Lokalisasi Prostitusi

Senin, 27 April 2015 - 09:40 WIB
Lokalisasi Prostitusi
Lokalisasi Prostitusi
A A A
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mewacanakan perlunya dibuat lokalisasi prostitusi. Usulan Ahok dalam menertibkan maraknya praktik prostitusi di wilayah Ibu Kota negara tersebut menimbulkan pro-kontra.

Banyak masyarakat yang menolak ide Ahok tersebut. Namun tak sedikit pula yang setuju. Yang setuju rata-rata berpendapat bahwa lokalisasi akan lebih memudahkan pemerintah untuk melakukan pengaturan, pendataan, serta pencegahan persebaran virus HIV/AIDS. Dengan lokalisasi, diharapkan ada uang pajak yang masuk ke pemerintah. Sementara yang menentang rencana lokalisasi berpendapat bahwa hal itu tidak akan menjadi solusi yang efektif.

Lokalisasi sama saja melegalkan prostitusi yang dampaknya begitu luas bagi perusakan moral di masyarakat. Karena agama apa pun di dunia ini tidak ada yang memperbolehkan prostitusi. Prostitusi bukan hal baru. Bisnis esek-esek ini sudah ada sejak zaman dahulu. Banyak cara telah dilakukan untuk menghapus bisnis ”lendir” ini, toh pelacuran tetap saja masih ada.

Bahkan mereka punya modus yang kian canggih untuk mengelabui para penegak hukum. Karena itu, bukan hal mudah memang untuk memberantas prostitusi di Indonesia termasuk di Jakarta. Seperti halnya hukum ekonomi, selama masih ada permintaan, bisnis esek-esek masih tetap akan ada. Terlebih hukuman yang diterapkan sangat ringan.

Meski begitu, sulit bukan berarti tidak bisa. Ingat ide lokalisasi prostitusi di Jakarta sudah ada pada tahun 1970-an. Sedikit mereviu, Gubernur Ali Sadikin kala itu membangun Lokalisasi Kramat Tunggak. Lokalisasi ini dibangun sebenarnya untuk menyadarkan dan membina para pekerja seks komersial (PSK) di Jakarta, terutama dikawasan Pasar Senen, Kramat, dan Pejompongan.

Namun pada praktiknya banyak mucikari yang memanfaatkan berkumpulnya PSK tersebut untuk mendirikan rumah-rumah pelacuran di sekitar lokalisasi hingga meluas sampai 12 hektare. Tak salah kalau Lokalisasi Kramat Tunggak terbesar di Asia Tenggara. Karena sudah begitu memprihatinkan dampaknya, tahun 1999 Lokalisasi Kramat Tunggak akhirnya ditutup oleh Gubernur Sutiyoso.

Lokalisasi prostitusi tersebut kemudian diganti dengan berdirinya Jakarta Islamic Centre. Fenomena Kramat Tunggak itu sebenarnya bukti tidak efektifnya kebijakan lokalisasi prostitusi. Apa pun alasannya, dampak yang ditimbulkan lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya.

Lokalisasi Dolly di Surabaya yang kini sudah ditutup juga bisa memberikan gambaran nyata bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah untuk melegalkan pelacuran. Karena memang tak ada keuntungan yang didapat dari lokalisasi. Pendapatan pajak pun pasti tidak sebanding dengan hancurnya moral masyarakat. Ide Ahok untuk melokalisasi prostitusi jelas harus dipikirkan kembali matang-matang.

Lokalisasi ini akan membuat para wanita yang malasakan lebih mudah terjun kedunia prostitusi karena merasa aman secara hukum. Lokalisasi juga akan menyuburkan praktik trafficking. Sekali lagi, bukan hal mustahil jika pemerintah sungguh-sungguh dalam memberantas bisnis prostitusi. Pemerintah dan aparat keamanan jangan hanya menjadi petugas pemadam kebakaran seperti yang terjadi saat ini.

Setelah ada kasus pembunuhan Tata Chubby, Pemprov DKI tiba-tiba rajin menggerebek kos-kosan atau apartemen yang diduga dijadikan tempat-tempat prostitusi. Begitu pun polisi rajin menangkapi para pelaku bisnis esek-esek yang dijajakan lewat dunia maya (online). Tentu ini ironis karena praktik prostitusi di kos-kosan maupun apartemen hingga berjualan lewat jalur onlinesudah lama marak.

Kebijakan setengah hati dalam memberantas bisnis pelacuran tentu tidak akan membuahkan hasil optimal. Selain penegakan hukum yang tegas, pemerintah perlu juga lebih menggalakan lagi sosialisasi bahaya melakukan seks bebas baik di sekolah maupun di masyarakat.

Peran serta masyarakat untuk membantu memberantas bisnis prostitusi juga diperlukan, terutama dalam melakukan pengawasan di lingkungan masing-masing. Dengan niat baik dan kerja sama yang serius antara pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat, bukan sebuah mimpi untuk memberantas bisnis prostitusi di Indonesia, termasuk DK Jakarta.

Memberantas prostitusi sekaligus akan melindungi generasi muda yang notabene menjadi penerus pembangunan bangsa ke depan.
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4826 seconds (0.1#10.140)