Politikus Gerindra Ini Kritisi Pembatalan Eksekusi 10 Terpidana Mati

Sabtu, 30 Juli 2016 - 01:55 WIB
Politikus Gerindra Ini Kritisi Pembatalan Eksekusi 10 Terpidana Mati
Politikus Gerindra Ini Kritisi Pembatalan Eksekusi 10 Terpidana Mati
A A A
JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai melanggar hukum jika menjadikan alasan nonyuridis sebagai modus untuk membatalkan eksekusi 10 ‎terpidana mati kasus narkoba.

Diketahui, dari 14 terpidana mati kasus narkoba hanya empat orang yang dieksekusi tahap ketiga dini hari tadi. Keempat terpidana mati yang telah dieksekusi yakni Michael Titus Igweh (Nigeria), Freddy Budiman (WNI), Humphrey Ejike (Nigeria), Seck Osmane‎ (Senegal).‎

Sedangkan 10 terpidana mati yang proses eksekusinya ditunda adalah Ozias Sibanda asal Zimbabwe, ‎Obina Nwajaja asal Nigeria, ‎Fredderik Luttar asal Zimbabwe, ‎Agus Hadi asal Indonesia, ‎Pujo Lestari asal Indonesia. Kemudian, ‎Zulfikar Ali asal Paskitan, ‎Gurdip Singh asal India, ‎Merri Utami asal Indonesia, ‎Okonkwo Nonso asal Nigeria dan ‎Eugene Ape asal Nigeria.

‎Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra M Safii mengatakan,‎ hukuman mati secara yuridis masih berlaku di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). "Bahwa hukuman mati masih menjadi hukuman pokok pidana, bukan hukuman tambahan," ujar Safi'i saat dihubungi, di Jakarta, Jumat 29 Juli 2016.

Dia menambahkan, pasal-pasal di dalam KUHP yang kemudian bila dilanggar, pelakunya bisa dikenakan hukuman mati juga sudah cukup jelas.‎ "Jadi kalau ada orang melakukan pelanggaran itu sah dan terbukti, dia bisa dijatuhi hukuman mati dan memang hukuman mati itu masih bagian dari hukum pokok KUHP kita," ungkapnya.

Jadi lanjut dia, secara yuridis, ‎tidak ada yang bisa menghalangi orang untuk diberi hukuman mati bila jelas sudah melanggar delik yang sanksinya hukuman mati. Kecuali, seorang terpidana mati itu masih mempunyai kesempatan upaya hukum seperti peninjauan Kembali (PK).

"Tapi kalau PK-nya sudah ditolak, kan tidak ada lagi alasan yuridis yang menghalangi seseorang untuk dihukum mati," tuturnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, alasan nonyuridis bisa membuat eksekusi mati itu ditunda. "Alasan nonyuridis ya ini bisa saja, karena ada hal-hal yang masih belum diselesaikan, misal dia minta permintaan terakhirnya," imbuhnya.

Namun dia berpendapat, alasan nonyuridis itu tidak l‎ebih kuat dari alasan yuridis yang dipedomani. "Nah kalau dia sifatnya penundaan karena alasan nonyuridis atau alasan yang teknis, saya kira boleh-boleh saja, tapi jangan kemudian itu dijadikan semacam modus untuk membatalkan, karena kalau dia membatalkan, berarti Kejaksaan Agung melanggar hukum," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.4421 seconds (0.1#10.140)