Isu dan Peluang dalam Kerja Sama antara Indonesia-China
loading...
A
A
A
Masalah yang dihadapi dua negara
Selain itu diperkirakan ada beberapa isu yang bisa mempengaruhi hubungan China-Indonesia yang pada gilirannya dapat mengganggu kerja sama BRI. Persepsi orang-orang Indonesia non-Tionghooa tentang dominasi ekonomi China asing maupun lokal bisa menjadi masalah pertama yang akan mengganggu hubungan antara Indonesia dan China, kemudian disusul dengan gejolak di Laut China Selatan maupun isu pekerja asing/buruh dari China yang mengokupasi lapangan kerja orang Indonesia.
Meskipun hubungan ekonomi antara Indonesia dan China semakin dekat tetapi persepsi publik terhadap China tetap beragam dan rumit, mulai dari pandangan bahwa bangkitnya ekonomi China akan menjadi pemicu bangkitnya ekonomi Indonesia sampai dengan kecurigaan tentang kebangkitan ekonomi China akan menjajah kedaulatan negara lain. Kaum terpelajar dan yang mempunyai insting bisnis seperti Presiden Jokowi akan melihat bahwa China adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan atau diajak kerja sama untuk pembangunan infrastruktur Indonesia.
Namun, kelompok yang tidak senang dengan kedekatan China dan Indonesia, akan selalu mengaitkan tentang bahaya China yang pernah mendukung kudeta berdarah pada September 1965 di Indonesia, meskipun mereka tidak pernah bisa membuktikan bahwa China terlibat dalam kudeta tersebut. Kelompok ini akan menghidupkan sentimen anti-China dan Tionghoa, dan selalu mengaitkan kerjasama dengan China merupakan jalan menuju kehancuran, meski mereka tidak pernah bisa menunjukkan atau setidaknya membuktikan bahwa Indonesia pernah hancur karena China. Mereka sama sekali memungkiri bahwa justru pembangunan di kota-kota besar di Indonesia banyak dilakukan oleh pengusaha Tionghoa lokal.
Mereka hanya bisa mengaitkan ancaman China dan Tionghoa lokal dengan peristiwa yang tidak pernah ada bukti, tetapi mereka tidak pernah melihat kenyataan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh Sumarecon Group, Agung Sedayu, Podomoro, Artha Graha, dan lain-lain semuanya merupakan sumbangsih masyarakat Tionghoa terhadap pembangunan Indonesia. Berbeda dengan kaum terpelajar dan reformis seperti Presiden Jokowi dan Jenderal Luhut Binsar Panjaitan yang melihat bahwa selalu ada sisi positif dari China maupun Tionghoa maupun dari pihak asing lainnya dalam bekerja bersama membangun Indonesia.
Beberapa kejadian di sekitar Laut China Selatan memang menciptakan citra negatif China di Indonesia. China secara terbuka mengakui Kepulauan Natuna itu milik Indonesia, namun Beijing tidak mengakui secara terbuka ZEE Indonesia di perairan Natuna. Kapal-kapal nelayan China sering merambah kekayaan di perairan Natuna. Selain itu juga pemerintah China turut mengklaim bahwa wilayah yang dimasuki nelayan China itu adalah “tempat penangkapan ikan tradisional China”. Ini adalah salah satu kendala yang bisa merusak hubungan kerja sama antara China dan Indonesia. Beijing seharusnya tidak membiarkan nelayannya menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia, bahkan mengklaim secara sepihak bahwa nelayan China tidak melanggar kedaulatan perairan Indonesia.
Pekerja di Indonesia sangat sensitif tentang jumlah orang China daratan yang bekerja di Indonesia. Dan, permasalahan seperti ini sudah sering diembuskan oleh kalangan anti-pekerja asing di Indonesia. Pemerintah harus lebih tegas lagi dalam perekrutan tenaga kerja asing, dalam arti tenaga kerja asing yang direkrut adalah tenaga kerja yang benar-benar profesional dan yang tugasnya tidak bisa digantikan oleh pekerja lokal. Selain itu, pemerintah harus memberi bekal atau pendidikan kepada tenaga lokal, bahwa pekerja profesional asing yang didatangkan dari luar bukan cuma untuk mengerjakan projek mereka saja, tetapi pekerja lokal harus segera belajar teknik mereka, agar suatu hari Indonesia tidak perlu lagi mengimpor tenaga asing dari negara manapun juga. Sehingga, pergesekan antar negara tidak akan terjadi hanya karena masalah tenaga kerja.
Kesimpulan
Indonesia selalu tegas dalam kerja sama dengan negara asing, terutama dalam kerangka BRI. Pemerintah Indonesia melihat BRI sebagai peluang ekonomi untuk memanfaatkan investasi China. Sementara itu, sikap China selalu lebih tertarik untuk mempromosikan perdagangan dan pembangunan infrastruktur China di Indonesia. Proyek lain seperti pembangkit listrik, bendungan, dan jembatan terkait dengan pembangunan infrastruktur Indonesia. Ke depannya dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, kehadiran China maupun negara besar yang mempunyai dana besar akan sangat berarti untuk Indonesia yang sedang melaju ke landasan pacu pembangunan nasional yang merata dan adil-makmur.
Oleh karena itu proyek bersama China–Indonesia akan menjadi semakin penting. Indonesia saat ini masih kekurangan dana dan teknologi untuk mengembangkan infrastrukturnya, dan karena itu membutuhkan modal dan teknologi China. Meskipun demikian, tidak semua “proyek BRI” akan sesuai dengan kepentingan Indonesia. Namun, Indonesia mungkin harus menerima proyek-proyek tersebut untuk mendapatkan modal yang dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara ini.
Selain itu diperkirakan ada beberapa isu yang bisa mempengaruhi hubungan China-Indonesia yang pada gilirannya dapat mengganggu kerja sama BRI. Persepsi orang-orang Indonesia non-Tionghooa tentang dominasi ekonomi China asing maupun lokal bisa menjadi masalah pertama yang akan mengganggu hubungan antara Indonesia dan China, kemudian disusul dengan gejolak di Laut China Selatan maupun isu pekerja asing/buruh dari China yang mengokupasi lapangan kerja orang Indonesia.
Meskipun hubungan ekonomi antara Indonesia dan China semakin dekat tetapi persepsi publik terhadap China tetap beragam dan rumit, mulai dari pandangan bahwa bangkitnya ekonomi China akan menjadi pemicu bangkitnya ekonomi Indonesia sampai dengan kecurigaan tentang kebangkitan ekonomi China akan menjajah kedaulatan negara lain. Kaum terpelajar dan yang mempunyai insting bisnis seperti Presiden Jokowi akan melihat bahwa China adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan atau diajak kerja sama untuk pembangunan infrastruktur Indonesia.
Namun, kelompok yang tidak senang dengan kedekatan China dan Indonesia, akan selalu mengaitkan tentang bahaya China yang pernah mendukung kudeta berdarah pada September 1965 di Indonesia, meskipun mereka tidak pernah bisa membuktikan bahwa China terlibat dalam kudeta tersebut. Kelompok ini akan menghidupkan sentimen anti-China dan Tionghoa, dan selalu mengaitkan kerjasama dengan China merupakan jalan menuju kehancuran, meski mereka tidak pernah bisa menunjukkan atau setidaknya membuktikan bahwa Indonesia pernah hancur karena China. Mereka sama sekali memungkiri bahwa justru pembangunan di kota-kota besar di Indonesia banyak dilakukan oleh pengusaha Tionghoa lokal.
Mereka hanya bisa mengaitkan ancaman China dan Tionghoa lokal dengan peristiwa yang tidak pernah ada bukti, tetapi mereka tidak pernah melihat kenyataan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh Sumarecon Group, Agung Sedayu, Podomoro, Artha Graha, dan lain-lain semuanya merupakan sumbangsih masyarakat Tionghoa terhadap pembangunan Indonesia. Berbeda dengan kaum terpelajar dan reformis seperti Presiden Jokowi dan Jenderal Luhut Binsar Panjaitan yang melihat bahwa selalu ada sisi positif dari China maupun Tionghoa maupun dari pihak asing lainnya dalam bekerja bersama membangun Indonesia.
Beberapa kejadian di sekitar Laut China Selatan memang menciptakan citra negatif China di Indonesia. China secara terbuka mengakui Kepulauan Natuna itu milik Indonesia, namun Beijing tidak mengakui secara terbuka ZEE Indonesia di perairan Natuna. Kapal-kapal nelayan China sering merambah kekayaan di perairan Natuna. Selain itu juga pemerintah China turut mengklaim bahwa wilayah yang dimasuki nelayan China itu adalah “tempat penangkapan ikan tradisional China”. Ini adalah salah satu kendala yang bisa merusak hubungan kerja sama antara China dan Indonesia. Beijing seharusnya tidak membiarkan nelayannya menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia, bahkan mengklaim secara sepihak bahwa nelayan China tidak melanggar kedaulatan perairan Indonesia.
Pekerja di Indonesia sangat sensitif tentang jumlah orang China daratan yang bekerja di Indonesia. Dan, permasalahan seperti ini sudah sering diembuskan oleh kalangan anti-pekerja asing di Indonesia. Pemerintah harus lebih tegas lagi dalam perekrutan tenaga kerja asing, dalam arti tenaga kerja asing yang direkrut adalah tenaga kerja yang benar-benar profesional dan yang tugasnya tidak bisa digantikan oleh pekerja lokal. Selain itu, pemerintah harus memberi bekal atau pendidikan kepada tenaga lokal, bahwa pekerja profesional asing yang didatangkan dari luar bukan cuma untuk mengerjakan projek mereka saja, tetapi pekerja lokal harus segera belajar teknik mereka, agar suatu hari Indonesia tidak perlu lagi mengimpor tenaga asing dari negara manapun juga. Sehingga, pergesekan antar negara tidak akan terjadi hanya karena masalah tenaga kerja.
Kesimpulan
Indonesia selalu tegas dalam kerja sama dengan negara asing, terutama dalam kerangka BRI. Pemerintah Indonesia melihat BRI sebagai peluang ekonomi untuk memanfaatkan investasi China. Sementara itu, sikap China selalu lebih tertarik untuk mempromosikan perdagangan dan pembangunan infrastruktur China di Indonesia. Proyek lain seperti pembangkit listrik, bendungan, dan jembatan terkait dengan pembangunan infrastruktur Indonesia. Ke depannya dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, kehadiran China maupun negara besar yang mempunyai dana besar akan sangat berarti untuk Indonesia yang sedang melaju ke landasan pacu pembangunan nasional yang merata dan adil-makmur.
Oleh karena itu proyek bersama China–Indonesia akan menjadi semakin penting. Indonesia saat ini masih kekurangan dana dan teknologi untuk mengembangkan infrastrukturnya, dan karena itu membutuhkan modal dan teknologi China. Meskipun demikian, tidak semua “proyek BRI” akan sesuai dengan kepentingan Indonesia. Namun, Indonesia mungkin harus menerima proyek-proyek tersebut untuk mendapatkan modal yang dibutuhkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di negara ini.