Pembatalan Putusan Arbitrase Sering Mengada-Ada

Rabu, 29 April 2015 - 08:54 WIB
Pembatalan Putusan Arbitrase Sering Mengada-Ada
Pembatalan Putusan Arbitrase Sering Mengada-Ada
A A A
Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan antarnegara tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Para pelaku bisnis bebas untuk menjalankan transaksi bisnis secara nasional dan internasional.

Transaksi bisnis yang tidak terbatas tersebut menimbulkan persaingan usaha baik antarpelaku bisnis domestik maupun antara pelaku bisnis domestik dan pelaku bisnis asing. Aktivitas transaksi bisnis yang terjadi ini sangat rentan menimbulkan sengketa bisnis di mana masing-masing pelaku bisnis memiliki kepentingan yangdilindungiberdasarkanbisnis yang mereka jalankan.

Di sini arbitrase perdagangan menjadi salah satu mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat digunakan pelaku bisnis karena sifatnya yang rahasia (non-publication), win-win solution, serta putusan yang final dan mengikat para pihak. Namun, di lain sisi, Indonesia telah lama dianggap sebagai unfriendly state against commercial arbitrationatau negara yang tidak ramah terhadap arbitrase perdagangan.

Ini karena terus terjadi pengabaian yurisdiksi arbitrase atas sengketa-sengketa bisnis yang mempunyai klausul arbitrase dalam sebuah perjanjian kerja sama antara pihak yang bersengketa (arbitration clause) dan alasan yang mengada-ada.

Pengabaian yurisdiksi arbitrase ini mengakibatkan ketidakpastian hukum di Indonesia yang mana hal tersebut akhirnya dapat menyulitkan iklim investasi di Indonesia. Apalagi pada era di mana banyak pelaku bisnis yang memasukkan klausul arbitrase dalam perjanjian kerja sama dalam menjalankan bisnisnya.

Pembatalan Putusan Arbitrase

Dalam proses arbitrase banyak ihwal yang dilakukan para pihak dalam suatu perkara arbitrase untuk menghambat terjadi proses arbitrase yang sedang berjalan.

Pertama, pihak yang tidak kenal dengan proses arbitrase akan mengajukan keberatan atas yurisdiksi (jurisdictional challenge) yang dimiliki oleh majelis arbitrase(tribunal) dengan membawa perkara ke pengadilan negeri dan mereka akan mengajukan gugatan baru di pengadilan negeri, untuk mencari pembenaran bahwa pengadilan negerilah yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut, dan bukan majelis arbitrase (tribunal) yang sebenarnya telah dipilih oleh para pihak dalam klausul arbitrase (party autonomy).

Setelah gagal pada tahap yurisdiksi, upaya untuk menghambat berjalan proses arbitrase tidak berhenti di sini. Dalam proses pemeriksaan, para pihak yang tidak paham akan proses arbitrase akan mencari kesalahan arbitrer yang sedang menjalankan tugasnya untuk dijadikan dasar pengajuan hak ingkar (challenge). Ini bertujuan menghambat dan membatalkan proses arbitrase.

Setelah yurisdiksi dan hak ingkar gagal, pihak lawan akan menunggu putusan dari majelis. Apabila putusan dari majelis merugikan, mereka akan mengajukan permohonan pembatalan putusan dengan dasar yang mengada-ada antara lain bahwa majelis arbitrase (tribunal) tidak mempunyaiwewenang memeriksa perkara tersebut dan arbitrer telah bertindak tidak adil sehingga putusannya merugikan hak mereka.

Padahal, permohonan pembatalan putusan arbitrase (award) dibatasi oleh UU Arbitrase dalam tiga hal yang telah diatur secara limitatif di dalam Pasal 70 UU Arbitrase. Terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (UU Arbitrase) telah mengatur secara limitatif perihal permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan para pihak dalam sebuah sengketa bisnis.

Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur yaitu:

Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Tiga unsur yang terdapat dalam Pasal 70 UU Arbitrase inilah yang seharusnya secara tegas dijadikan alasan oleh para pihak yang bersengketa untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Namun, akhir-akhir ini yang terjadi, banyak permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh pihak yang tidak paham atau antiarbitrase perdagangan dengan menggunakan alasan di luar Pasal 70 UU Arbitrase.

Misalnya alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbitrer atau alasan putusan arbitrase melawan ketertiban umum (public policy) yang dengan jelas tidak terdapat dalam alasan pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Terkait dengan hal tersebut, putusan-putusan pengadilan yang dijatuhkan untuk membatalkan putusan arbitrase namun tidak sesuai dengan alasan pembatalan putusan arbitrase dalam Pasal 70 UU Arbitrase dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang bersengketa.

Padahal, berdasarkan party autonomypara pihak sudah sepakat menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase (Pasal 1 ayat (3) UU Arbitrase). Alasan melawan ketertiban umum (public policy) seharusnya merupakan alasan yang digunakan untuk menghambat atau menunda exequatur (perintah untuk melaksanakan putusan arbitrase oleh pengadilan).

Sedangkan alasan benturan kepentingan (conflict of interests) arbitrer dengan para pihak seharusnya diselesaikan dengan mengganti arbitrer yang bersangkutan (recuse) sehingga tidak tepat jika dijadikan dasar alasan pembatalan (derail) putusan arbitrase karena tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase.

Pun seringkali, alasan pembatalan putusan dalam Pasal 70 UU Arbitrase dijadikan dasar bagi pihak yang kurang paham mekanisme arbitrase untuk membatalkan putusan arbitrase internasional. Padahal, untuk putusan arbitrase internasional, yaitu putusan yang dijatuhkan di wilayah negara lain, berlaku hukum arbitrase negara yang bersangkutan (lex arbitri) sehingga tidak dapat dibatalkan menurut hukum Indonesia (UU Arbitrase).

Apalagi sifat dari putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Dengan begitu, seharusnya putusan arbitrase tersebut merupakan satusatunya putusan yang menyelesaikan sengketa para pihak karena sudah dipilih para pihak (party autonomy) melalui klausul arbitrase.

Forum Pilihan Pelaku Bisnis

Adalah kecenderungan di seluruh dunia saat ini bahwa arbitrase telah menjadi pilihan favorit para pelaku bisnis yang bersengketa. Hal ini disebabkan para pelaku bisnis ingin menyelesaikan sengketa bisnis mereka secara cepat dan tuntas dalam waktu singkat.

Banyaknya insiden pembatalan putusan arbitrase di Indonesia telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang menambah keraguan para pelaku bisnis, khususnya investor asing, untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia. Untuk itu, harus ada jaminan penegakan hukum di Indonesia sehingga para pelaku bisnis tidak berpaling ke negaranegara tujuan investasi lain yang lebih menawarkan kepastian hukum.

Pelaku bisnis cenderung akan ragu menanamkan modalnya di suatu negara apabila risiko investasi tinggi. Yang pertama ditanya investor adalah pangsa pasar, daya beli, bahan baku, dan tenaga kerja.

Tetapi rule of law, penegakan hukum, dan kepastian hukum akan menentukan apakah minat mereka berinvestasi akan diwujudkan. Rendahnya persentase perwujudan investasi di Indonesia menandakan lemahnya penegakan hukum.

Yang paling penting, jangan sampai Indonesia tetap dikategorikan sebagai unfriendly state against commercial arbitration, k arena tentunya hal tersebut akan merugikan perekonomian di Indonesia ke depan, khususnya iklim investasi akan terganggu. Minat investasi yang besar dari investor asing tidak diimbangi dengan pelaksanaannya.

Frans H Winarta
Arbitrer ICC, SIAC, BANI, dan KLRC serta Dosen Arbitrase Perdagangan Fakultas Hukum UPH
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4608 seconds (0.1#10.140)