Presiden dan sistem pemerintahan
A
A
A
PEMILU 2014 semakin dekat salah satunya pemilihan presiden (pilpres). Menyongsong pilpres tersebut, saya akan mendedikasikan seluruh kolom Novum saya selanjutnya untuk mendiskusikan soal-soal kepresidenan.
Kolom minggu lalu sudah mengulas tentang sejarah kepresidenan. Kolom kali ini akan mengulas soal macam sistem pemerintahan yang salah satunya sistem presidensial. Tentang sistem pemerintahan ini penting untuk dipahami karena saat ini seringkali muncul pendapat, sistem pemerintahan kita tidak jelas karena mengandung karakteristik parlementer. Sistem pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan, pun tidak sama dengan bentuk negara.
Bentuk pemerintahan ada dua: republik dan kerajaan. Bentuk negara terbagi tiga: kesatuan, federal, dan konfederasi. Meski berbeda, sistem pemerintahan mempunyai korelasi kuat dengan bentuk pemerintahan. Presidensial adalah sistem pemerintahan dalam bentuk republik. Sedangkan pemerintahan kerajaan, sistem pemerintahannya adalah monarki. Korelasi yang serupa tidak ada antara sistem pemerintahan dan bentuk negara. Sistem pemerintahan presidensial terdapat di bentuk negara kesatuan, federal, ataupun konfederasi.
Selain sistem pemerintahan presidensial dan monarki, ada tiga sistem pemerintahan yang lain: sistem parlementer, sistem campuran (hibrida), dan sistem kolegial (collegial system). Sistem pemerintahan monarki mungkin pengertiannya agak tercampur dengan bentuk pemerintahan kerajaan. Yang jelas bentuk pemerintahan kerajaan berkaitan dengan kepala pemerintahan dan kepala negara yang dijabat secara turun-temurun kepada sang raja. Contoh negara yang masih menerapkan sistem ini adalah Brunei Darussalam dan Arab Saudi.
Model lain, sistem parlementer di antaranya dilaksanakan di Inggris, Australia, dan Malaysia. Kepala pemerintahannya dipimpin oleh seorang perdana menteri. Perdana menteri diangkat dari partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas di parlemen. Sedangkan kepala negara tidak dilaksanakan oleh perdana menteri. Di Inggris dipegang oleh ratu; di Malaysia oleh sultan; di Australia oleh gubernur jenderal, yang masih di bawah pengaruh Ratu Inggris.
Perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sedangkan raja (ratu atau sultan) selaku kepala negara tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong). Berdasarkan sistem pertanggungjawaban demikian, perdana menteri dankabinetnya diklasifikasikan sebagai eksekutif sesungguhnya (real executive), di sisi lain, kepala negara hanya merupakan pimpinan simbolik (nominal executive).
Sebagai pemimpin simbolik raja lebih banyak melaksanakan kerja-kerja seremonial. Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial yang hanya diterapkan dalam bentuk negara republik, sistem parlementer bentuk pemerintahannya dapat dilaksanakan pada bentuk negara republik maupun kerajaan. Sistem pemerintahan lainnya adalah campuran (hibrida) pertama kali dikembangkan oleh Prancis pada masa republik kelima, dimulai pada 1958. Karena itu disebut pula sebagai sistem Prancis (French system) atau sistem semipresidensial (semipresidential system).
Sistem ini menggabungkan beberapa elemen sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Peran kepala negara dijalankan oleh presiden, sedangkan kepala pemerintahan dilakukan oleh perdana menteri. Meski selaku kepala negara, presiden tidak hanya menjalankan tugas-tugas seremonial yang simbolik. Itu karena presiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Perpaduan antara mempertahankan karakteristik sistem presidensial, namun pada saat yang sama tetap pula menerapkan ciri parlementer itulah, yang menyebabkan model Prancis ini dikenal pula sebagai sistem campuran (hibrida).
Dalam praktik di Prancis, ketika partai sang presiden menguasai kursi mayoritas di National Assembly, presiden harus diperhitungkan dalam bekerja sama dengan parlemen dan perdana menteri. Sebaliknya, jika National Assembly dikuasai oleh lawan politik presiden, ia akan termarginalisasi dan jalan pemerintahan akan lebih dikuasai oleh perdana menteri. Meski perdana menteri dipilih oleh presiden, sang presiden tetap harus mematuhi aturan parlemen untuk memilih pemimpin partai mayoritas di parlemen.
Jika presiden dan perdana menteri tidak dalam satu aliansi politik, terjadilah kohabitasi (cohabitation). Hal tersebut terjadi pada 1985 ketika Presiden Chirac (Partai Sosialis) dipaksa memberikan lebih banyak kewenangan kepada Perdana Menteri Miterrand (Partai Gaullist). Sistem campuran yang awalnya dikembangkan oleh Charles de Gaulle ini telah diadopsi antara lain oleh Finlandia, Polandia, Rusia, dan Sri Lanka. Sistem pemerintahan yang terakhir adalah sistem kolegial yang diterapkan di Swiss.
Jabatan kepala negara dipegang bersama-sama oleh tujuh orang Dewan Federal Swiss (Swiss Federal Council). Presiden dipilih dari Dewan Federal oleh Parlemen Swiss (Federal Assembly). Masa jabatan presiden adalah satu tahun – setiap tahun baru – yang dipilih di antara tujuh anggota Dewan Federal. Anggota Dewan Federal dijabat selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali. Kewenangan presiden terpilih sangat terbatas.
Secara domestik kepala negara dijabat secara bersama oleh tujuh anggota Dewan Federal, secara internasional presiden terpilih diakui sebagai kepala negara, dan karena itu menerima suratsurat kepercayaan (letters of credence) dari duta besar negara sahabat. Sebenarnya para founding fathers Konstitusi Swiss 1848 tetap menjadikan konstitusi Amerika Serikat sebagai model utama. Namun, mereka secara sadar menolak sistem pemilihan presiden langsung dan model pemimpin eksekutif tunggal (one-person executive).
Penolakan tersebut didasari pada kekhawatiran bahwa pemimpin tunggal, semacam presiden, sangat dekat pada ciri monarki dan bertendensi melahirkan seorang diktator. Selain Swiss, sistem eksekutif kolegial (collegial executive) sebagai lawan tanding dari sistem eksekutif tunggal juga pernah diterapkan Uruguay dan Venezuela. Di Uruguay, sistem kolegial-dikenal dengan istilah colegiado– diadopsi dengan argumen bahwa prinsip-prinsip demokrasi modern mensyaratkan pembagian kekuasaan, tidak terkecuali kekuasaan eksekutif.
Di Venezuela, Simon Bolivar memanggil sistem eksekutif kolegialnya sebagai triumvirate. Sayangnya, Bolivar tidak terlalu menjelaskan, apa saja unsur triumvirate tersebut. Ia hanya mengatakan Kongres Venezuela juga terlibat dalam tugastugas yang dilakukan cabang kekuasaan eksekutif. Lebih jauh, Bolivar justru mengkritik sistem eksekutif kolegial tersebut dan justru merekomendasikan sistem pemerintahan eksekutif tunggal, semacam perdana menteri di Inggris untuk diadopsi oleh Venezuela.
Demikian sistem pemerintahan yang dominan dan berjalan di banyak negara. Indonesia sejauh ini sudah pernah menerapkan dua sistem yang paling populer: sistem presidensial dan parlementer. Pada awal kemerdekaan sebenarnya Indonesia memilih sistem presidensial sebelum akhirnya berubah menjadi parlementer hingga Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Setelah dekrit hingga saat ini sistem pemerintahan kita lebih condong kepada sistem presidensial.
Saya menggunakan istilah lebih condong karena sebenarnya tidak ada sistem yang betulbetul murni presidensial (pure presidential system) ataupun murni parlementer. Adalah hal yang jamak bahwa pada sistem pemerintahan presidensial ada karakteristik parlementer ataupun sebaliknya. Indonesia pascaempat perubahan UUD 1945 misalnya adalah Indonesia yang lebih kental karakteristik presidensialnya, terutama dengan sistem pemilihan langsung presiden serta model pemakzulan (impeachment) yang lebih sulit.
Namun, bahkan dengan ciri sistem presidensial yang lebih kuat demikian, tetap saja tidak steril dari ciri parlementer. Contohnya, UUD 1945 pascaperubahan telah mengadopsi hak angket bagi DPR yang nyata-nyata merupakan ciri sistem parlementer. Demikianlah ulasan terkait sistem pemerintahan. Pada kesempatan berikutnya saya akan lebih jauh membandingkan antara sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Ke depan sistem pemerintahan presidensial mesti makin dikokohkan agar bisa berjalan dengan efektif dan menghadirkan lebih banyak manfaat bagi bangsa Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.
DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Kolom minggu lalu sudah mengulas tentang sejarah kepresidenan. Kolom kali ini akan mengulas soal macam sistem pemerintahan yang salah satunya sistem presidensial. Tentang sistem pemerintahan ini penting untuk dipahami karena saat ini seringkali muncul pendapat, sistem pemerintahan kita tidak jelas karena mengandung karakteristik parlementer. Sistem pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahan, pun tidak sama dengan bentuk negara.
Bentuk pemerintahan ada dua: republik dan kerajaan. Bentuk negara terbagi tiga: kesatuan, federal, dan konfederasi. Meski berbeda, sistem pemerintahan mempunyai korelasi kuat dengan bentuk pemerintahan. Presidensial adalah sistem pemerintahan dalam bentuk republik. Sedangkan pemerintahan kerajaan, sistem pemerintahannya adalah monarki. Korelasi yang serupa tidak ada antara sistem pemerintahan dan bentuk negara. Sistem pemerintahan presidensial terdapat di bentuk negara kesatuan, federal, ataupun konfederasi.
Selain sistem pemerintahan presidensial dan monarki, ada tiga sistem pemerintahan yang lain: sistem parlementer, sistem campuran (hibrida), dan sistem kolegial (collegial system). Sistem pemerintahan monarki mungkin pengertiannya agak tercampur dengan bentuk pemerintahan kerajaan. Yang jelas bentuk pemerintahan kerajaan berkaitan dengan kepala pemerintahan dan kepala negara yang dijabat secara turun-temurun kepada sang raja. Contoh negara yang masih menerapkan sistem ini adalah Brunei Darussalam dan Arab Saudi.
Model lain, sistem parlementer di antaranya dilaksanakan di Inggris, Australia, dan Malaysia. Kepala pemerintahannya dipimpin oleh seorang perdana menteri. Perdana menteri diangkat dari partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas di parlemen. Sedangkan kepala negara tidak dilaksanakan oleh perdana menteri. Di Inggris dipegang oleh ratu; di Malaysia oleh sultan; di Australia oleh gubernur jenderal, yang masih di bawah pengaruh Ratu Inggris.
Perdana menteri dengan dewan menteri atau kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sedangkan raja (ratu atau sultan) selaku kepala negara tidak dapat diganggu gugat (the king can do no wrong). Berdasarkan sistem pertanggungjawaban demikian, perdana menteri dankabinetnya diklasifikasikan sebagai eksekutif sesungguhnya (real executive), di sisi lain, kepala negara hanya merupakan pimpinan simbolik (nominal executive).
Sebagai pemimpin simbolik raja lebih banyak melaksanakan kerja-kerja seremonial. Berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial yang hanya diterapkan dalam bentuk negara republik, sistem parlementer bentuk pemerintahannya dapat dilaksanakan pada bentuk negara republik maupun kerajaan. Sistem pemerintahan lainnya adalah campuran (hibrida) pertama kali dikembangkan oleh Prancis pada masa republik kelima, dimulai pada 1958. Karena itu disebut pula sebagai sistem Prancis (French system) atau sistem semipresidensial (semipresidential system).
Sistem ini menggabungkan beberapa elemen sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Peran kepala negara dijalankan oleh presiden, sedangkan kepala pemerintahan dilakukan oleh perdana menteri. Meski selaku kepala negara, presiden tidak hanya menjalankan tugas-tugas seremonial yang simbolik. Itu karena presiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. Perpaduan antara mempertahankan karakteristik sistem presidensial, namun pada saat yang sama tetap pula menerapkan ciri parlementer itulah, yang menyebabkan model Prancis ini dikenal pula sebagai sistem campuran (hibrida).
Dalam praktik di Prancis, ketika partai sang presiden menguasai kursi mayoritas di National Assembly, presiden harus diperhitungkan dalam bekerja sama dengan parlemen dan perdana menteri. Sebaliknya, jika National Assembly dikuasai oleh lawan politik presiden, ia akan termarginalisasi dan jalan pemerintahan akan lebih dikuasai oleh perdana menteri. Meski perdana menteri dipilih oleh presiden, sang presiden tetap harus mematuhi aturan parlemen untuk memilih pemimpin partai mayoritas di parlemen.
Jika presiden dan perdana menteri tidak dalam satu aliansi politik, terjadilah kohabitasi (cohabitation). Hal tersebut terjadi pada 1985 ketika Presiden Chirac (Partai Sosialis) dipaksa memberikan lebih banyak kewenangan kepada Perdana Menteri Miterrand (Partai Gaullist). Sistem campuran yang awalnya dikembangkan oleh Charles de Gaulle ini telah diadopsi antara lain oleh Finlandia, Polandia, Rusia, dan Sri Lanka. Sistem pemerintahan yang terakhir adalah sistem kolegial yang diterapkan di Swiss.
Jabatan kepala negara dipegang bersama-sama oleh tujuh orang Dewan Federal Swiss (Swiss Federal Council). Presiden dipilih dari Dewan Federal oleh Parlemen Swiss (Federal Assembly). Masa jabatan presiden adalah satu tahun – setiap tahun baru – yang dipilih di antara tujuh anggota Dewan Federal. Anggota Dewan Federal dijabat selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali. Kewenangan presiden terpilih sangat terbatas.
Secara domestik kepala negara dijabat secara bersama oleh tujuh anggota Dewan Federal, secara internasional presiden terpilih diakui sebagai kepala negara, dan karena itu menerima suratsurat kepercayaan (letters of credence) dari duta besar negara sahabat. Sebenarnya para founding fathers Konstitusi Swiss 1848 tetap menjadikan konstitusi Amerika Serikat sebagai model utama. Namun, mereka secara sadar menolak sistem pemilihan presiden langsung dan model pemimpin eksekutif tunggal (one-person executive).
Penolakan tersebut didasari pada kekhawatiran bahwa pemimpin tunggal, semacam presiden, sangat dekat pada ciri monarki dan bertendensi melahirkan seorang diktator. Selain Swiss, sistem eksekutif kolegial (collegial executive) sebagai lawan tanding dari sistem eksekutif tunggal juga pernah diterapkan Uruguay dan Venezuela. Di Uruguay, sistem kolegial-dikenal dengan istilah colegiado– diadopsi dengan argumen bahwa prinsip-prinsip demokrasi modern mensyaratkan pembagian kekuasaan, tidak terkecuali kekuasaan eksekutif.
Di Venezuela, Simon Bolivar memanggil sistem eksekutif kolegialnya sebagai triumvirate. Sayangnya, Bolivar tidak terlalu menjelaskan, apa saja unsur triumvirate tersebut. Ia hanya mengatakan Kongres Venezuela juga terlibat dalam tugastugas yang dilakukan cabang kekuasaan eksekutif. Lebih jauh, Bolivar justru mengkritik sistem eksekutif kolegial tersebut dan justru merekomendasikan sistem pemerintahan eksekutif tunggal, semacam perdana menteri di Inggris untuk diadopsi oleh Venezuela.
Demikian sistem pemerintahan yang dominan dan berjalan di banyak negara. Indonesia sejauh ini sudah pernah menerapkan dua sistem yang paling populer: sistem presidensial dan parlementer. Pada awal kemerdekaan sebenarnya Indonesia memilih sistem presidensial sebelum akhirnya berubah menjadi parlementer hingga Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Setelah dekrit hingga saat ini sistem pemerintahan kita lebih condong kepada sistem presidensial.
Saya menggunakan istilah lebih condong karena sebenarnya tidak ada sistem yang betulbetul murni presidensial (pure presidential system) ataupun murni parlementer. Adalah hal yang jamak bahwa pada sistem pemerintahan presidensial ada karakteristik parlementer ataupun sebaliknya. Indonesia pascaempat perubahan UUD 1945 misalnya adalah Indonesia yang lebih kental karakteristik presidensialnya, terutama dengan sistem pemilihan langsung presiden serta model pemakzulan (impeachment) yang lebih sulit.
Namun, bahkan dengan ciri sistem presidensial yang lebih kuat demikian, tetap saja tidak steril dari ciri parlementer. Contohnya, UUD 1945 pascaperubahan telah mengadopsi hak angket bagi DPR yang nyata-nyata merupakan ciri sistem parlementer. Demikianlah ulasan terkait sistem pemerintahan. Pada kesempatan berikutnya saya akan lebih jauh membandingkan antara sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Ke depan sistem pemerintahan presidensial mesti makin dikokohkan agar bisa berjalan dengan efektif dan menghadirkan lebih banyak manfaat bagi bangsa Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.
DENNY INDRAYANA
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
(nfl)