Pesan Waisak Lawan Kebiadaban
A
A
A
TOM SAPTAATMAJA
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa suci dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gautama, yaitu: kelahiran Sidhartha Gautama yang masih calon Buddha, pencapaian pencerahan sempurna Pangeran Sidharta menjadi Buddha, serta mangkatnya Sang Buddha.
Tiga peristiwa agung itu terjadi pada hari yang sama, yaitu hari purnama sidi, bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda. Sebab Sidharta lahir pada 623 SM di Kapilavasthu, India Utara. Pencerahannya sehingga disebut Buddha terjadi pada 588 SM di Bodhgaya, India, dan mangkatnya Sang Buddha pada usia 80 tahun, di Kusinara, India. Hari Trisuci Waisak 2559 tahun ini jatuh pada 2 Juni 2015.
Pangeran Siddharta pernah diramal kelak apabila tidak menjadi raja akan menjadi petapa. Ayahnya yang raja tidak menginginkan putra mahkotanya menjadi petapa. Karena itu, ia membesarkan Pangeran dengan segala kesenangan dan kemewahan dan menjauhkan dari orang-orang yang mengalami kesusahan.
Pangeran dinikahkan dengan Putri Yasodhara yang memberinya seorang putra. Namun, selalu ada kegelisahan dalam jiwanya, tiap kali Pangeran menyaksikan bagaimana orang menderita, ditelanusia tua, sakit, dan mati. Pangeran terus bertanya bagaimana semua itu terjadi. Maka pada usia 29 tahun, Pangeran mengambil keputusan besar yang kelak mengubah sejarah hidupnya, bahkan dunia.
Dia memilih menjadi rakyat jelata dan menjadi satu dengan yang menderita serta melupakan segala yang berbau duniawi. Banyak guru ditemui, tetapi tidak satu pun mampu menunjukkan cara mengatasi penderitaan. Dia berpuasa menahan lapar hingga maut hampir merenggutnya.
Lalu, timbul kesadaran untuk mengambil jalan tengah, menghindari dua bentuk ekstrem: mengumbar nafsu dan menyiksa diri. Akhirnya, pada usia 35 tahun, Pangeran berhasil mencapai pencerahan atau Penerangan Sempurna. Dia menjadi Buddha.
Ajaran Mulia
Buddha tidak hanya mengajarkan spiritualitas personal, tetapi juga struktural. Dia mendirikan struktur monastik, yang dinamakan Sangha, yang membawa orang, individual, dan kelompok melatih diri mengatasi penderitaan. Sangha adalah komunitas yang membongkar struktur sosial yang timpang dan diskriminatif.
Atas dasar kasih sayang Sangha bertugas melayani dan membahagiakan masyarakat banyak. Itulah cara mengubah penderitaan dengan rahmat bagi semesta alam. Momentum Waisak adalah kesempatan bagi umat Buddha memperjuangkan nilai kemanusiaan daripada sekadar mempertahankan simbolisme agama yang kosong. Apalagi, dalam teologi Buddhis, agama hanyalah rakit.
Orang beragama menggunakanrakit, tidakharusdimiliki, karena kalau seseorang melekat pada apa pun, kemelekatan itu dalam kehidupan rohani akan merugikan. Tiap rakit punya keunikan, kecepatan dan jenis yang berbeda. Meski demikian, tujuannya sama: ke pantai seberang. Karena itu, ajaran Buddha menegaskan bahwa mengorbankan manusia demi kepentingan agama secara fundamental keliru dan sulit diterima akal sehat. Sebab, agama bukan tujuan.
Agama hanyalah jalan. Menurut Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, banyak sekali orang menganggap agama sama dengan Tuhan, padahal agama bukan Tuhan. Agama juga terlalu rendah jika dipakai sebagai kendaraan politik, apalagi jika untuk membenarkan segala bentuk kekerasan.
Maka umat Buddha senantiasa berharap agar perayaan Waisak membawa pencerahan dan kebebasan dari segala penderitaan. Pesan Waisak mengajak umat Buddha senantiasa mengasah kembali kesadaran dan pengendalian diri dari perbuatan jahat. Pesan itu dilandasi konsep Dhamma bahwa pikiran menjadi lokomotif dari suatu tindakan.
Kecam Kebiadaban Atas Rohingya
Terdorong oleh ajaran mulia di atas, maka umat Buddha merasa jengah ketika terjadi halhal yang bertentangan dengan ajaran tersebut. Tidak heran organisasi kemasyarakatan Buddha se-Jawa Timur baru-baru ini menggelar aksi unjuk rasa mengecam penindasan dan pembantaian etnis muslim Rohingya oleh mayoritas umat Buddha Myanmar di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jumat (22 Mei 2015).
Menurut Pengurus Wali Umat Buddha (Walubi) Jawa Timur, Romo Sunarto, tidak ada ajaran dalam agama mana pun yang membolehkan penindasan terhadap umat agama lain. Karena itu, pihaknya mengutuk keras tindakan umat Buddha Myanmar yang menindas minoritas muslim Rohingya. Penindasan itu melanggar moralitas agama Buddha.
Memang menurut Romo Sunarto, kebiadaban yang terjadi pada etnis Rohingya merupakan eksternalisasi dari pikiran jahat dari pihak junta militer dan umat Buddha Myanmar, yang diselimuti kebencian. Kebencian itu menyusup secara perlahan ke dalam pikiran, ketika nafsu angkara murka akibat ingin berkuasa atas orang lain sudah sedemikian kuat mencengkeram.
Yang menarik dalam unjuk rasa itu ormas Islam dan agama lain juga ikut. Karena itu, agar kasus keji terhadap Rohingya tidak merambat ke mana-mana, termasuk Indonesia, umat Buddha bersama umat beragama apa pun perlu belajar menghapus kebencian dan siap menaburkan kasih dalam kerangka memahami, menghormati, dan mengembangkan toleransi.
Kita juga belajar toleran di tengah perbedaan etnis, agama, suku bangsa, dan budaya yang ada. Cinta kasih yang luas kepada semua orang melampaui segala perbedaan, karena cinta kasih yang universal akan meluaskan pikiran baik, menyingkap sekat pembatas dan menjadi kekuatan sejati dalam membina persaudaraan antarsesama.
Seperti sabda Sang Buddha: ”Kebencian tidak akan pernah usai jika dibalas dengan kebencian, tapi kebencian akan berakhir dengan cinta kasih. Inilah hukum yang abadi.” (Dhammapada 5). Selama ini hambatan primordial untuk mencintai sesama adalah egoisme. Kepentingan diri membuat orang memberi tanpa ketulusan. Kepentingan diri membuat kita melihat sesama manusia sebagai ”yang lain”.
Orang lain pun dijadikan alat pemuas untuk arogansi diri. Bahkan yang tidak sependapat, bisa diinjak-injak, asal ”aku” senang sendiri. Bumi pun lalu menangis menyaksikan perilaku manusia diselimuti amuk kegelapan dan kebiadaban. Bumi meronta menatap kaum jelata kelaparan di tengah pusaran perut penguasa atau pengusaha yang tak beradab.
Bumi mengecam para elite yang tidak peduli nasib korban luapan lumpur sial Lapindo, meski sudah sembilan tahun berlalu. Bumi mengutuk para pemimpin yang pandai mengumbar janji kesejahteraan, tapi giliran berkuasa, sudah menjadi lupa di tengah nasib buruk kaum miskin. Bumi merintih dan menjerit akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa henti.
Waisak harus menjadi momentum mengintrospeksi diri. Ajaran Buddha perlu jadi referensi untuk pembentukan sikap dan tingkah laku yang lebih beradab. Jadi, mari kita semua kembali ke ajaran mulia agama yang kita anut. Sedang sebagai bangsa Indonesia, kita perlu menengok dan mengimplementasikan lagi sila-sila dalam Pancasila (Kebetulan 1 Juni 2015 adalah peringatan hari lahir Pancasila), agar tidak terjadi kebiadaban yang mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan.
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa suci dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gautama, yaitu: kelahiran Sidhartha Gautama yang masih calon Buddha, pencapaian pencerahan sempurna Pangeran Sidharta menjadi Buddha, serta mangkatnya Sang Buddha.
Tiga peristiwa agung itu terjadi pada hari yang sama, yaitu hari purnama sidi, bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda. Sebab Sidharta lahir pada 623 SM di Kapilavasthu, India Utara. Pencerahannya sehingga disebut Buddha terjadi pada 588 SM di Bodhgaya, India, dan mangkatnya Sang Buddha pada usia 80 tahun, di Kusinara, India. Hari Trisuci Waisak 2559 tahun ini jatuh pada 2 Juni 2015.
Pangeran Siddharta pernah diramal kelak apabila tidak menjadi raja akan menjadi petapa. Ayahnya yang raja tidak menginginkan putra mahkotanya menjadi petapa. Karena itu, ia membesarkan Pangeran dengan segala kesenangan dan kemewahan dan menjauhkan dari orang-orang yang mengalami kesusahan.
Pangeran dinikahkan dengan Putri Yasodhara yang memberinya seorang putra. Namun, selalu ada kegelisahan dalam jiwanya, tiap kali Pangeran menyaksikan bagaimana orang menderita, ditelanusia tua, sakit, dan mati. Pangeran terus bertanya bagaimana semua itu terjadi. Maka pada usia 29 tahun, Pangeran mengambil keputusan besar yang kelak mengubah sejarah hidupnya, bahkan dunia.
Dia memilih menjadi rakyat jelata dan menjadi satu dengan yang menderita serta melupakan segala yang berbau duniawi. Banyak guru ditemui, tetapi tidak satu pun mampu menunjukkan cara mengatasi penderitaan. Dia berpuasa menahan lapar hingga maut hampir merenggutnya.
Lalu, timbul kesadaran untuk mengambil jalan tengah, menghindari dua bentuk ekstrem: mengumbar nafsu dan menyiksa diri. Akhirnya, pada usia 35 tahun, Pangeran berhasil mencapai pencerahan atau Penerangan Sempurna. Dia menjadi Buddha.
Ajaran Mulia
Buddha tidak hanya mengajarkan spiritualitas personal, tetapi juga struktural. Dia mendirikan struktur monastik, yang dinamakan Sangha, yang membawa orang, individual, dan kelompok melatih diri mengatasi penderitaan. Sangha adalah komunitas yang membongkar struktur sosial yang timpang dan diskriminatif.
Atas dasar kasih sayang Sangha bertugas melayani dan membahagiakan masyarakat banyak. Itulah cara mengubah penderitaan dengan rahmat bagi semesta alam. Momentum Waisak adalah kesempatan bagi umat Buddha memperjuangkan nilai kemanusiaan daripada sekadar mempertahankan simbolisme agama yang kosong. Apalagi, dalam teologi Buddhis, agama hanyalah rakit.
Orang beragama menggunakanrakit, tidakharusdimiliki, karena kalau seseorang melekat pada apa pun, kemelekatan itu dalam kehidupan rohani akan merugikan. Tiap rakit punya keunikan, kecepatan dan jenis yang berbeda. Meski demikian, tujuannya sama: ke pantai seberang. Karena itu, ajaran Buddha menegaskan bahwa mengorbankan manusia demi kepentingan agama secara fundamental keliru dan sulit diterima akal sehat. Sebab, agama bukan tujuan.
Agama hanyalah jalan. Menurut Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera, banyak sekali orang menganggap agama sama dengan Tuhan, padahal agama bukan Tuhan. Agama juga terlalu rendah jika dipakai sebagai kendaraan politik, apalagi jika untuk membenarkan segala bentuk kekerasan.
Maka umat Buddha senantiasa berharap agar perayaan Waisak membawa pencerahan dan kebebasan dari segala penderitaan. Pesan Waisak mengajak umat Buddha senantiasa mengasah kembali kesadaran dan pengendalian diri dari perbuatan jahat. Pesan itu dilandasi konsep Dhamma bahwa pikiran menjadi lokomotif dari suatu tindakan.
Kecam Kebiadaban Atas Rohingya
Terdorong oleh ajaran mulia di atas, maka umat Buddha merasa jengah ketika terjadi halhal yang bertentangan dengan ajaran tersebut. Tidak heran organisasi kemasyarakatan Buddha se-Jawa Timur baru-baru ini menggelar aksi unjuk rasa mengecam penindasan dan pembantaian etnis muslim Rohingya oleh mayoritas umat Buddha Myanmar di Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jumat (22 Mei 2015).
Menurut Pengurus Wali Umat Buddha (Walubi) Jawa Timur, Romo Sunarto, tidak ada ajaran dalam agama mana pun yang membolehkan penindasan terhadap umat agama lain. Karena itu, pihaknya mengutuk keras tindakan umat Buddha Myanmar yang menindas minoritas muslim Rohingya. Penindasan itu melanggar moralitas agama Buddha.
Memang menurut Romo Sunarto, kebiadaban yang terjadi pada etnis Rohingya merupakan eksternalisasi dari pikiran jahat dari pihak junta militer dan umat Buddha Myanmar, yang diselimuti kebencian. Kebencian itu menyusup secara perlahan ke dalam pikiran, ketika nafsu angkara murka akibat ingin berkuasa atas orang lain sudah sedemikian kuat mencengkeram.
Yang menarik dalam unjuk rasa itu ormas Islam dan agama lain juga ikut. Karena itu, agar kasus keji terhadap Rohingya tidak merambat ke mana-mana, termasuk Indonesia, umat Buddha bersama umat beragama apa pun perlu belajar menghapus kebencian dan siap menaburkan kasih dalam kerangka memahami, menghormati, dan mengembangkan toleransi.
Kita juga belajar toleran di tengah perbedaan etnis, agama, suku bangsa, dan budaya yang ada. Cinta kasih yang luas kepada semua orang melampaui segala perbedaan, karena cinta kasih yang universal akan meluaskan pikiran baik, menyingkap sekat pembatas dan menjadi kekuatan sejati dalam membina persaudaraan antarsesama.
Seperti sabda Sang Buddha: ”Kebencian tidak akan pernah usai jika dibalas dengan kebencian, tapi kebencian akan berakhir dengan cinta kasih. Inilah hukum yang abadi.” (Dhammapada 5). Selama ini hambatan primordial untuk mencintai sesama adalah egoisme. Kepentingan diri membuat orang memberi tanpa ketulusan. Kepentingan diri membuat kita melihat sesama manusia sebagai ”yang lain”.
Orang lain pun dijadikan alat pemuas untuk arogansi diri. Bahkan yang tidak sependapat, bisa diinjak-injak, asal ”aku” senang sendiri. Bumi pun lalu menangis menyaksikan perilaku manusia diselimuti amuk kegelapan dan kebiadaban. Bumi meronta menatap kaum jelata kelaparan di tengah pusaran perut penguasa atau pengusaha yang tak beradab.
Bumi mengecam para elite yang tidak peduli nasib korban luapan lumpur sial Lapindo, meski sudah sembilan tahun berlalu. Bumi mengutuk para pemimpin yang pandai mengumbar janji kesejahteraan, tapi giliran berkuasa, sudah menjadi lupa di tengah nasib buruk kaum miskin. Bumi merintih dan menjerit akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa henti.
Waisak harus menjadi momentum mengintrospeksi diri. Ajaran Buddha perlu jadi referensi untuk pembentukan sikap dan tingkah laku yang lebih beradab. Jadi, mari kita semua kembali ke ajaran mulia agama yang kita anut. Sedang sebagai bangsa Indonesia, kita perlu menengok dan mengimplementasikan lagi sila-sila dalam Pancasila (Kebetulan 1 Juni 2015 adalah peringatan hari lahir Pancasila), agar tidak terjadi kebiadaban yang mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan.
(bbg)