Kutukan Permissiveness
A
A
A
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Sekularisme adalah paham yang memisahkan nilainilai agamawi dari urusan duniawi. Sekularisme mengakibatkan terjadi ”permissiveness” (keserbabolehan) dalam masyarakat Barat sebagai penganut paham ini.
Pemerintah Swedia pernah membentuk Panitia Nasional meriset hubungan seks di kalangan remaja. Carel Gustav Boethus, sekretaris Panitia Nasional, mengatakan: ”Premarital sex relations are common and young people in most contries regard this all right.”(Hubungan seks pria-wanita di luar nikah sudah biasa dan generasi muda di kebanyakan negara Barat menganggapnya tidak apaapa).
Perkembangan moralitas baru ini mewujud dalam bentuk diadakannya naturist camps atau nudist camp (perkampungan kaum telanjang). Terjadi commercialization of sex (komersialisasi seks) dalam skala besar dalam bentuk sex expo, prostitusi, pornografi, night life, dan night clubyang mempertontonkan strip tease(tarian telanjang), erotic show (pertunjukan erotis), maraknya tabloid dan majalah porno (seperti Playboy) serta blue film.
Lewat lirik-lirik lagu, propaganda permissivenessitu juga gencar diserukan. Roderick Maredith dalam majalah Plain Truth (No 3 Maret 1971) menyebut permissiveness sebagai ”curse of western society” (kutukan terhadap masyarakat Barat). Maredith membeberkan akibat yang ditimbulkan permissiveness di Amerika Serikat (AS) sebagai berikut: (1) Kejahatan meningkat hampir sembilan kali lipat secepat populasi.
(2) Sepertiga kelahiran bayi pertama pada 1964-1966 berasal dari luar perkawinan. (3) Pada 1969 diperkirakan 400.000 kelahiran bayi tidak sah. (4) Suatu survei terbuka menyatakan setidak-tidaknya 50% anak perempuan mengalami putus sekolah karena hamil. (5) Penyakit kelamin keadaannya tidak terkontrol. (6) Lebih sejuta wanita setiap tahunnya melakukan aborsi ilegal.
(7) Sebanyak 8000 orang meninggal dunia diperkirakan akibat aborsi ilegal. (8) Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian pelajar di lingkungan college. Begitulah akibat permissiveness di AS dan akibat serupa ini terjadi pula pada bangsa-bangsa Barat lainnya yang telah menjadi permissive society. Banyak orang Barat sudah menerima ”permissiveness psychology”.
Mereka mengatakan: ”There is no eternal truth, there can be no fixed standards by which we can judge any issues, no way of knowing what is right or wrong and certainly no God to look to for guidance.” (Tidak ada kebenaran abadi, tidak ada ukuran yang pasti untuk menghukumi sesuatu, tidak ada jalan untuk mengetahui yang benar dan yang salah, tentunya tidak ada Tuhan yang bisa memimpin).
Mereka tidak mengakui nilai-nilai kebenaran abadi dan tidak mengenal cara untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Pandangan inilah yang telah menimbulkan ”permissiveness” itu. Moralitas baru yang bernama permissivenessini melenyapkan batas antara yang halal dan yang haram di bidang moral seksual.
Moralitas baru ini tidak mempunyai nilai moral yang pasti atau tidak memiliki ukuran moral yang mutlak karena kepercayaan kepada Tuhan dan akhirat telah dilucuti. Moral permisif ini sebenarnya adalah ”moral relativism” di mana kriteria baik dan buruk diserahkan kepada subjektivitas perseorangan.
Menjamurnya permissiveness di Barat karena kebanyakan masyarakat Barat melucuti bimbingan Tuhan. Agama ditinggalkan, akibatnya normanorma moral seksual juga diabaikan, dosa dianggap ringan, kepercayaan kepada Tuhan dianggap kuno dan takhayul belaka.
David Raphael Klein dalam majalah Reader’s Digest (edisi April 1970) melukiskan ini: ”Pada suatu saat dalam perjajalan sejarah, orang Barat kehilangan kepercayaan kepada Tuhan sebagai kekuasaan tersendiri, sebagai pemutus nasibnya, dan sebagai hakim tertinggi atas perbuatan-perbuatannya. Paham bahwa Tuhan menciptakan manusia dipandang telah kuno: kita manusia mengalami evolusi (berkembang dari bentuk-bentuk sederhana menjadi wujud yang sekarang ini).
Pikiran tentang neraka adalah indah, tetapi tidak lagi meyakinkan. Hidup mulai dilihat sedikit-banyak sebagai suatu yang relatif, ringan, dan bersifat sosiologis dan, bagi orang banyak, dosa itu dipandang sebagai suatu hal yang dibuat- buat saja. Sesudah beribu- ribu tahun hidup di bawah kekuasaan berbagai Tuhan, manusia memandang kepercayaan yang demikian itu sebagai kuno dan takhayul.”
Pandangan hidup sekuler inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Barat memandang kepercayaan kepada Tuhan sebagai sesuatu yang kuno dan takhayul semata. Nietzsche bahkan berteriak keras: Tuhan telah mati (God was dead). Hilangnya kepercayaan kepada Tuhan menyebabkan hilang pula rasa takut terhadap ancaman neraka. Mereka acuh tak acuh terhadap harapan-harapan kenikmatan surga, yang mereka jalani adalah hidup, mati, dan usailah sudah.
Persis seperti dikatakan Klein: In freeing himself of the terror of hell, he gave up his hope of heaven: you live, you die, that is the end of it. (Dengan membebaskan diri dari rasa takut terhadap ancaman neraka, dia (orang Barat) melepaskan pula harapannya akan kenikmatan surga: kamu hidup, kamu mati, dan selesailah sudah).
Demikianlah ”kutukan” permissiveness yang menimpa dunia Barat. ”Kutukan” permissiveness dalam batas tertentu juga sudah menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Di negeri ini permissivenessdi bidang hubungan seksual semakin merebak. Terjadi prostitusi online di rumah kos di Tebet dan apartemen Kalibata City (Jakarta), Bandung, Surabaya, Jember, dan kota-kota lainnya.
Terakhir, polisi di Jakarta membongkar jaringan prostitusi kelas atas yang melibatkan seorang artis (berinisial AA bertarif Rp80-200 juta) dan mucikarinya. Bukankah ini merupakan ”kutukan” permissiveness? Profesor Jaques Barzun menyerukan: ”Restore God to the fullness of His Reality” (Kembalikan Tuhan kepada kedudukan-Nya yang sesungguhnya!).
Selama Tuhan tidak dikembalikan kepada kedudukan-Nya yang sejati, selama itu pula nilai-nilai ketuhanan tidak akan tercermin dalam setiap perilaku moral. Pesan Profesor Jaques Barzun itu berlaku universal, termasuk juga bagi pelaku moral permisif di negeri ini.
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Sekularisme adalah paham yang memisahkan nilainilai agamawi dari urusan duniawi. Sekularisme mengakibatkan terjadi ”permissiveness” (keserbabolehan) dalam masyarakat Barat sebagai penganut paham ini.
Pemerintah Swedia pernah membentuk Panitia Nasional meriset hubungan seks di kalangan remaja. Carel Gustav Boethus, sekretaris Panitia Nasional, mengatakan: ”Premarital sex relations are common and young people in most contries regard this all right.”(Hubungan seks pria-wanita di luar nikah sudah biasa dan generasi muda di kebanyakan negara Barat menganggapnya tidak apaapa).
Perkembangan moralitas baru ini mewujud dalam bentuk diadakannya naturist camps atau nudist camp (perkampungan kaum telanjang). Terjadi commercialization of sex (komersialisasi seks) dalam skala besar dalam bentuk sex expo, prostitusi, pornografi, night life, dan night clubyang mempertontonkan strip tease(tarian telanjang), erotic show (pertunjukan erotis), maraknya tabloid dan majalah porno (seperti Playboy) serta blue film.
Lewat lirik-lirik lagu, propaganda permissivenessitu juga gencar diserukan. Roderick Maredith dalam majalah Plain Truth (No 3 Maret 1971) menyebut permissiveness sebagai ”curse of western society” (kutukan terhadap masyarakat Barat). Maredith membeberkan akibat yang ditimbulkan permissiveness di Amerika Serikat (AS) sebagai berikut: (1) Kejahatan meningkat hampir sembilan kali lipat secepat populasi.
(2) Sepertiga kelahiran bayi pertama pada 1964-1966 berasal dari luar perkawinan. (3) Pada 1969 diperkirakan 400.000 kelahiran bayi tidak sah. (4) Suatu survei terbuka menyatakan setidak-tidaknya 50% anak perempuan mengalami putus sekolah karena hamil. (5) Penyakit kelamin keadaannya tidak terkontrol. (6) Lebih sejuta wanita setiap tahunnya melakukan aborsi ilegal.
(7) Sebanyak 8000 orang meninggal dunia diperkirakan akibat aborsi ilegal. (8) Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian pelajar di lingkungan college. Begitulah akibat permissiveness di AS dan akibat serupa ini terjadi pula pada bangsa-bangsa Barat lainnya yang telah menjadi permissive society. Banyak orang Barat sudah menerima ”permissiveness psychology”.
Mereka mengatakan: ”There is no eternal truth, there can be no fixed standards by which we can judge any issues, no way of knowing what is right or wrong and certainly no God to look to for guidance.” (Tidak ada kebenaran abadi, tidak ada ukuran yang pasti untuk menghukumi sesuatu, tidak ada jalan untuk mengetahui yang benar dan yang salah, tentunya tidak ada Tuhan yang bisa memimpin).
Mereka tidak mengakui nilai-nilai kebenaran abadi dan tidak mengenal cara untuk mengetahui yang benar dan yang salah. Pandangan inilah yang telah menimbulkan ”permissiveness” itu. Moralitas baru yang bernama permissivenessini melenyapkan batas antara yang halal dan yang haram di bidang moral seksual.
Moralitas baru ini tidak mempunyai nilai moral yang pasti atau tidak memiliki ukuran moral yang mutlak karena kepercayaan kepada Tuhan dan akhirat telah dilucuti. Moral permisif ini sebenarnya adalah ”moral relativism” di mana kriteria baik dan buruk diserahkan kepada subjektivitas perseorangan.
Menjamurnya permissiveness di Barat karena kebanyakan masyarakat Barat melucuti bimbingan Tuhan. Agama ditinggalkan, akibatnya normanorma moral seksual juga diabaikan, dosa dianggap ringan, kepercayaan kepada Tuhan dianggap kuno dan takhayul belaka.
David Raphael Klein dalam majalah Reader’s Digest (edisi April 1970) melukiskan ini: ”Pada suatu saat dalam perjajalan sejarah, orang Barat kehilangan kepercayaan kepada Tuhan sebagai kekuasaan tersendiri, sebagai pemutus nasibnya, dan sebagai hakim tertinggi atas perbuatan-perbuatannya. Paham bahwa Tuhan menciptakan manusia dipandang telah kuno: kita manusia mengalami evolusi (berkembang dari bentuk-bentuk sederhana menjadi wujud yang sekarang ini).
Pikiran tentang neraka adalah indah, tetapi tidak lagi meyakinkan. Hidup mulai dilihat sedikit-banyak sebagai suatu yang relatif, ringan, dan bersifat sosiologis dan, bagi orang banyak, dosa itu dipandang sebagai suatu hal yang dibuat- buat saja. Sesudah beribu- ribu tahun hidup di bawah kekuasaan berbagai Tuhan, manusia memandang kepercayaan yang demikian itu sebagai kuno dan takhayul.”
Pandangan hidup sekuler inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Barat memandang kepercayaan kepada Tuhan sebagai sesuatu yang kuno dan takhayul semata. Nietzsche bahkan berteriak keras: Tuhan telah mati (God was dead). Hilangnya kepercayaan kepada Tuhan menyebabkan hilang pula rasa takut terhadap ancaman neraka. Mereka acuh tak acuh terhadap harapan-harapan kenikmatan surga, yang mereka jalani adalah hidup, mati, dan usailah sudah.
Persis seperti dikatakan Klein: In freeing himself of the terror of hell, he gave up his hope of heaven: you live, you die, that is the end of it. (Dengan membebaskan diri dari rasa takut terhadap ancaman neraka, dia (orang Barat) melepaskan pula harapannya akan kenikmatan surga: kamu hidup, kamu mati, dan selesailah sudah).
Demikianlah ”kutukan” permissiveness yang menimpa dunia Barat. ”Kutukan” permissiveness dalam batas tertentu juga sudah menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Di negeri ini permissivenessdi bidang hubungan seksual semakin merebak. Terjadi prostitusi online di rumah kos di Tebet dan apartemen Kalibata City (Jakarta), Bandung, Surabaya, Jember, dan kota-kota lainnya.
Terakhir, polisi di Jakarta membongkar jaringan prostitusi kelas atas yang melibatkan seorang artis (berinisial AA bertarif Rp80-200 juta) dan mucikarinya. Bukankah ini merupakan ”kutukan” permissiveness? Profesor Jaques Barzun menyerukan: ”Restore God to the fullness of His Reality” (Kembalikan Tuhan kepada kedudukan-Nya yang sesungguhnya!).
Selama Tuhan tidak dikembalikan kepada kedudukan-Nya yang sejati, selama itu pula nilai-nilai ketuhanan tidak akan tercermin dalam setiap perilaku moral. Pesan Profesor Jaques Barzun itu berlaku universal, termasuk juga bagi pelaku moral permisif di negeri ini.
(bbg)