Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta, Anggota Fokal IMM
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5868 seconds (0.1#10.140)