Membaca Arah Revisi UU Bank Indonesia
A
A
A
Pada awal 2015, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019.
Salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang termasuk sebagai Prolegnas Prioritas adalah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Agenda revisi UU BI terbilang cukup mendesak, mengingat fungsi dan kewenangannya yang semakin mengundang polemik setelah terbentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai amanat UUNo 23Tahun1999 tentang BI.
Kelahiran OJK tidak sekadar mengoptimalkan perlindungan serta kepercayaan masyarakat pada pemanfaatan jasa keuangan dan perbankan, tapi sekaligus memberi efek yuridis bagi posisi dan peran BI sebagai pelaksana kebijakan moneter, pengatur, dan penjaga kelancaran sistem pembayaran. Pada gilirannya, tuntutan revisi terhadap UU BI menjadi sebuah keharusan.
Dengan demikian, kekhawatiran tentang tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara OJK dan BI bisa diatasi. Dalam konteks tersebut, agenda revisi UU BI sejatinya mengerucut pada ihwal yang mendemarkasi peran dan kewenangan masing-masing institusi. Secara khusus, revisi UU BI juga berusaha menemukan kembali (reinventing) peran BI yang cenderung berada dalam area sumir (grey area) dan berbagi peran dengan OJK yang justru memerlukan kinerja yang sinergis.
Beberapa poin penting penguatan dan perubahan yang bisa diajukan adalah: pertama, BI sebagai fully policy maker. Kewenangan dalam pengelolaan kebijakan bukanlah hal baru. Dengan tegas UU mencantumkan tugas kebijakan moneter sebagai salah satu kewenangan BI. Kebijakan tersebut difungsikan dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah serta menjaga inflasi.
Meski demikian, kondisi aktual nilai rupiah yang sedang terpuruk seakan menenggelamkan peran BI yang berlindung di balik argumentasi kondisi global. Walau pada prinsipnya, pandangan BI tidak boleh diganggu oleh komentar-komentar yang bisa mengusik independensinya dalam menjalankan tugas mulia menjaga kepentingan ekonomi nasional.
Kedua, penegasankewenangan kebijakan macro-prudential. Merujuk pada poin pertama, BI sejatinya lebih terfokus pada kebijakan macro-prudential yaitu kebijakan moneter untuk menjaga inflasi, suku bunga, dan stabilitas rupiah, mengelola cadangan devisa serta sistem pembayaran nasional.
OJK diarahkan pada kebijakan micro-prudential, berupa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di industri keuangan baik industri perbankan maupun pasar modal dan industri keuangan nonbank seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, serta lembaga keuangan mikro.
Muncul kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih/overlapping dalam pelaksanaan kebijakan pengawasan macroprudential yang dibuat oleh BI dan kebijakan pengawasan microprudential rancangan OJK. Walaupun pengawasan macroprudential dan pengawasan micro-prudential masing-masing memiliki tujuan yang berbeda, tetap saja membutuhkan koordinasi dalam penerapannya.
Pengawasan macro-prudential bertujuan untuk mengarahkan dan mendorong bank sekaligus mengawasinya agar dapat berperan dalam berbagai program pencapaian ekonomi makro. Sementara pengawasan microprudential bertujuan untuk mengupayakan agar setiap bank secara individual senantiasa berada dalam keadaan sehat sehingga mampu menjaga kepercayaan masyarakat sebagai kunci utama dalam bisnis perbankan.
Ketiga, penjaga stabilitas. Perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, sistem keuangan yang semakin maju, serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi mengharuskan kebijakan moneter seharusnya dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah. Upaya menjaga stabilitas inilah yang sepenuhnya membuat BI memiliki peran sebagai “lender of the last resort “ (LOLR).
Dalam UU BI, peran tersebut tidak termaktub dengan jelas, tegas, dan rinci, selain sebagai pertimbangan terkait fungsi dan kewenangan BI. Sebagaimana peran macro-prudential yang juga tidak disebutkan dengan tegas, sudah seharusnya peran penjaga stabilitas ini membuat institusi BI tampak perkasa di tengah gejolak nilai tukar rupiah yang setiap saat mengintai.
Pada titik inilah, kita memahami makna independensi BI, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 UU BI sesuai dengan Pasal 23D UUD 1945. Independensi dimaknai sebagai keterlepasan dan kemandirian BI dalam mengelola kebijakannya, tanpa intervensi negara/ pemerintah (political interest) yang dipandang sarat kepentingan tertentu.
Namun, independensi ini tidak bisa dipakai untuk melindungi institusi dari kritik yang justru bersifat konstruktif demi kepentingan masyarakat. Apalagi berlindung dalam kekuasaannya demi menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain, salah satu mindset yang dikandung oleh revisi UU BI adalah independensi dalam proses, tidak dalam tujuan.
Memetakan Peran Baru BI
Berdasarkan tiga fokus penguatan sekaligus perubahan di atas, peran BI dan OJK bisa dipetakan. Pengaturan dan pengawasan yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut ditempatkan secara proporsional. Sejak terbentuk OJK, peran BI sebagai bank sentral tidak lagi mencakup tugas pengawasan perbankan. Fungsi dan kewenangan BI lebih pada pengawalan stabilitas moneter, stabilitas sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.
Hal ini berbeda dengan kewenangan sebelumnya, di mana BI berperan aktif dalam 2 (dua) hal sekaligus yakni macroprudential supervision dan microprudential supervision. BI berkewajiban melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan atau perekonomian.
BI juga berkewajiban melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Dalih pengawasan sistem pembayaran inilah yang membuat BI sebagai Bank Sentral masih berhubungan langsung dengan industri perbankan.
Terlepasnya sistem pembayaran kepada OJK membuat BI lebih fokus mengurus dan menjaga stabilitas nilai rupiah dan inflasi serta pembuatan regulasi. Dengan kewenangan yang terfokus, Bank Sentral diharapkan bisa mengakhiri sebagian lemahnya koordinasi antara BI dan OJK.
Sebagaimana kita ketahui, lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara BI dan OJK berakibat pada kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan. Demikian juga pada fungsi lender of the last resort BI yang tidak berjalan optimal disebabkan minimnya informasi yang dimiliki oleh BI tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembaga keuangan individual yang saat ini berada di bawah pantauan OJK.
Peran BI ke depan harus difungsikan sebagai Bank Sentral yang memiliki tugas utama yang terfokus pada macroprudential dan policy maker. Karena sebagai Bank Sentral yang independen, BI perlu berjarak dengan industri. Untuk itu, sistem pembayaran yang selama ini masih ada dalam kewenangan BI harus secara ikhlas dilepaskan kepada OJK.
Karena itu, pemetaan peran yang jelas dan tegas menjadi bahan masukan bagi revisi UU BI. Sejumlah wilayah abu-abu yang berpotensi menyisakan tanda tanya dan persoalan bagi sistem keuangan secara keseluruhan seharusnya menjadi clear dan terang dalam hasil revisi UU BI tersebut.
Pada akhirnya, revisi UU BI akan melerai sengkarut fungsi dan kewenangan yang melingkupi institusi BI dan OJK. Ke depan kita akan melihat sinergitas kinerja kedua institusi tersebut di bawah payung perundang-undangan yang saling mendukung satu sama lain.
Mukhamad Misbakhun
Anggota Komisi XI DPR RI
Salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang termasuk sebagai Prolegnas Prioritas adalah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Agenda revisi UU BI terbilang cukup mendesak, mengingat fungsi dan kewenangannya yang semakin mengundang polemik setelah terbentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai amanat UUNo 23Tahun1999 tentang BI.
Kelahiran OJK tidak sekadar mengoptimalkan perlindungan serta kepercayaan masyarakat pada pemanfaatan jasa keuangan dan perbankan, tapi sekaligus memberi efek yuridis bagi posisi dan peran BI sebagai pelaksana kebijakan moneter, pengatur, dan penjaga kelancaran sistem pembayaran. Pada gilirannya, tuntutan revisi terhadap UU BI menjadi sebuah keharusan.
Dengan demikian, kekhawatiran tentang tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara OJK dan BI bisa diatasi. Dalam konteks tersebut, agenda revisi UU BI sejatinya mengerucut pada ihwal yang mendemarkasi peran dan kewenangan masing-masing institusi. Secara khusus, revisi UU BI juga berusaha menemukan kembali (reinventing) peran BI yang cenderung berada dalam area sumir (grey area) dan berbagi peran dengan OJK yang justru memerlukan kinerja yang sinergis.
Beberapa poin penting penguatan dan perubahan yang bisa diajukan adalah: pertama, BI sebagai fully policy maker. Kewenangan dalam pengelolaan kebijakan bukanlah hal baru. Dengan tegas UU mencantumkan tugas kebijakan moneter sebagai salah satu kewenangan BI. Kebijakan tersebut difungsikan dalam rangka mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah serta menjaga inflasi.
Meski demikian, kondisi aktual nilai rupiah yang sedang terpuruk seakan menenggelamkan peran BI yang berlindung di balik argumentasi kondisi global. Walau pada prinsipnya, pandangan BI tidak boleh diganggu oleh komentar-komentar yang bisa mengusik independensinya dalam menjalankan tugas mulia menjaga kepentingan ekonomi nasional.
Kedua, penegasankewenangan kebijakan macro-prudential. Merujuk pada poin pertama, BI sejatinya lebih terfokus pada kebijakan macro-prudential yaitu kebijakan moneter untuk menjaga inflasi, suku bunga, dan stabilitas rupiah, mengelola cadangan devisa serta sistem pembayaran nasional.
OJK diarahkan pada kebijakan micro-prudential, berupa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di industri keuangan baik industri perbankan maupun pasar modal dan industri keuangan nonbank seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, serta lembaga keuangan mikro.
Muncul kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih/overlapping dalam pelaksanaan kebijakan pengawasan macroprudential yang dibuat oleh BI dan kebijakan pengawasan microprudential rancangan OJK. Walaupun pengawasan macroprudential dan pengawasan micro-prudential masing-masing memiliki tujuan yang berbeda, tetap saja membutuhkan koordinasi dalam penerapannya.
Pengawasan macro-prudential bertujuan untuk mengarahkan dan mendorong bank sekaligus mengawasinya agar dapat berperan dalam berbagai program pencapaian ekonomi makro. Sementara pengawasan microprudential bertujuan untuk mengupayakan agar setiap bank secara individual senantiasa berada dalam keadaan sehat sehingga mampu menjaga kepercayaan masyarakat sebagai kunci utama dalam bisnis perbankan.
Ketiga, penjaga stabilitas. Perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin kompleks, sistem keuangan yang semakin maju, serta perekonomian internasional yang semakin kompetitif dan terintegrasi mengharuskan kebijakan moneter seharusnya dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai rupiah. Upaya menjaga stabilitas inilah yang sepenuhnya membuat BI memiliki peran sebagai “lender of the last resort “ (LOLR).
Dalam UU BI, peran tersebut tidak termaktub dengan jelas, tegas, dan rinci, selain sebagai pertimbangan terkait fungsi dan kewenangan BI. Sebagaimana peran macro-prudential yang juga tidak disebutkan dengan tegas, sudah seharusnya peran penjaga stabilitas ini membuat institusi BI tampak perkasa di tengah gejolak nilai tukar rupiah yang setiap saat mengintai.
Pada titik inilah, kita memahami makna independensi BI, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 UU BI sesuai dengan Pasal 23D UUD 1945. Independensi dimaknai sebagai keterlepasan dan kemandirian BI dalam mengelola kebijakannya, tanpa intervensi negara/ pemerintah (political interest) yang dipandang sarat kepentingan tertentu.
Namun, independensi ini tidak bisa dipakai untuk melindungi institusi dari kritik yang justru bersifat konstruktif demi kepentingan masyarakat. Apalagi berlindung dalam kekuasaannya demi menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dengan kata lain, salah satu mindset yang dikandung oleh revisi UU BI adalah independensi dalam proses, tidak dalam tujuan.
Memetakan Peran Baru BI
Berdasarkan tiga fokus penguatan sekaligus perubahan di atas, peran BI dan OJK bisa dipetakan. Pengaturan dan pengawasan yang dimiliki oleh kedua institusi tersebut ditempatkan secara proporsional. Sejak terbentuk OJK, peran BI sebagai bank sentral tidak lagi mencakup tugas pengawasan perbankan. Fungsi dan kewenangan BI lebih pada pengawalan stabilitas moneter, stabilitas sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.
Hal ini berbeda dengan kewenangan sebelumnya, di mana BI berperan aktif dalam 2 (dua) hal sekaligus yakni macroprudential supervision dan microprudential supervision. BI berkewajiban melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan atau perekonomian.
BI juga berkewajiban melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Dalih pengawasan sistem pembayaran inilah yang membuat BI sebagai Bank Sentral masih berhubungan langsung dengan industri perbankan.
Terlepasnya sistem pembayaran kepada OJK membuat BI lebih fokus mengurus dan menjaga stabilitas nilai rupiah dan inflasi serta pembuatan regulasi. Dengan kewenangan yang terfokus, Bank Sentral diharapkan bisa mengakhiri sebagian lemahnya koordinasi antara BI dan OJK.
Sebagaimana kita ketahui, lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara BI dan OJK berakibat pada kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan. Demikian juga pada fungsi lender of the last resort BI yang tidak berjalan optimal disebabkan minimnya informasi yang dimiliki oleh BI tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembaga keuangan individual yang saat ini berada di bawah pantauan OJK.
Peran BI ke depan harus difungsikan sebagai Bank Sentral yang memiliki tugas utama yang terfokus pada macroprudential dan policy maker. Karena sebagai Bank Sentral yang independen, BI perlu berjarak dengan industri. Untuk itu, sistem pembayaran yang selama ini masih ada dalam kewenangan BI harus secara ikhlas dilepaskan kepada OJK.
Karena itu, pemetaan peran yang jelas dan tegas menjadi bahan masukan bagi revisi UU BI. Sejumlah wilayah abu-abu yang berpotensi menyisakan tanda tanya dan persoalan bagi sistem keuangan secara keseluruhan seharusnya menjadi clear dan terang dalam hasil revisi UU BI tersebut.
Pada akhirnya, revisi UU BI akan melerai sengkarut fungsi dan kewenangan yang melingkupi institusi BI dan OJK. Ke depan kita akan melihat sinergitas kinerja kedua institusi tersebut di bawah payung perundang-undangan yang saling mendukung satu sama lain.
Mukhamad Misbakhun
Anggota Komisi XI DPR RI
(ftr)