Teror Gaya Hidup
A
A
A
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
Setiap berjalan-jalan ke mal atau pusat perbelanjaan, khususnya di wilayah Jakarta Selatan, ingatan saya sering kali kembali ke masa lalu ketika masih tinggal di Desa Pabelan, Kabupaten Magelang.
Saat berjalan-jalan ke kota, muncul perasaan kagum, senang tetapi juga perih ketika melihat toko serta restoran besar, mewah, dan gemerlap yang tak terjangkau harganya bagi keluarga desa nan miskin seperti saya. Perasaan kalah dan tertindas oleh kesombongan kapitalisme yang berpusat di kota itu muncul lagi ketika masuk mal yang menawarkan dagangan bermerek beken (branded) yang dikemas secara rapi, gemerlap, dan memesona pengunjung.
Bagi pengunjung yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), saya tahu betul berapa besar gaji resmi yang diterima setiap bulannya. Kalau mereka window shopping di mal bersama keluarganya, barang berikut harga yang dijajakan itu rasanya tak mungkin bisa terbeli. Akhirnya, cukuplah mereka menikmati suasana mal dengan duduk-duduk di food court memilih makanan dan minuman yang harga makanannya masih terjangkau.
Suasana teror gaya hidup konsumtif mulai dirasakan begitu pengunjung masuk halaman mal. Berjejer mobil-mobil mewah memenuhi halaman parkir. Gaya hidup mewah dan konsumtif kini pun bukan lagi godaan, melainkan sudah meningkat seakan menjadi teror. Pikiran dan selera masyarakat dihadang oleh iklan terutama melalui layar televisi.
Masyarakat dijejali barangbarang konsumtif sejak dari minuman, makanan, peralatan dapur, parfum, kendaraan, sandal, sepatu, pakaian hingga seluruh pernik-pernik yang membangkitkan selera masyarakat untuk bisa mencoba dan memilikinya. Lewat iklan dan mal, semua itu disajikan sedemikian rupa untuk menggoda masyarakat agar membeli gaya hidup, bukannya membeli fungsi primernya.
Para pekerja rumah tangga punsebagiangajinyahabisuntuk membeli handphone dan pulsa yang semula masuk tabungan untuk dikirim ke kampungnya. Dibandingkan semasa Orde Baru, jumlah pengguna telepon genggam dan pemilik televisi jumlahnya berlipat. Begitu pun jumlah saluran televisi, pilihannya semakin banyak dengan sajian acara yang sebagian semakin tidak bermutu dan miskin muatan edukasi.
Ketika kondisi ekonomi dan politik melelahkan, televisi memanfaatkan kelesuan ini dengan sajian acaraacara ringan yang menghibur. Bahkan mimbar agama pun jika sajiannya kering, kurang menghibur, akan ditinggal pemirsanya. Sebuah program televisi biasanya tak akan bertahan kalau tidak ada iklan yang mendukungnya.
Di sisi sponsor, mereka tidak mau pasang iklan jika acara televisi terbukti rating-nya rendah. Saya sekali-sekali mengamati berbagai ragam sajian televisi dan menghitung berapa banyak iklan sponsornya. Di situ terdapat korelasi antara acara yang rating -nya tinggi dengan banyaknya iklan. Sinetron dan acara dangdut termasuk banyak iklannya, berarti memiliki rating tinggi.
Apa maknanya ini? Rakyat dijejali iklan-iklan yang menawarkan gaya hidup konsumtif serta penampilan artis tampan dan cantik yang berhasil mengubah hidup tanpa harus sekolah tinggi-tinggi. Bahkan acara televisi sering kali memamerkan kekayaan para artis itu yang diraih secara cepat. Ini tentu menimbulkan imajinasi dan fantasi anakanak muda untuk menjadi selebritas lewat jalan pintas sehingga setiap diadakan audisi untuk kontes penyanyi yang ragamnya kian merebak, jumlah peminatnya fantastis.
Tentu di satu sisi ini sangat positif bagi masyarakat, bahwa media massa telah membuka jalan dan akses bagi anak-anak muda berbakat untuk berkarya dan berjuang mengubah nasibnya melalui bakat seni yang mereka miliki. Namun, sekali lagi, ekses teror gaya hidup konsumtif dan glamor telah merusak mental masyarakat. Coba saja perhatikan.
Di mana-mana berdiri mal sebagai perpanjangan pemilik modal besar yang membunuh usaha-usaha ekonomi rakyat kecil. Sampai di kota-kota kecil di daerah pun berdiri mal yang tentu menarik masyarakat untuk berkunjung karena dilengkapi dengan AC sehingga ruangnya sejuk, harga bersaing, dan pelayanan bagus. Masyarakat ke mal tidak saja sekadar ingin membeli barang, tetapi juga rekreasi.
Berita yang lagi heboh minggu ini adalah tertangkapnya selebritas yang terlibat jaringan prostitusi di kalangan atas. Menurut beberapa analis, penyebabnya tak lain adalah mereka telah terjerat dalam gaya hidup yang serba-glamor, mewah, uang banyak, pakaian mahal, rumah dan kendaraan mewah tanpa harus kerja keras dan pendidikan tinggi. Ironis dan menyedihkan.
Di saat pertumbuhan ekonomi menurun, lapangan kerja tidak tumbuh, sementara jumlah penduduk kian meningkat, yang berkembang pesat justru peredaran narkoba dan gaya hidup konsumtif- glamor di kalangan selebritas dan politisi. Nalar saya tidak sampai untuk memahami ini.
Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
Setiap berjalan-jalan ke mal atau pusat perbelanjaan, khususnya di wilayah Jakarta Selatan, ingatan saya sering kali kembali ke masa lalu ketika masih tinggal di Desa Pabelan, Kabupaten Magelang.
Saat berjalan-jalan ke kota, muncul perasaan kagum, senang tetapi juga perih ketika melihat toko serta restoran besar, mewah, dan gemerlap yang tak terjangkau harganya bagi keluarga desa nan miskin seperti saya. Perasaan kalah dan tertindas oleh kesombongan kapitalisme yang berpusat di kota itu muncul lagi ketika masuk mal yang menawarkan dagangan bermerek beken (branded) yang dikemas secara rapi, gemerlap, dan memesona pengunjung.
Bagi pengunjung yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), saya tahu betul berapa besar gaji resmi yang diterima setiap bulannya. Kalau mereka window shopping di mal bersama keluarganya, barang berikut harga yang dijajakan itu rasanya tak mungkin bisa terbeli. Akhirnya, cukuplah mereka menikmati suasana mal dengan duduk-duduk di food court memilih makanan dan minuman yang harga makanannya masih terjangkau.
Suasana teror gaya hidup konsumtif mulai dirasakan begitu pengunjung masuk halaman mal. Berjejer mobil-mobil mewah memenuhi halaman parkir. Gaya hidup mewah dan konsumtif kini pun bukan lagi godaan, melainkan sudah meningkat seakan menjadi teror. Pikiran dan selera masyarakat dihadang oleh iklan terutama melalui layar televisi.
Masyarakat dijejali barangbarang konsumtif sejak dari minuman, makanan, peralatan dapur, parfum, kendaraan, sandal, sepatu, pakaian hingga seluruh pernik-pernik yang membangkitkan selera masyarakat untuk bisa mencoba dan memilikinya. Lewat iklan dan mal, semua itu disajikan sedemikian rupa untuk menggoda masyarakat agar membeli gaya hidup, bukannya membeli fungsi primernya.
Para pekerja rumah tangga punsebagiangajinyahabisuntuk membeli handphone dan pulsa yang semula masuk tabungan untuk dikirim ke kampungnya. Dibandingkan semasa Orde Baru, jumlah pengguna telepon genggam dan pemilik televisi jumlahnya berlipat. Begitu pun jumlah saluran televisi, pilihannya semakin banyak dengan sajian acara yang sebagian semakin tidak bermutu dan miskin muatan edukasi.
Ketika kondisi ekonomi dan politik melelahkan, televisi memanfaatkan kelesuan ini dengan sajian acaraacara ringan yang menghibur. Bahkan mimbar agama pun jika sajiannya kering, kurang menghibur, akan ditinggal pemirsanya. Sebuah program televisi biasanya tak akan bertahan kalau tidak ada iklan yang mendukungnya.
Di sisi sponsor, mereka tidak mau pasang iklan jika acara televisi terbukti rating-nya rendah. Saya sekali-sekali mengamati berbagai ragam sajian televisi dan menghitung berapa banyak iklan sponsornya. Di situ terdapat korelasi antara acara yang rating -nya tinggi dengan banyaknya iklan. Sinetron dan acara dangdut termasuk banyak iklannya, berarti memiliki rating tinggi.
Apa maknanya ini? Rakyat dijejali iklan-iklan yang menawarkan gaya hidup konsumtif serta penampilan artis tampan dan cantik yang berhasil mengubah hidup tanpa harus sekolah tinggi-tinggi. Bahkan acara televisi sering kali memamerkan kekayaan para artis itu yang diraih secara cepat. Ini tentu menimbulkan imajinasi dan fantasi anakanak muda untuk menjadi selebritas lewat jalan pintas sehingga setiap diadakan audisi untuk kontes penyanyi yang ragamnya kian merebak, jumlah peminatnya fantastis.
Tentu di satu sisi ini sangat positif bagi masyarakat, bahwa media massa telah membuka jalan dan akses bagi anak-anak muda berbakat untuk berkarya dan berjuang mengubah nasibnya melalui bakat seni yang mereka miliki. Namun, sekali lagi, ekses teror gaya hidup konsumtif dan glamor telah merusak mental masyarakat. Coba saja perhatikan.
Di mana-mana berdiri mal sebagai perpanjangan pemilik modal besar yang membunuh usaha-usaha ekonomi rakyat kecil. Sampai di kota-kota kecil di daerah pun berdiri mal yang tentu menarik masyarakat untuk berkunjung karena dilengkapi dengan AC sehingga ruangnya sejuk, harga bersaing, dan pelayanan bagus. Masyarakat ke mal tidak saja sekadar ingin membeli barang, tetapi juga rekreasi.
Berita yang lagi heboh minggu ini adalah tertangkapnya selebritas yang terlibat jaringan prostitusi di kalangan atas. Menurut beberapa analis, penyebabnya tak lain adalah mereka telah terjerat dalam gaya hidup yang serba-glamor, mewah, uang banyak, pakaian mahal, rumah dan kendaraan mewah tanpa harus kerja keras dan pendidikan tinggi. Ironis dan menyedihkan.
Di saat pertumbuhan ekonomi menurun, lapangan kerja tidak tumbuh, sementara jumlah penduduk kian meningkat, yang berkembang pesat justru peredaran narkoba dan gaya hidup konsumtif- glamor di kalangan selebritas dan politisi. Nalar saya tidak sampai untuk memahami ini.
(bbg)