Hak Sarpin, Hak Kita

Sabtu, 29 Agustus 2015 - 10:45 WIB
Hak Sarpin, Hak Kita
Hak Sarpin, Hak Kita
A A A
Hakim Sarpin mengadukan dua komisioner Komisi Yudisial (KY), Suparman dan Taufikurrahman, ke Polri. Pernyataan dua komisioner KY tersebut terkait penanganan praperadilan kasus Budi Gunawan dirasa mencemarkan dan menyakitkan Sarpin.

Banyak yang menganggap pemerkaraan oleh Sarpin itu sebagai berlebihan atau overreact terhadap masalah yang, bagi banyak orang, sepele. Tetapi, dari sudut hukum, yang dilakukan oleh Sarpin tidak salah. Sarpin mempunyai hak untuk melakukannya sesuai dengan ketentuan Pasal 310 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengancam dengan hukuman pidana terhadap siapapun yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya agar diketahui umum.

Sarpin mempunyai hak untuk memerkarakan itu dan negara, menurut konstitusi dan hukum, wajib melindungi hak setiap orang. Menurut hukum, setiap orang yang mempunyai hak diperbolehkan menggunakan atau tidak menggunakan haknya. Tetapi, jika seseorang akan menggunakan haknya, negara wajib melindungi dan memenuhinya. Memberikan suara untuk memilih dalam pemilu misalnya adalah hak yang boleh digunakan atau tidak digunakan.

Orang yang golput tidak bisadihukum, tetapinegara wajib memenuhi hak orang-orang yang mau menggunakan haknya untuk memilih. Begitu pula dalam kasus penghinaan atau pencemaran nama baik, orang bisa mengabaikan dengan berjiwa besar untuk tidak mempersoalkan cercaan atau penghinaan atas dirinya. Tetapi, jika yang bersangkutan akan memerkarakan, negara dalam hal ini penegak hukum wajib memenuhinya sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Konstruksi hukum atas kasus itu harus benar sebab hal tersebut menyangkut hak pihak yang dilaporkan yang juga harus dilindungi. Imparsialitas Polri ini penting karena dua komisioner diperkarakan dengan alasan misalnya mengatakan Sarpin ”bodoh”, padahal yang bilang bodoh adalah seorang mantan hakim agung. Alasan pengaduan lainnya, komisioner mengatakan Sarpin bermasalah, padahal yang menulis bermasalah adalah dua media yang kemudian menyatakan minta maaf karena salah menulis.

Terlepas dari kasus Sarpin yang berusaha menggunakan haknya untuk memerkarakan kasus pencemaran atas nama baiknya, menurut saya, semua pejabatnegara harussiapuntuk dinilai, dikritik, bahkan dicerca. Pejabat negara adalah pemegang tugas amanat rakyat yang harus siap dinilai dan dipersoalkan semua kebijakan dan tingkah lakunya oleh rakyat.

Maka itu, ketika seorang pejabat mendapat serangan atau tudingan miring dalam ihwal yang bersifat remehtemeh, apalagi hanya sensasi, sebaiknya tidak diperkarakan. Ketika menjadi ketua MK (2008-2013), saya sering diserang, difitnah, dan diperlakukan secara tidak menyenangkan. Pernah ada sekelompok orang datang ke MK berteriakteriak, menantang berdebat, dan mengatakan ”Mahfud berotak udang” terkait dengan pengujian UU Perkawinan tentang anak di luar nikah.

Ada juga yang menyembelih kambing di halaman Gedung MK sambil mengatakan, darah Mahfud halal. Ada yang menuduh saya menerima suap, ada yang menuduh saya bertemu tengah malam dengan tokoh-tokoh politik untuk mengatur penanganan perkara. Yang menuding- nuding saya dengan semena-mena bukan hanya orang yang beperkara, melainkan banyak juga oknum di DPR, anggota kabinet, bahkan orang di Majelis Ulama.

Media massa pun pernah membuat serangan kepada saya dengan pemberitaan yang insinuatif. Tetapi, selama menjadi pejabat, saya tak pernah sekali pun melaporkan atau mengadukan ke Polri orang yang menghina atau memfitnah saya. Untuk serangan terhadap pribadi, saya nikmati sebagai bagian yang harus dialami oleh pejabat publik di negara demokrasi di mana rakyat berhak menilainya secara bebas.

Tetapi, untuk fitnah-fitnah seperti tuduhan bahwa saya menerima suap, saya datang ke KPK atau Polri untuk meminta diperiksa. Saya sering datang ke KPK maupun Polri ”bukan untuk mengadukan” orang yang memfitnah, melainkan untuk meminta diperiksa agar saya diproses untuk dihukum kalau memang ada indikasi saya menerima suap atau memainkan perkara seperti yang dituduhkan orang.

Dalam kasus peredaran surat palsu dari MK misalnya ada yang berteriak, seharusnya saya diperiksa, tetapi hal itu sulit karena untuk memeriksa ketua MK harus ada izin dari Presiden. Media massa menjadi heboh ketika saya datang ke Polri untuk meminta diperiksa tanpa harus meminta izin Presiden. Saya meminta kepada Kapolri Timor Pradopo dan Kabareskrim Sutarman agar Polri memeriksa saya tanpa harus minta izin Presiden.

Saya pun dimintai keterangan selama lebih dari dua jam. Apakah saya pernah melaporkan pencemaran nama baik saya kepada polisi? Ya, pernah. Tetapi, itu saya lakukan jauh setelah saya tidak menjadi pejabat publik. Saya lakukan itu pada 2014, setelah setahun saya pensiun dari MK (2013).

Saat itu saya merasa diserang secara keji karena dia (terlapor) sengaja membuat rilis yang dibaca dan disebar ke pers tentang ihwal yang sama sekali tidak benar. Saya laporkan ke Polri, Polri memprosesnya dengan baik dan selalu menginformasikan perkembangannya kepada saya. Ketika akhirnya yang bersangkutan datang kepada saya dan menyatakan keliru, saya pun mencabut pengaduan saya tanpa mempermalukannya.

Saya tidak menuntutnya untuk misalnya meminta maaf secara terbuka yang biasanya bisa ratusan juta. Sarpin dan setiap kita mempunyai hak. Tinggal mau dipergunakan atau tidak, bergantung kearifan kita. Hak Sarpin adalah hak Sarpin, hak kita adalah hak kita.

MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7532 seconds (0.1#10.140)