Gengsi Gelar Ijazah Palsu
A
A
A
LAODE IDA
Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ,
Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
Setidaknya dua kementerian di negeri ini baru saja terguncang dengan temuan ijazah palsu. Menteri Ristek dan Dikti M Nasir memperoleh laporan dari masyarakat tentang dugaan ada 18 kampus di Jabodetabek dan NTT yang terlibat pembuatan ijazah palsu.
Natsir kemudian berkoordinasi dengan Menpan Yuddy Chrisnandi untuk menindaklanjuti temuannya itu. Kasus ijazah palsu itu pun kemudian dilaporkan ke kepolisian. Sementara Yuddy Chrisnandi menerbitkan surat edaran (SE) yang ditujukan ke seluruh pimpinan lembaga/instansi pemerintah agar meningkatkan derajat ketelitian agar penggunaan ijazah palsu dapat tercegah.
Itu juga sekaligus merupakan bagian dari keseriusan pemerintah supaya tidak mainmain dengan ijazah palsu. Reaksi cepat pemerintah itu memang patut diapresiasi. Namun, apakah isu ijazah palsu itu sesuatu yang mengejutkan? Sebenarnya, setidaknya bagi saya dan banyak pihak yang memeliki perhatian serius terhadap penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, kasus ijazah palsu temuan menristek dan dikti itu ”sama sekali tidak mengejutkan”.
Bahkan sangat janggal jika indikasi seperti itu baru sekarang diketahui atau mau diributkan oleh pejabat di bidang pendidikan dan Kemeneterian PAN dan Reformasi Birokrasi. Aneh juga kalau yang terdeteksi hanya di dua daerah (Jabodetabek dan NTT) itu. Faktanya, itu sudah merebak di seluruh Tanah Air.
Fenomenanya, meski tidak sama persis dengan proses-proses lahirnya ijazah palsu, sebenarnya sudah terjadi juga di banyak perguruan tinggi negeri (PTN). Indikasi nyata yang bisa dicermati adalah dengan keberadaan berbagai kemudahan dalam memperoleh ijazah melalui berbagai proses belajar mengajar yang instan. Tengok saja misalnya pembukaan program pascasarjana (S-2 dan S-3) oleh PTN. Memang semua itu resmi.
Namun, proses-prosesnya lebih bersifat formalitas saja atau sama sekali tak ada tuntutan untuk terpenuhinya standar kualitas tertentu. Atau, memang barangkali sudah dirancang untuk tidak terstandar (unstandardized education ). Karya skripsi, tesis, dan atau disertasi pun, bukan rahasia lagi, dibuatkan oleh pihak ketiga.
Peserta didiknya hanya tahu konsultasi dengan pihak dosen pembimbing dan setelah itu tanda tangan. Pihak perguruan tinggi dan para tenaga pengajar pun, kalau mau jujur, sudah tahu proses-proses formalitas kuliah seperti itu, dianggap suatu yang wajar-wajar saja. Apalagi, para pesertanya adalah pihak yang berduit, para pejabat dari berbagai instansi yang sedang berburu gelar demi gengsi.
Singkatnya, penyelenggara pendidikan baik oleh swasta (masyarakat) maupun pihak pemerintah telah memanfaatkan atau terlibat dalam by safeweb"> bisnis ijazah” untuk melegalkan gelar atau capaian jenjang pendidikan secara formal kepada merekamereka yang mengejarnya.
Praktik bisnis pendidikan seperti itu pada dasarnya merupakan buah atau respons dari banyaknya warga bangsa yang haus gelar untuk sebuah status sosial dan atau posisi formal. Pengukuhan pemberian gelar itu diupacarakan dengan istilah ”wisuda” (graduation ceremony ) yang dihadiri oleh keluarga dengan perasaan bangga.
Pihak penyelenggara pendidikan pun memperoleh pemasukan uang dari acara penganugerahan gelar sarjana itu. Setelah itu gelar itu pun dengan mapan dilekatkan menyertai nama penerimanya. Jangan coba-coba kalau menulis nama yang bersangkutan tanpa menyertakan gelar yang disandangnya karena itu bisa membuatnya marah besar atau tersinggung.
Baik penyelenggara pemberian gelar maupun pesertanya jelas sangat tidak peduli tentang proses instan dan atau penguasaan materi sebagai substansi dari ijazah yang diperoleh. Maklum, masyarakat atau orang-orang yang ditemui pemegang ijazah seperti itu tak akan pernah berani (dan memang tak punya otoritas) untuk menguji kemampuan atau penguasaan materinya.
Pemerintah pun, jangankan menerapkan standar baku tentang penguasaan materi untuk bisa layak memperoleh gelar di bidang tertentu, proses-proses penyelenggaraannya saja dibiarkan begitu bebas. Pejabat yang berwenang pun tak mempersoalkannya karena sudah saling memahami melalui hubungan-hubungan khusus baik melalui administrasi resmi maupun informal.
Penyelenggara pendidikan pemberian gelar bahkan bisa berbagi hasil bisnis dengan oknum yang berwenang sehingga selamanya akan aman-aman saja. Kenyataan kondisional seperti itulah yang menjadikan suburnya praktik pemberian gelar di negeri ini. Tak heran kalau tiba-tiba saja sejumlah orang bergelar sarjana, magister, ataupun doktor.
Padahal, untuk memperoleh gelar kesarjanaan (apalagi setingkat doktor, PhD) sebenarnya diperlukan standar karya ilmiah tertentu, yang setidaknya diharapkan bisa bermanfaat untuk pengembangan ilmu dan atau bermanfaat bagi masyarakat di bidang tertentu. Sejenis dengan itu adalah guru besar. Begitu banyak pula hari-hari ini yang bergelar profesor. Sementara karya ilmiahnya masih dipertanyakan.
Apalagi kalau ditanyakan ”sudah berapa karya ilmiah yang diterbit di jurnal internasional yang terkait dengan bidang keahlian Sang Penyandang gelar guru besar itu”? Sungguh sulit menemukan nama mereka terpampang dalam jurnal komunitas akademis internasional. Makanya, tidak heran banyak ditemukan guru besar yang hanya ”jago kandang”. Secara pribadi saya banyak menemukan fakta orang-orang seperti itu dan lembaga pendidikan penyelenggaranya yang berstatus semacam ”francais”.
Sekali lagi, itu bukan barang baru atau bukan rahasia lagi. Tapi, tetap saja dibiarkan, bahkan sebagian difasilitasi oleh pemerintah daerah sebagai sarana agar para pejabat, pegawai, dan atau sebagian masyarakatnya peroleh gelar yang diharapkan. Bagi para pegawai, selain memiliki status sosial-lokal yang bergengsi, juga untuk memudahkan untuk penjenjangan kariernya.
Para pembaca yang budiman tak perlu kaget juga kalau banyak pejabat yang berburu gelar melalui cara-cara instan dan merusak nilai-nilai pendidikan seperti itu. Bagi mereka ini, tidak tanggung-tanggung, yang dikejar adalah gelar akademis yang tertinggi yakni doktor. Pihak perguruan tinggi pun memberi kemudahan dan menganggap itu sebagai bisnis empuk yang berkeuntungan ganda.
Pertama, berupa biaya langsung penyelenggaraan pendidikan yang biasanya jauh lebih mahal ketimbang program reguler. Program-program seperti itu niscaya tak bisa dijangkau oleh rakyat biasa, apalagi dari keluarga tergolong miskin. Kedua, para dosennya berpeluang untuk memperoleh proyekproyek tertentu yang bisa digarap oleh kelompok akademisi yang pada tingkat tertentu bisa dikatakan sudah melacurkan nilai- nilai akademis, atau setidaknya sudah jadi ”akademisi tukang”.
Ya ..., tak lain karena orientasi untuk dapat uang, mereka pun akan kerja ”proyek akademis” itu sesuai pesanan. Maka itu, tak heran jika banyak PTN membuka program doktor dengan kategori ”kelas eksekutif” yang tak lain pesertanya adalah para pejabat atau pengusaha berduit. Semua ini jadi fakta telanjang yang sebenarnya ”sudah memuakkan dan memalukan”, tetapi tetap saja dibiarkan.
Sudah pasti akan sulit diberantas karena yang jadi stakeholders-nya pun dari kalangan pejabat. Apa yang mau dikatakan di sini bahwa para pembuat ijazah palsu, baik itu resmi dikeluarkan oleh perguruan tinggi swasta maupun barangkali dicetak di pinggir jalan dengan label suatu lembaga pendidikan tertentu, merupakan bagian dari upaya memenuhi kehausan sebagian warga bangsa yang haus titel atau formalitas gelar berbekal ”selembar kertas”.
Sosiolog, Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ,
Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
Setidaknya dua kementerian di negeri ini baru saja terguncang dengan temuan ijazah palsu. Menteri Ristek dan Dikti M Nasir memperoleh laporan dari masyarakat tentang dugaan ada 18 kampus di Jabodetabek dan NTT yang terlibat pembuatan ijazah palsu.
Natsir kemudian berkoordinasi dengan Menpan Yuddy Chrisnandi untuk menindaklanjuti temuannya itu. Kasus ijazah palsu itu pun kemudian dilaporkan ke kepolisian. Sementara Yuddy Chrisnandi menerbitkan surat edaran (SE) yang ditujukan ke seluruh pimpinan lembaga/instansi pemerintah agar meningkatkan derajat ketelitian agar penggunaan ijazah palsu dapat tercegah.
Itu juga sekaligus merupakan bagian dari keseriusan pemerintah supaya tidak mainmain dengan ijazah palsu. Reaksi cepat pemerintah itu memang patut diapresiasi. Namun, apakah isu ijazah palsu itu sesuatu yang mengejutkan? Sebenarnya, setidaknya bagi saya dan banyak pihak yang memeliki perhatian serius terhadap penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, kasus ijazah palsu temuan menristek dan dikti itu ”sama sekali tidak mengejutkan”.
Bahkan sangat janggal jika indikasi seperti itu baru sekarang diketahui atau mau diributkan oleh pejabat di bidang pendidikan dan Kemeneterian PAN dan Reformasi Birokrasi. Aneh juga kalau yang terdeteksi hanya di dua daerah (Jabodetabek dan NTT) itu. Faktanya, itu sudah merebak di seluruh Tanah Air.
Fenomenanya, meski tidak sama persis dengan proses-proses lahirnya ijazah palsu, sebenarnya sudah terjadi juga di banyak perguruan tinggi negeri (PTN). Indikasi nyata yang bisa dicermati adalah dengan keberadaan berbagai kemudahan dalam memperoleh ijazah melalui berbagai proses belajar mengajar yang instan. Tengok saja misalnya pembukaan program pascasarjana (S-2 dan S-3) oleh PTN. Memang semua itu resmi.
Namun, proses-prosesnya lebih bersifat formalitas saja atau sama sekali tak ada tuntutan untuk terpenuhinya standar kualitas tertentu. Atau, memang barangkali sudah dirancang untuk tidak terstandar (unstandardized education ). Karya skripsi, tesis, dan atau disertasi pun, bukan rahasia lagi, dibuatkan oleh pihak ketiga.
Peserta didiknya hanya tahu konsultasi dengan pihak dosen pembimbing dan setelah itu tanda tangan. Pihak perguruan tinggi dan para tenaga pengajar pun, kalau mau jujur, sudah tahu proses-proses formalitas kuliah seperti itu, dianggap suatu yang wajar-wajar saja. Apalagi, para pesertanya adalah pihak yang berduit, para pejabat dari berbagai instansi yang sedang berburu gelar demi gengsi.
Singkatnya, penyelenggara pendidikan baik oleh swasta (masyarakat) maupun pihak pemerintah telah memanfaatkan atau terlibat dalam by safeweb"> bisnis ijazah” untuk melegalkan gelar atau capaian jenjang pendidikan secara formal kepada merekamereka yang mengejarnya.
Praktik bisnis pendidikan seperti itu pada dasarnya merupakan buah atau respons dari banyaknya warga bangsa yang haus gelar untuk sebuah status sosial dan atau posisi formal. Pengukuhan pemberian gelar itu diupacarakan dengan istilah ”wisuda” (graduation ceremony ) yang dihadiri oleh keluarga dengan perasaan bangga.
Pihak penyelenggara pendidikan pun memperoleh pemasukan uang dari acara penganugerahan gelar sarjana itu. Setelah itu gelar itu pun dengan mapan dilekatkan menyertai nama penerimanya. Jangan coba-coba kalau menulis nama yang bersangkutan tanpa menyertakan gelar yang disandangnya karena itu bisa membuatnya marah besar atau tersinggung.
Baik penyelenggara pemberian gelar maupun pesertanya jelas sangat tidak peduli tentang proses instan dan atau penguasaan materi sebagai substansi dari ijazah yang diperoleh. Maklum, masyarakat atau orang-orang yang ditemui pemegang ijazah seperti itu tak akan pernah berani (dan memang tak punya otoritas) untuk menguji kemampuan atau penguasaan materinya.
Pemerintah pun, jangankan menerapkan standar baku tentang penguasaan materi untuk bisa layak memperoleh gelar di bidang tertentu, proses-proses penyelenggaraannya saja dibiarkan begitu bebas. Pejabat yang berwenang pun tak mempersoalkannya karena sudah saling memahami melalui hubungan-hubungan khusus baik melalui administrasi resmi maupun informal.
Penyelenggara pendidikan pemberian gelar bahkan bisa berbagi hasil bisnis dengan oknum yang berwenang sehingga selamanya akan aman-aman saja. Kenyataan kondisional seperti itulah yang menjadikan suburnya praktik pemberian gelar di negeri ini. Tak heran kalau tiba-tiba saja sejumlah orang bergelar sarjana, magister, ataupun doktor.
Padahal, untuk memperoleh gelar kesarjanaan (apalagi setingkat doktor, PhD) sebenarnya diperlukan standar karya ilmiah tertentu, yang setidaknya diharapkan bisa bermanfaat untuk pengembangan ilmu dan atau bermanfaat bagi masyarakat di bidang tertentu. Sejenis dengan itu adalah guru besar. Begitu banyak pula hari-hari ini yang bergelar profesor. Sementara karya ilmiahnya masih dipertanyakan.
Apalagi kalau ditanyakan ”sudah berapa karya ilmiah yang diterbit di jurnal internasional yang terkait dengan bidang keahlian Sang Penyandang gelar guru besar itu”? Sungguh sulit menemukan nama mereka terpampang dalam jurnal komunitas akademis internasional. Makanya, tidak heran banyak ditemukan guru besar yang hanya ”jago kandang”. Secara pribadi saya banyak menemukan fakta orang-orang seperti itu dan lembaga pendidikan penyelenggaranya yang berstatus semacam ”francais”.
Sekali lagi, itu bukan barang baru atau bukan rahasia lagi. Tapi, tetap saja dibiarkan, bahkan sebagian difasilitasi oleh pemerintah daerah sebagai sarana agar para pejabat, pegawai, dan atau sebagian masyarakatnya peroleh gelar yang diharapkan. Bagi para pegawai, selain memiliki status sosial-lokal yang bergengsi, juga untuk memudahkan untuk penjenjangan kariernya.
Para pembaca yang budiman tak perlu kaget juga kalau banyak pejabat yang berburu gelar melalui cara-cara instan dan merusak nilai-nilai pendidikan seperti itu. Bagi mereka ini, tidak tanggung-tanggung, yang dikejar adalah gelar akademis yang tertinggi yakni doktor. Pihak perguruan tinggi pun memberi kemudahan dan menganggap itu sebagai bisnis empuk yang berkeuntungan ganda.
Pertama, berupa biaya langsung penyelenggaraan pendidikan yang biasanya jauh lebih mahal ketimbang program reguler. Program-program seperti itu niscaya tak bisa dijangkau oleh rakyat biasa, apalagi dari keluarga tergolong miskin. Kedua, para dosennya berpeluang untuk memperoleh proyekproyek tertentu yang bisa digarap oleh kelompok akademisi yang pada tingkat tertentu bisa dikatakan sudah melacurkan nilai- nilai akademis, atau setidaknya sudah jadi ”akademisi tukang”.
Ya ..., tak lain karena orientasi untuk dapat uang, mereka pun akan kerja ”proyek akademis” itu sesuai pesanan. Maka itu, tak heran jika banyak PTN membuka program doktor dengan kategori ”kelas eksekutif” yang tak lain pesertanya adalah para pejabat atau pengusaha berduit. Semua ini jadi fakta telanjang yang sebenarnya ”sudah memuakkan dan memalukan”, tetapi tetap saja dibiarkan.
Sudah pasti akan sulit diberantas karena yang jadi stakeholders-nya pun dari kalangan pejabat. Apa yang mau dikatakan di sini bahwa para pembuat ijazah palsu, baik itu resmi dikeluarkan oleh perguruan tinggi swasta maupun barangkali dicetak di pinggir jalan dengan label suatu lembaga pendidikan tertentu, merupakan bagian dari upaya memenuhi kehausan sebagian warga bangsa yang haus titel atau formalitas gelar berbekal ”selembar kertas”.
(bbg)