Rakyat Perlu Calon Presiden Alternatif

Senin, 16 Januari 2017 - 09:02 WIB
Rakyat Perlu Calon Presiden Alternatif
Rakyat Perlu Calon Presiden Alternatif
A A A
JAKARTA - Pemilu 2019 diharapkan memberikan banyak alternatif pilihan kepada rakyat untuk memilih calon presiden (capres) yang diinginkan. Salah satu jalan untuk memunculkan capres alternatif adalah menghilangkan aturan presidential threshold.

Jika aturan ambang batas pencapresan tersebut masih digunakan di pilpres mendatang, pengajuan capres dipastikan hanya bisa dilakukan oleh partai politik besar. Kondisi ini berpotensi memunculkan risiko yang lebih besar lagi, yakni munculnya capres tunggal.

Demi menghindari risiko tersebut, seyogianya Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang dibahas Panitia Khusus (Pansus) DPR menghapus ketentuan presidential threshold pada Pasal 190.

"Penghapusan presidential threshold itu sebetulnya untuk menghindari calon tunggal. Memang salah satu pendekatan utamanya itu, tidak perlu dibuat presidential threshold. Itu salah satu yang utama," kata anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay seperti dikutip dari Koran SINDO, Senin (16/1/2017).

Hadar menganggap, penghapusan presidential threshold sebagai hal positif. Jika rakyat diberi banyak pilihan, ada kesempatan untuk memilih calon pemimpin ideal yang diharapkan.

"Jadi kita jangan khawatir, banyak calon itu justru mewakili masyarakat pemilih," ucap Hadar.

Pilpres tanpa threshold juga tidak serta-merta melahirkan capres dengan jumlah yang sangat banyak misalnya sama dengan jumlah parpol peserta pemilu. Meski kesempatan itu ada, parpol punya banyak pertimbangan sebelum memutuskan untuk mengajukan nama calon.

Menurut Hadar, pengajuan capres butuh perjuangan yang tidak sedikit. Diberitakan, RUU Pemilu yang diusulkan pemerintah memicu polemik, terutama Pasal 190.

Di situ diatur bahwa pasangan calon (presiden dan wakil presiden) diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya.

Pengaturan ini dinilai tidak tepat karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 menyebutkan Pemilu 2019 dilaksanakan serentak antara pemilihan legislatif (pileg) dengan pilpres. Muncul komplikasi jika aturan threshold tetap ada, sedangkan pemilu harus digelar serentak.

Pertanyaannya, apa yang harus dijadikan syarat threshold di pilpres, sedangkan hasil pileg sendiri belum diketahui. Di sisi lain, logika yang dibangun pemerintah bahwa presidential threshold akan mengacu pada hasil perolehan suara parpol di Pemilu 2014 dinilai mengandung risiko besar.

Sebab, hasil pemilu 2014 itu sudah digunakan untuk memilih presiden dan wakil presiden pada tahun yang sama. Jika itu digunakan lagi, implikasinya adalah pelanggaran konstitusi.

"Begitu ada presidential threshold , itu berimplikasi melanggar konstitusi karena masa hasil Pemilu 2014 menghasilkan dua presiden," ujar anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR Lukman Edy pada diskusi yang sama.

Lukman yang juga ketua Pansus RUU Pemilu ini menyebut penghapusan presidential threshold penting disepakati karena baik bagi semua parpol, khususnya bagi partai menengah dan kecil.

Menghilangkan pembatasan meminimalisasi potensi tergerusnya dukungan suara akibat persepsi yang salah pada masyarakat tentang partai pengusung capres untuk konteks pemilu yang digelar serentak.

"Sekarang kalau ada threshold , suara partai menengah dan kecil bisa tergerus karena masyarakat menganggap dukungan ke kita (partai menengah dan kecil) sama saja ke partai besar karena mendukung capres yang sama," tutur Lukman.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5182 seconds (0.1#10.140)