Pembubaran Berencana KPK

Selasa, 13 Oktober 2015 - 12:25 WIB
Pembubaran Berencana KPK
Pembubaran Berencana KPK
A A A
Draf revisi UU Nomor 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang digagas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bukan hanya melemahkan, melainkan juga ingin membubarkan KPK.Pembubaran secara berencana begitu kasatmata yang dibalut dengan beragam alasan. Hal itu dapat dilihat pada Pasal 5 draf revisi UU KPK bahwa KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang revisi diundangkan. Artinya, setelah dua belas tahun masa kerja, KPK dibubarkan. Pembatasan usia itu menjadi indikasi bahwa banyak politisi yang takut pada ketegasan KPK.Mengacupada PenjelasanUmum alinea ketiga UU KPK bahwa diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan ”badan khusus” yang mempunyai kewenangan luas, independen, sertabebasdari kekuasaanmanapun. KPKselaku badan khusus memberantas korupsi yang dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan. Makna frasa ”berkesinambungan” seyogianya dipahami bahwa KPK ditugaskan memberantas korupsi secara terus-menerus sampai habis.Artinya, KPK dibentuk karena ada tujuan tertentu yaitu memberantas korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Bukan untuk masa tertentu sehingga usia KPK tidak boleh diatur jangka waktunya. Apabila tujuan telah tercapai karena perilaku korupsi aparat penegak hukum dan penyelenggara negara sudah hilang, KPK dapat saja dibubarkan.Pembubaran KPK juga harus dikaitkan dengan Konsideran Menimbang huruf-b UU KPK bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Berarti perlu menilai kinerja penegak hukum lainnya. Setidaknya ada evaluasi dan penelitian khusus terhadap kepolisian dan kejaksaan sampai di daerah dalam menangani perkara korupsi. Apakah sudah membaik dan sama dengan yang dipraktikkan KPK.Persepsi KeliruPemberian jangka waktu 12 tahun usia KPK patut dipertanyakan. Apalagi rencana sistematis dan berkelanjutan setelah upaya pelemahan kewenangan melalui uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak bisa dinafikan bahwa rencana revisi merupakan buntut dari selalu gagalnya upaya uji materi di MK yang sudah 14 kali diuji materi. Namun, MK menyatakan UU KPK sah dan konstitusional.Belum tentu pembatasan usia setelah UU revisi disahkan, membuat perilaku korupsi aparat penegak hukum dan penyelenggara negara akan habis sama sekali. Melihat praktik penanganan kasus korupsi selama ini, kemudian membatasi usia KPK, boleh jadi korupsi akan jauh lebih masif. KPK juga dilarang menangani kasus korupsi aparat penegak hukum (Pasal 13 draf revisi), serta hanya menangani korupsi yang kerugian negaranya Rp50 miliar ke atas (Pasal 53 draf revisi).Bukan hanya itu, KPK juga dibatasi wewenang penyadapan yang selama ini begitu efektif membongkar kasus korupsi kelas kakap. KPK hanya dapat melakukan penyadapan setelah adabuktipermulaanyangcukup pada tahap penyidikan, serta harus ada izin ketua pengadilan negeri setempat. Boleh jadi rumusan ini dibuat karena begitu banyak anggota DPR yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT). Ini persepsi yang keliru dalam memaknai fungsi dan efektivitas penyadapan dalam membongkar korupsi kelas kakap.Salah satu yang kemungkinan membuat gusar elite politik adalah operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Sebut saja, Adriansyah, anggota DPR Komisi IV dari PDIP, tertangkap tangan di salah satu hotel di Bali lantaran diduga menerima uang suap dari seorang pengusaha pertambangan (9/4/2015). Begitu pula, OTT tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, panitera, dan seorang pengacara yang sedang transaksi suap terkait penyelesaian perkara (9/7/2015).Setelah KPK mengembangkan penyidikan, advokat senior OC Kaligis juga ditangkap lantaran diduga terkait dengan penyuapan itu. Tanpa kewenangan penyadapan, kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar, yang merupakan skandal korupsi besar di negeri ini, tidak akan terungkap. Begitu pula kasus Wisma Atlet dan Kasus Hambalang, dua kasus kakap yang terungkap gara-gara penyadapan telepon. Itulah sebagian keampuhan kewenangan penyadapan KPK yang sangat ditakuti sebagian anggota DPR.Saat Megawati Soekarnoputri Presiden pada 2002 diakui berhasil membentuk KPK dengan kewenangan yang luas. Tapi, kenapa kewenangan luas itu akan dibatasi? Rakyat mengapresiasi ketegasan dan keberhasilan KPK membongkar kasus korupsi dari yang kecil sampai kelas kakap. Tidak satu pun perkara yang diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi dibebaskan. Itu artinya, KPK profesional dalam penyelidikan dan penyidikan, bahkan mampu membuktikan dakwaannya di depan sidang pengadilan.Ketegasan PresidenSiapa pun pantas curiga kalau rencana revisi bukan sekadar melemahkan kewenangan KPK, tetapi secara berencana ingin membubarkan KPK. Jika usulan revisi menjadi kenyataan,”keistimewaan” yangselamainidimiliki KPK dan sangat dipercaya publik tinggal kenangan. Pada sisi lain, ancaman terhadap koruptor berkurang karena kasus korupsi yang ditangani hanya yang bernilai Rp50 miliar ke atas. Ibarat perang, pertempuran melawan korupsi akan menjadi ”perang panjang” yang kemungkinan tidak akan pernah dimenangkan.Padahal, perilaku korupsi begitu masif memiskinkan warga bangsa. Koruptor kakap dengan mudah menempatkan dananya di negara lain. Itulah yang harus diburu dan dikembalikan KPK ke depan. Tetapi, menyimak beberapa klausul dalam draf revisi, sulit dikatakan mengusung semangat menuju produk perundangan yang progresif memberantas korupsi. Beberapa kewenangan KPK dipreteli, selain membonsai kewenangan penyadapan, penuntutan juga ditiadakan.KPK bahkan tidak boleh lagi menangani aparat penegak hukum (polisi, jaksa, advokat, dan hakim) jika melakukan korupsi. Ini langkah mundur karena mendegradasi Pasal 11 huruf-b UU KPK bahwa KPK menyidik dan penuntut perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, selain penyelenggara negara. Maka itu, upaya pelemahan, apalagi membubarkan KPK, sebaiknya dihentikan.Publik menanti ketegasan Presiden Jokowi menolak revisi UU KPK jika arahnya melemahkan dan membubarkan. Saya yakin Presiden Jokowi akan konsisten pada program prioritas keempat dalam Nawacita, yang menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Nawacita pemberantasan korupsi akan memperkuat kewenangan KPK, serta bersinergi dengan kepolisian dan kejaksaan.Bisa juga Presiden tidak mengutus menteri untuk membahas draf revisi inisiatif DPR karena selain tidak sejalan dengan Nawacita pemberantasan korupsi, juga mayoritas rakyat menolaknya. Kalaupun harus membahasnya, tetapi menolak pasal-pasal yang melemahkan kewenangan dan pembatasan usia KPK. Persetujuan revisi dan pasal-pasal kontroversi juga harus dipikirkan pemerintah.Politik hukum pemerintah dalam mengemban amanah reformasi akan menjadi ukuran keberhasilan memerangi perilaku korupsi. Jangan sampai rencana revisi mengandung kehendak buruk ke arah pembubaran berencana KPK. Jika itu terjadi, yang paling diuntungkan para koruptor dan calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara.Kita tidak ingin negeri ini terus-menerus dipenuhi parasit korupsi, apalagi dikuasai penentu kebijakan yang tidak bersih dan khawatir akan menjadi santapan empuk KPK.Marwan MasGuru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5967 seconds (0.1#10.140)