Bersinergi untuk Sejahterakan Rakyat

Sabtu, 29 Agustus 2015 - 10:33 WIB
Bersinergi untuk Sejahterakan Rakyat
Bersinergi untuk Sejahterakan Rakyat
A A A
Doa penutupan sidang tahunan MPR pada 14 Agustus 2015, yang dibawakan KH Khoirul Muna, adalah representasi dari kondisi bangsa saat ini.

Pidato yang sempat menjadi perbincangan publik ini cukup pantas dibaca sebagai refleksi diri, terutama bagi pemimpin untuk selalu dan setia memikirkan nasib bangsa, negara, dan rakyatnya. Di depan Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan anggota serta pimpinan MPR, KH Khoirul Muna berdoa mengadukan penguasa yang tak peduli kesengsaraan rakyat.

Doa dalam penutupan Sidang Tahunan MPR itu pun disebut-sebut ”mengguncang” Gedung MPR. Salah satu alinea berisi tentang pemimpin yang amanah. ”Bukalah pintu hati pemimpin kami agar mereka selalu amanah dan bertanggung jawab atas segala tugas yang diembannya.

Bukakanlah selalu hatinya, hati nurani pemimpin kami agar pada setiap embusan tarikan nafas mereka hanya memikirkan dan memperjuangkan nasib rakyat yang sangat letih menghadapi kesulitan hidup kesehariannya.” Doa ini memang bukan hal baru dan lumrah dikemukakan pada acara-acara kenegaraan.

Namun, tentu pengungkapan pemimpin secara eksplisit, apalagi dengan nuansa mengingatkan pemimpin agar lebih amanah, melahirkan pemikiran, ada problem keamanahan bagi pemimpin saat ini. Apakah benar seperti itu? Tentu tidak ada jawaban yang pasti, namun doa adalah doa, bagian dari pengharapan.

Disharmoni

Tentu jika kita tengok ke belakang memang ada problem ketika di awal-awal pemerintahan saat ini yang dipimpin Jokowi-Jusuf Kalla. Disharmoni hubungan antarelite lahir akibat gagalnya komunikasi politik yang dibangun elite politik. Sebut saja soal bagaimana hubungan panas-dingin dua koalisi di parlemen, Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Indonesia Hebat.

Hal yang sama terjadi terkait ketegangan hubungan antara KPK dan Polri di sejumlah kasus kriminalisasi terhadap komisioner lembaga antirasuah tersebut. Kasus ini seiring dengan kasus hukum Budi Gunawan, bakal calon kepala Polri ketika itu. Kasus ini pun akhirnya merembet pada ketegangan antara dua lembaga yakni polisi dan Komisi Yudisial.

Hal ini terkait kasus pencemaran nama baik yang menyeret para komisioner Komisi Yudisial. Sebelumnya pemerintah juga dihadapkan pada konflik partai politik seperti yang melanda Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golongan Karya. Kasus ini semakin menambah rentetan konflik di tubuh elite.

Hal ini seakan menguatkan sinyalemen dan pertanyaan, mengurus dirinya sendiri susah, apalagi mengurus rakyat? Belum lagi dengan kinerja kabinet pemerintahan yang cenderung masih ego sektoral.

Lihat saja bagaimana ketika salah satu menteri yang baru dilantik hasil reshuffle kabinet langsung mengkritik kebijakan dan langkah pemerintah, dan kemudian dibantah lagi oleh menteri yang lain. Disharmoni antarelite adalah langkah bunuh diri bagi pemerintah dan penguasa, terutama jika berharap merealisasikan janji dan programnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Sinergi

Bagaimanapun saat ini kondisi bangsa tengah mengalami perlambatan di bidang ekonomi. Kesejahteraan rakyat yang menjadi cita-cita masih jauh dari kenyataan. Tidak heran jika kemudian Presiden Jokowi mengambil langkah perombakan kabinet, khususnya di bidang ekonomi.

Pergantian ini diharapkan mampu melahirkan sinergi pemerintahan yang sebelumnya cenderung kurang kohesif dalam bekerja. Sayangnya, belum lama setelah dilantik pascaperombakan kabinet, muncul perbedaan sikap antarmenteri yang mengakibatkan polemik di tingkat publik.

Sebut saja apa yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang memprotes kebijakan pemerintah secara terbuka terkait rencana pembelian pesawat oleh Garuda dan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Rizal meminta menteri ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN) untuk melakukan evaluasi ulang terkait proyek listrik yang menurutnya kurang masuk akal karena target terlalu tinggi, tetapi mencapainya susah.

Sampai berlanjut pada kegaduhan Rizal Ramli dengan Wapres Jusuf Kalla. Apa yang dilakukan Rizal Ramli tentu akan mengganggu kohesivitas pemerintah yang tengah kembali dibangun pasca- reshuffle. Jika yang disuguhkan ke publik adalah perbedaan sikap antarelite pemerintah, akan kontraproduktif bagi kualitas kinerja pemerintah dan hasil dari kerja-kerja pemerintah selama ini.

Sinergi antarlembaga pemerintah menjadi kunci agar upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagai puncak dari tujuan bernegara dan berbangsa ini akan mudah dicapai. Tentu saja, pemerintah adalah ujung tombak bagi tercapainya tujuan mulia tersebut.

Meski demikian, rakyat juga memiliki tugas untuk mendukung kerja-kerja pemerintah untuk menuju tujuan mengapa negara ini didirikan. Kesejahteraan rakyat menjadi kunci sekaligus kesadaran bersama yang mestinya diwujudkan. Sinergi, kohesivitas, dan konsolidasi kerjakerja pemerintah, terutama menjelang tahun keduanya, semestinya fokus pada upaya merealisasikan janji-janji politiknya.

Seperti bagian akhir dari doa KH Khoirul Muna, ”Ya Allah ya Malikul Mulk, Tuhan yang Merajai segala raja, jangan biarkan kami terpecah belah dan saling memusuhi karena tanpa disadari telah menjadi alat segelintir manusia yang tak ingin melihat bangsa kami bersatu padu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, hidup rukun dan memiliki rasa toleransi serta mampu memaafkan sesamanya di tengah Bhinneka Tunggal Ika.... Semoga!

ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Perindo, Anggota DPRD Jatim Periode 2009-2014
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5620 seconds (0.1#10.140)