Ahok & Gairah Penggusuran

Kamis, 14 April 2016 - 06:14 WIB
Ahok & Gairah Penggusuran
Ahok & Gairah Penggusuran
A A A
Laode Ida
Komisioner Ombudsman RI

PENGGUSURAN
paksa kembali dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta di kawasan Luar Batang Senin (11/4). Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tampak kembali menunjukkan sikap keras dan tegasnya tanpa kompromi dengan mengerahkan ribuan aparat keamanan (polisi, aparat TNI dan Pamong Praja). Sehingga, rakyat setempat hanya dengan sedih dan linangan air mata menyaksikan ribuan rumah hunian mereka dihancur-luluhkan oleh alat-alat berat.

Aksi penggusuran paksa ini adalah yang ketiga kalinya dalam dua tahun terakhir dilakukan Gubernur Ahok, setelah Kampung Pulo (Agustus 2015) dan Kalijodo (Februari 2016). Ini menunjukkan bahwa putra Belitung Timur itu tampaknya tak mau menolerir lagi eksistensi lokasi-lokasi permukiman warga yang secara fisik tampak kumuh.

Pemerintah daerah (pemda) DKI Jakarta atau pemda mana pun di negeri ini memang memiliki otoritas untuk melakukan penataan terhadap lingkungan permukiman di dalam lingkup administrasi wilayah masing-masing. Kebijakan seperti itu merupakan bagian dari upaya menciptakan keteraturan tata kota, memperindah wajah kota, termasuk lebih menyehatkan lingkungan permukiman.

Bagi kawasan dengan status lahan hunian yang masih bermasalah (apalagi berstatus tanah negara), penggusuran pun bisa dianggap sebagai cara untuk menetralisasi atau mengembalikan tanah pada pemiliknya.

Kemudian mulai membangun kawasan itu dengan status hukum yang berkepastian dalam bingkai tata kota yang sudah disepakati melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Kendati begitu, pihak pemda seharusnya tidak serta merta menggunakan kekuasaannya dengan semaunya menggusur kelompok warga kelas bawah penghuni kawasan/lahan tertentu. Mengapa?

Pertama, kawasan hunian warga umumnya bukanlah tempatan baru. Melainkan sudah lama, dan bahkan memiliki nilai sejarah tersendiri yang bisa dianggap sebagai bagian dari situs budaya. Kampung nelayan di Luar Batang misalnya, sudah ada sejak lima abad lalu (tahun1631), yang juga tak bisa dilepaskan dengan sejarah masuknya Islam di tanah Betavia (Betawi). Sehingga, di kawasan itu pun terdapat kuburan para tokoh penyebar Islam berikut masjid bangunan tua yang tetap eksis hingga saat ini.

Sejarah permukiman pun tak bisa dilepaskan daririwayat kepemilikan tanah yang sekarang ada. Jika pihak pemerintah hanya mendasarkan argumen status tanah yang tidak bersertifikat berdasarkan hukum Indonesia, maka jelas pihak penghuni umumnya akan lemah posisinya karena hanya akan sedikit yang memilikinya.

Kalau pendekatan legal-formal sepihak seperti ini yang digunakan, maka kebijakan itu dapat dikatakan tidak fair atau tidak bijak, dan boleh dikatakan penyelenggara negara ini melupakan atau mengabaikan sejarah lahan bangsanya sendiri.

Masih banyak tanah negeri ini (apalagi di pulau Jawa) berstatus verponding, yakni status tanah yang ditetapkan menurut hukum Belanda atau kemudian ada yang diubah statusnya menjadi verponding Indonesia. Di mana, kepemilikannya bisa diwariskan dari generasi ke generasi melalui legalisasi rutin di tingkat kecamatan.

Namun, tidak semua warga bisa selalu sadar-aktif dan rutin dalam mengurus surat surat seperti itu. Sehingga, akibat kelengahan pihak pemilik verponding itulah kemudian pihak pemerintah menganggapnya sebagai milik negara atau tanah tak bertuan.

Aksi gusur paksa seperti itu juga menunjukkan bahwa pemerintahan Ahok telah mengabaikan pertimbangan psiko-sosiobudaya, di mana suatu kawasan yang sudah lama dan menyejarah, niscaya jiwa para penghuninya sudah pula ”menyatu dengan tanah dan lingkungan tempat tinggal mereka” itu.

Kedua, kawasan permukiman yang sekumuh apa pun tampilan fisiknya, merupakan produk dari sejarah perencanaan dan penataan kota/wilayah yang buruk. Kita, atau setiap pemimpin, harus selalu sadar bahwa Jakarta atau umumnya kota-kota tua dan besar di Indonesia ini, berkembang secara alami dengan secara relatif tidak direncanakan dengan baik.

Para penghuni kawasan yang kini kumuh, saat awal dihuni dan dibangun terus saja dibiarkan oleh pemerintah, dianggap sudah menjadi milik dan bagian dari hidup mereka. Sehingga kalau sekarang dipaksa bongkar, maka sama halnya menunjukkan kebodohan atau ketidakbecusan pengambil kebijakan pendahulu, dan sekaligus secara arogan mempertontonkan kehebatan sang penguasa sekarang.

Perlu disadari bahwa pemerintah tidak boleh menghilangkan hak warga negara untuk memiliki sebidang tanah dan tinggal menetap di atasnya. Mereka bukan warga negara asing, melainkan pemilik bangsa ini yang musti dijamin oleh negara melalui tangan-tangan pengambil kebijakan berikut administrator pemerintahnya.

Dalam konteks ini, kepentingan menata dan memperbaiki wajah kota, harus secara arif disesuaikan dengan kondisi dan hak masyarakat yang sudah jadi bagian dari warga penghuninya. Apalagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sebelumnya Gubernur DKI Jakarta (bersama Ahok sebagai wakilnya), sudah membuat kontrak sosial dengan warga.

Baik kontrak saat menjadi calon gubernur tahun 2012 maupun calon presiden tahun 2014, dengan mengusung tema ”Jakarta Baru: Pro-Rakyat Miskin, Berbasis Pelayanan dan Partisipasi Warga”. Fotokopi dengan tanda tangan Jokowi di depan warga Jakarta itu kini banyak beredar di media sosial. Isinya antara lain adalah: (1) legalisasi kampung ilegal yang sudah ditempati selama 20 tahun, dan (2) permukiman kumuh tidak digusur tapi ditata.

Maka tindakan penggusuran paksa oleh Gubernur Ahok bisa dianggap sebagai bagian kebohongan dari Jokowi dan Ahok. Hal ini tentu harus dipertanggungjawabkan oleh kedua figur yang tengah berkuasa itu.

Ketiga, penggusuran paksa niscaya berdampak pada nasib generasi atau anak-anak dari keluarga korban gusuran. Anak-anak boleh jadi akan trauma dengan tindakan kekerasan paksa yang menghancurkan tempat tinggal mereka sehingga otomatis akan terganggu belajarnya.

Apalagi jika para orangtua kehilangan mata pencarian, maka bukan mustahil generasi muda itu akan jadi terlantar atau terputus sekolahnya. Memang, konon pihak pemda sudah menyiapkan rumah susun (rusun) bagi keluarga yang tergusur itu. Namun, proses adaptasi di lingkungan baru tidak selalu mudah, baik bagi orangtua maupun anak-anak. Belum lagi kalau syarat kepenghunian di rusun secara finansial jadi beban yang sulit dipenuhi oleh para orang (apalagi sudah kehilangan mata pencarian), maka niscaya jadikan masa depan anak-anak akan tak terurus.

Begitulah antara lain dampak dari penggusuran paksa, yang niscaya tidak bijak dikalkulasi sebelumnya oleh pihak penguasa. Apa yang mau dikatakan di sini bahwa penataan kawasan permukiman di perkotaan tidak boleh hanya berdasarkan nafsu yang mengedepankan faktor keindahan, yang bisa dicatat sebagai perubahan ke arah kemajuan
berparadigma modernisasi. Kemudian, hal itu dianggap sebagai ukuran keberhasilan seorang pemimpin daerah/negara.

Harus lebih jauh mempertimbangkan hak sosial, budaya, dan ekonomi warga yang dijamin baik dalam UUD 1945, melalui proses perencanaan dan persiapan sosial yang matang. Menggusur paksa permukiman kumuh sama halnya dengan hanya mengizinkan orang-orang kaya hidup di Jakarta atau kotakota besar nan tua lainnya.

Apalagi kemudian lokasi penggusuran itu langsung disulap menjadi kawasan permukiman mewah atau apartemen yang tertata rapi milik pengembang. Sudah kian jelas bahwa penguasa sedang memberi ruang besar dan sekaligus dikendalikan oleh para pemilik modal (kapitalis) pengembang properti (property developers).
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8036 seconds (0.1#10.140)