Rembuk Rakyat dan Otonomi Khusus

Kamis, 04 Juni 2015 - 09:25 WIB
Rembuk Rakyat dan Otonomi Khusus
Rembuk Rakyat dan Otonomi Khusus
A A A
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali

Anda pernah menyaksikan tarian tradisional tak lande dari suku Lun Dayak di Kalimantan Timur (Kaltim)? Saya beruntung bisa menyaksikannya pada Rabu kemarin di awal Juni ini.

Sekitar 100 orang menari berjajar sambil menyanyi dan konon menyindir secara halus, tetapi mengajak bergerak bersama. Ta’lande lande’ nalan-nalan lae’e. Tarian itu dipentaskan dalam acara Rembuk Rakyat II yang diselenggarakan Awang Faroek Institute (AFI) di by safeweb"> Hotel Bumi Senyiur, Samarinda.

Anda tahu, hotel itu adalah milik seorang taipan kayu di masa lalu dan properti ternama di Kaltim, Jos Soetomo. Dia juga hadir dalam acara Rembuk Rakyat tersebut. Saya pun ikut dalam acara itu menjadi pembicara kunci untuk mengantar makna rembuk dan kajian akademis tentang kondisi Kaltim dewasa ini serta arahnya ke depan.

Ada yang menarik dari tarian tak lande tersebut. Dalam syair lagu yang mereka nyanyikan untuk mengiringi tarian tersebut, di situ terselip permintaan kepada Gubernur Kaltim Awang Faroek dan DPRD-nya agar mau memperjuangkan otonomi khusus untuk Provinsi Kaltim. Lalu, kepada Presiden Joko Widodo dan DPR, para penari itu juga meminta agar menyetujui permohonan otonomi khusus tersebut. Apa hubungan tari tak lande tersebut dengan otonomi khusus Kaltim?

Njomplang

Di negara kita saat ini otonomi khusus baru berlaku di empat provinsi dengan alasan yang berbeda-beda, yakniAceh, DKIJakarta, DI Yogyakarta, serta Papua dan Papua Barat. Di Aceh, otonomi khusus diberikan lantaran perasaan rakyat di sana terluka karena selama bertahun-tahun provinsinya menjadi Daerah Operasi Militer sehingga mencuat tuntutan ingin memisahkan diri.

Di DKI Jakarta, perlakuan khusus diberikan karena merupakan ibu kota negara. Lalu, di Yogyakarta karena peran historis provinsi itu, termasuk dengan menjadi ibu kota sementara Indonesia. Di Papua dan Papua Barat kondisinya nyaris sama dengan Aceh. Di sana otonomi khusus diberikan untuk meredam menguatnya tuntutan memisahkan diri dari NKRI.

Khusus untuk Aceh, Papua, dan Papua Barat, pemberian otonomi khusus disertai dengan alokasi dana bagi hasil migas dan pertambangan yang lebih besar ketimbang provinsi lain. Tiga provinsi itu mendapat bagian dana bagi hasil migas sebesar 70%. Artinya, seluruh dana perolehan industri minyak dan gas dari tiga provinsi tersebut, sebanyak 70%-nya dikembalikan lagi kepada provinsi-provinsi tersebut.

Pemerintah pusat hanya mendapatkan 30%-nya. Bagaimana dengan Kaltim? Njomplang. Dana dari bagi hasil minyak hanya 15,5% dan dari gas 30,5%. Padahal di provinsi ini masih banyak daerah yang terisolasi, penduduknya juga menyebar luas dan hutan mereka sudah lama dikuras pengusaha dan pejabat rakus di masa lalu.

Adapun luasnya, harap maklum, satu setengah kali Pulau Jawa! Ia menjadi lumbung energi nasional, tapi susahnya minta ampun untuk mengurus listrik. Akibatnya, listrik byar-pet. Tanpa energi, investor besar kurang tertarik. Apalagi kalau infrastrukturnya seadanya saja. Jadi dengan produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim yang tahun 2014 mencapai Rp400-an triliun dengan sebagian besar diperoleh dari industri migas, yang kembali lagi ke provinsi itu dalam bentuk dana bagi hasil migas plus bagi hasil pajak hanya sekitar Rp5 triliun.

Sebagian besar penerimaan migas masuk ke kantong pemerintah pusat. Kondisi demikianlah yang membuat masyarakat Kaltim geram. Salah satu ekspresinya adalah dalam bentuk tari tak landetadi. Bahkan sahabat saya, Awang Faroek, sempat menangis saat menyampaikan pidatonya di hadapan DPRD dalam rangka HUT ke-58 Provinsi Kaltim. Saya sempat tertegun ketika mendengar cerita ini. Sebab saya tahu persis Awang Faroek adalah sosok yang tegar dan keras hati. Bagaimana dia sampai bisa begitu emosional saat menyinggung soal otonomi khusus dalam pidatonya itu?

Siap Dikritik

Ketika berkunjung ke Kaltim dalam acara Rembuk Rakyat II yang pertama diselenggarakan pada Februari 2014dansaya juga hadir, seorang mantan camat dengan suara lantang bertanya kepada Awang Faroek. “Katanya pihak Pemprov Kaltim mau membangun pelabuhan, bandara, rel kereta api sampai jalan tol.

Semuanya mangkrak. Nggak jadi-jadi. Bagaimana ini,” serunya. Iya, infrastruktur memang menjadi persoalan serius bagi Pemprov Kaltim. Gampangnya, Kaltim disebut sebagai lumbung energi nasional, tapi mengapa listriknya masih byar-pet alias hidup mati? Harap dicatat, kondisi ini terjadi di pusat kota, di Balikpapan dan Samarinda, yang menjadi salah satu kota by safeweb"> bisnis di Kaltim.

Di daerah pedalaman kondisinya lebih parah lagi. Listrik hanya hidup pada jam 18.00 sampai 24.00. Setelah itu padam. Atau, jam 06.00 sampai 18.00, selebihnya padam. Bagaimana Kaltim mau membangun kalau pasokan listriknya seperti ini? Keluhan serupa juga terlontar mengenai pembangunan jalan tol yang tersendatsendat. Gerbangnya sudah ada, tapi pembangunan jalan tol-nya tak kunjung mulai.

Penyebabnya bisa karena perizinan (hutan), tetapi yang utama lantaran dana yang terbatas. Bahkan akibat keterbatasan dana, layanan pendidikan dan kesehatan untuk masyarakat juga tidak optimal. Padahal semua orang di luar sana bilang bahwa Kaltim adalah provinsi yang kaya. Tapi, mengapa sebagian besar masyarakatnya masih hidup dalam kemiskinan? Itu sebabnya Kaltim kemudian menuntut otonomik husus. Mereka ingin memperoleh dana bagi hasil migas yang lebih fair.

Materi-materi itulah, antara lain, yang dibahas dalam Rembuk Rakyat II. Bagi saya, ini surprise. Pertama, dari forumnya sendiri. Kata rembuk sudah sangat jarang kita dengar, baik di perdesaan maupun terlebih di kota-kota besar. Padahal rembuk rakyat semacam ini adalah wujud sesungguhnya dari demokrasi kita.

Rakyat diajak bicara, bebas menyampaikan unek-uneknya, dan terlibat langsung untuk memberikan kritik serta masukan kepada pemerintahnya. Jadi mereka bicara dan pemerintah mendengar. Bukan seperti selama ini, rakyat hanya diminta mendengar, memahami, dan akhirnya menerima apa pun kebijakan pemerintahnya.

Setahu saya, kalau kita bicara pada level pimpinan daerah, hanya dua yang secara reguler melakukan hal ini. Selain Awang Faroek, satunya lagi adalah Suyoto, yang juga dikenal dengan panggilan Kang Yoto, Bupati Bojonegoro. Seminggu sekali seusai salat Jumat, Kang Yoto menerima warga di pendapa kabupaten.

Di situ warga bebas menyampaikan aspirasinya. Kedua, adanya rembuk rakyat bagi saya juga menjadi potret dari kelapangan hati seorang pemimpin. Bayangkan, dia menyediakan forum yang di situ isinya sebagian besar adalah kritik kepada pemerintahannya. Anda tahu kan galaknya orang muda zaman sekarang? Di Kaltim, orang tua dan pensiunannya bahkan lebih galak lagi.

Kita dengan mudah menerka hal ini dengan melihat siapa yang diundang. Di Kaltim, salah satu pihak yang diundang adalah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sebuah LSM yang kerap bersuara keras terhadap tata kelola pertambangan di negara kita. Sudah terbayang di benak saya betapa kerasnya kritik Jatam.

Tapi, kalau mau maju, kita harus siap dikritik bukan? Andai saja banyak pemimpin kita, termasuk di daerah, mau melakukan ini, barangkali sumbatan-sumbatan komunikasi tak perlu terjadi dan tak perlu ada demo-demo yang bisa memicu terjadinya kekerasan. Sejatinya rakyat hanya ingin didengar dan setiap kita termasuk para pemimpin tentu mempunyai telinga.

Bukan begitu? Sebagai pemungkas, saya kutip ucapan dari mantan Presiden Amerika Serikat George W Bush. Katanya begini, “Leadership to me means duty, honor, country. It means character, and it means listening from time to time.” Di situ saya melihat bagaimana Awang Faroek merangkai sedepa demi sedepa, lewat tiga pusat ekonomi:

Balikpapan (pengolahanbatubara), Bontang (migas), dan Maloy (pengolahan sawit). Dari atas kursi rodanya, saya melihat perjuangan panjang telah ia urai. Kini tinggal memasuki tahap finishing. Sebab apa yang ia bangun di masa lalu kini justru menjadi visi nasional pemerintahan Jokowi-JK.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5112 seconds (0.1#10.140)